Drama Perparkiran Ruwet
Sebagai pekerja yang tinggal di Jakarta, mobilitas saya terbilang cukup masif. Dalam sehari, saya bisa berpindah tempat bepuluh kali, baik ketika weekday, apa lagi ketika weekend. Sama seperti pekerja lainnya, mobilitas tidak melulu menggunakan kendaraan umum. Ada kalanya saya harus menggunakan kendaraan pribadi. Misalnya untuk belanja di akhir pekan, pergi ke minimarket untuk membeli sesuatu, atau sekadar mengambil uang di ATM. Menyebalkannya, tiap kali saya berhenti, selalu saja ada tukang parkir yang stand by menjaga areanya.
Tidak peduli apakah itu toko ramai atau sepi, di pinggir jalan atau bahkan pelosok gang, tukang parkir ada di mana-mana. Nampaknya, setiap jengkal tanah telah dikangkangi oleh para tukang parkir. Hal yang lebih lucu lagi adalah fenomena tukang parkir yang tetap maksa beroperasi di banyak minimarket yang jelas-jelas sudah memasang plang “Parkir Gratis”. Sebagai bangsa yang kerap merasa tidak enakan—meski sering kesal, kita tetap memberikan uang kepada si tukang parkir tadi, bukan?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan profesi parkir, asalkan dikerjakan dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas. Tidak adanya kejelasan dan payung hukum yang lugas mengakibatkan makin banyak parkir liar yang mematok harga seenak perut. Bayangkan, saat ini biaya parkir reguler untuk sepeda motor berkisar dari Rp. 2000 sampai Rp. 5.000. Di beberapa tempat bahkan bisa lebih. Selain itu, di beberapa destinasi wisata tidak jarang dikenakan tarif parkir dua kali lipat. Artinya, pengunjung diharuskan membayar parkir yang digabung dengan tiket masuk, begitu di dalam area wisata masih harus bayar parkir lagi. Dalih yang dibangung biasanya ada perbedaan pengelola parkir dengan bagian ticketing. Nah, lho. Kok, bisa?
Secara objektif kita harus akui kalau tukang parkir yang ada lebih terkesang pungli daripada pekerjaan yang dikerjakan secara profesional. Sering sekali saya hanya datang ke suatu toko, membeli barang yang tidak sampai lima menit, tapi harus mengeluarkan uang Rp. 2000. Hitung saja berapa uang yang harus dikeluarkan jika lima kali berhenti di toko yang berbeda. Konyolnya lagi, banyak tukang parkir yang terkesan enggan membantu dan hanya berdiri sambil beteriak, “Yok, terus, terus, terus…”. Tidak sedikit juga yang langsung ngeloyor pergi ketika sudah diberi uang.
Kekonyolan tidak selesai sampai di situ saja. Suatu ketika saya pernah parkir di salah satu tempat wisata yang dikelola secara swadaya. Memang betul saya mendapatkan tiket, tetapi ada kalimat yang membuat saya berpikir keras, “Segala bentuk kehilangan bukan tanggung jawab pengelola.”
Kalau begitu, sebenarnya apa tugas dari tukang parkir? Apakah mereka hanya tim penyedia lahan untuk parkir kendaraan? Atau tim yang bertugas merapikan motor yang semrawut? Kalau seperti itu cara mainnya, tentu tidak ada bedanya kita memarkir kendaraan di tempat parkir yang telah disediakan dengan parkir sembarangan saja di pinggir jalan. Faktanya lainnya adalan, lahan yang mereka gunakan untuk memarkir juga bukan milik mereka pribadi. Cukup aneh jika kita harus membayar biaya sewa lahan parkir ke pihak yang bahkan tidak memiliki kuasa hukum atas lahan tersebut. Di sini, saya akan fokuskan pada masalah parkir motor saja sebagai contoh, karena terlalu kompleks jika harus menyebutkan contoh bagi semua jenis kendaraan.
Regulasi Perparkiran
Menurut Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 2009 pasal 11 No. 15 disebutkan bahwa, “Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.” Sementara itu, menurut peraturan pemerintah nomor 79 tahun 2013 tantang jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, ada beberapa titik yang dilarang untuk parkir, yaitu: tempat penyeberangan bagi pejalan kaki atau penyeberangan sepeda yang sudah ditentukan, jalur khusus pejalan kaki, jalur khusus sepeda, tikungan, jembatan, terowongan, tempat yang mendekati perlintasan sebidang, yang mendekati persimpangan, pusat kegiatan, area yang dapat menutupi rambu atau isyarat lalu lintas, berdekatan dengan keran pemadam atau sumber air untuk pemadam kebakaran, dan pada ruas dengan tingkat kemacetan tinggi.
Ada beberapa regulasi undang-undang terkait pajak parkir, antara lain pada Pasal 65 Ayat 1 Undang-Undang PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) disebutkan bahwa tarif pajak parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP untuk pajak parkir merupakan jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir. Contohnya, di wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, melalui Peraturan Daerah Provinsi No. 16 Tahun 2012 ditetapkan bahwa tarif parkir sebesar 20% dari DPP. Pajak parkir sendiri merupakan pajak bagi penyelenggaraan tempat parkir di luar badan yang disediakan oleh pokok usaha atau disediakan untuk sebuah usaha tertentu, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Sedangkan retribusi parkir adalah tempat parkir yang tidak selalu dikenakan pajak daerah.
Subjek pajak meliputi orang pribadi atau badan usaha yang menyelenggarakan tempat parkir. Sementara tarif parkir sendiri merupakan retribusi atas penggunaan lahan parkir di pinggir jalan yang besarnya ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan UU tentang Pajak Daerah dan Retribusi untuk selanjutnya ditetapkan di tingkat Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan bahwa biaya parkir tanpa karcis merupakan bagian dari pungutan liar atau pungli, “Yang berhak memungut tarif parkir itu Pemda dan menjadi PAD (Pendapatan Asli Daerah) di masing-masing wilayah.”
Dari beberapa regulasi di atas, kita bisa menguraikannya ke dalam beberapa poin-poin utama: pertama, regulasi tarif parkir, baik berupa pajak atau bagian dari retribusi baru menaungi badan usaha yang menjadi penyelenggara lahan parkir. Misalnya, parkir di mal, area wisata, pusat-pusat perbelanjaan, atau penyelenggara swasta yang menyediakan lahan parkir. Artinya, jenis-jenis parkir di luar itu belum terwadahi dengan baik. Kedua, pengawasan atas tarif parkir non badan usaha masih terbilang minim. Buktinya, secara faktual tukang parkir dapat menaikan tarif parkir seenaknya. Misalnya beberapa hari menjelang Idul Fitri, atau menjelang perayaan Natal. Kenaikan itu hampir dilakukan tanpa alasan yang masuk akal. Tentu tidak make sense ketika kenaikan tersebut dikarenakan konsep supply (permintaan) and demand (penawaran) menjelang hari raya. Pasalnya, mereka tidak menjual produk apapun. Hanya sekadar jasa, itu pun kalau bisa disebut demikian.
Ketiga, pemungutan uang parkir tanpa adanya karcis jelas merupakan pungutan liar (pungli). Kelompok inilah yang sangat meresahkan banyak pihak. Dalam banyak kejadian, pihak yang bertanggung jawab atas parkir liar ini adalah preman setempat. Kita tidak perlu malu mengakui hal ini.
Jual Beli Lahan Parkir
Adanya fenomena jual beli lahan parkir bukan asumsi atau dugaan tanpa dasar. Setidaknya, saya mengetahui secara langsung hal ini. Singkat cerita, suatu hari saya menyaksikan seorang tukang parkir menjual lahan usahanya—berupa area parkir minmarket yang jelas-jelas memasang plang “Parkir Gratis”. Lahan itu dijual seharga Rp. 5.000.000 cash. Padahal tukang parkir tadi mendaptkan lahan itu secara cuma-cuma. Hanya membutuhkan tampang sangar, sedikit gertakan, dan pembawaan yang bodo amat jika ditegur karyawan toko. Lahan milik orang pun bisa disulap menjadi lahan usaha pribadi. Tentu kita tidak terlalu bodoh untuk bisa menebak kalau di belakang layar sudah ada lobi-lobi cantik dengan si bos minimarket. Bagi-bagi cuan, semua untung, semua senang.
Pembukaan toko baru jadi ajang yang sangat menggiurkan bagi “penguasa setempat”. Biasanya mereka akan menandai wilayah barunya sebagai target usaha. Hanya modal dengkul saja bisa menghasilkan uang yang menggiurkan setiap harinya. Praktik perebutan lahan ala premanisme juga menjadi hal biasa, terlebih di area-area ramai seperti pasar dan pusat perbelanjaan.
Dalam perkembangannya, sistem shifting juga mulai diberlakukan agar semua orang “dapat jatah”. Si A parkir dari pukul 07.00 sampai 12.00. Si B pukul 12.00 sampai 18.00. Si C dapat jatah parkir malam. Pemrograman yang sangat sistemik demi menenangkan banyak pihak.
Parkir-parkir liar yang ada saat ini benar-benar meresahkan. Seringkali mereka merasa setiap motor yang berhenti di areanya harus membayar, meskipun tidak jelas apa fungsinya tukang parkir ada di sana. Saya berkeyakinan bahwa semua orang tidak akan sungkan membayar Rp. 2000 untuk parkir asalkan mereka melihat kinerja langsung dari tukang parkir tersebut. Misalnya dengan menaruh lembaran kardus di jok motor ketika panas terik, menyelamatkan helm ketika hujan, merapikan dan ikut membantu mengeluarkan motor, hingga membantu menyeberang jalan. Saat semua itu dilakukan, tentu kita tidak akan merasa berat hati memberikan uang.
Masalahnya, populasi tukang parkir yang menjalankan tugas semacam ini terbilang sangat langka. Lebih banyak tukang parkir yang hanya duduk berpangku tangan, baru bergerak ketika pemilik motor mengambil kendaraannya, meminta jatah untuk kemudian pergi. Kalau begitu, siapa yang rela mengeluarkan uang hanya untuk parkir yang mungkin saja tidak sampai lima menit?
Kita bisa menyaksikan keresahan masyarat Indonesia terkait praktik parkir liar semacam ini di berbagai kanal media sosial. Artinya, keresahan ini bukan hanya menjadi gejala parsial, tapi gejala sosial yang perlu ditanggapi dengan serius. Sudah saatnya Pemerintah sebagai regulator menaruh perhatian lebih terhadap praktik benuansa pungli semacam ini. Jangan sampai Pemerintah mewajarkan hal ini hingga mengakibatkan praktik pengelolaan parkir liar kian merebak. Berbagai cuitan dan postingan di media sosial berkaitan dengan praktik ini sudah lebih dari cukup.
Dalam dimensi yang lebih serius, pengelolaan parkir liar ini tidak jarang ditangani oleh sejumlah ormas yang terang-terangan melakukan pungutan liar. Jika fenomena itu tidak mendapatkan penanganan semestinya, peluang munculnya tukang parkir baru tentu makin besar. Pada akhirnya, setiap jengkal lahan kosong yang potensial akan dijadikan lahan parkir. Yang paling dirugikan justru para pelanggan itu sendiri. Semoga hal ini segera mendapatkan penanganan dan tidak dibiarkan berlarut-larut.
*****
Editor: Moch Aldy MA