Balada Para Kera

Robin Wijaya

4 min read

Di hutan ini, ada satu peraturan yang harus dituruti kera-kera. Tidak boleh ada kera yang punya anak lebih dari dua. Satu anak diperbolehkan. Namun, dua dianggap paling pantas. Kalau yang satunya mati karena kena bidik pemburu atau jatuh sakit, masih ada satu lainnya yang bisa dibesarkan untuk melanjutkan keturunan.

Punya tiga atau empat anak dianggap sesat. Siapa yang mau memberi makan anak-anak kera itu? Buah dan dedaunan saja sudah sulit didapat di musim kemarau begini. Belum lagi hutan yang semakin tahun semakin susut karena digunduli terus-menerus.

“Bagaimana jika aku tambah satu anak lagi?” pinta seekor kera jantan kepada Mansa. Dia adalah tetua para kera di hutan ini. Nama Mansa berasal dari Afrika, yang artinya Sang Raja.

“Anakku yang kecil tampaknya tak akan tumbuh sehat. Dia sering sakit-sakitan.” Kera jantan itu berdalih.

Mansa mencondongkan mukanya, “kalau alasanmu cuma karena berahi. Apa kau sanggup menanam pohon buah-buahan untuk kita semua?” Mansa berkeras. “Terlalu banyak mulut untuk dikasih makan. Rumah kita semakin hari semakin sempit. Anakmu itu tidak berpenyakit. Dia cuma alergi asap. Nanti kalau hujan sudah turun, dia akan kembali sehat.” Mansa meyakini apa yang dikatakannya. Dan biasanya ia betul.

Sudah lama Mansa mengatur segala rupa di hutan ini. Seperti tatanan pemerintahan dan norma-norma yang memagari kehidupan para kera. Mansa juga membuat tata krama dalam bersosialisasi. Seperti, siapa yang harus mencari kutu di tubuh? Yang tua membiaki yang muda, atau sebaliknya? Bagaimana cara bertegur sapa setiap kali bertemu tatap di dahan? Dan, siapa yang mesti menjaga buah-buah ranum agar tidak dicuri saat malam?

Seperti yang Mansa bilang, rumah ini semakin sesak. Perut-perut lapar setiap hari terus bertambah. Kalau tak ada yang mengatur, bisa terjadi anarki. Nanti keturunan mereka akan musnah. Dan semua kera cuma akan mati sia-sia.

Dengan tampang kecewa, pejantan muda itu pergi meninggalkan singgasana Mansa. Ia menemui kawanannya yang tengah berkumpul di sebuah pohon ara besar.

Gerombolan tersebut adalah kera-kera eksklusif yang masih muda. Tak cuma muda, mereka punya pemikiran yang seringkali bertolak belakang dengan hukum yang diterapkan Mansa.

“Peraturan Mansa sudah semakin usang. Mana cocok untuk kita.” Uba namanya. Dia sering dianggap pemimpin kelompok oleh yang lainnya. Protesnya langsung meluncur tajam saat si pejantan yang tadi menemui Mansa melaporkan kegagalan negosiasinya.

“Kalau begitu, kita kawin saja diam-diam!” usul seekor lainnya.

“Nanti kalau istrimu bunting juga ketahuan perutnya. Dan kau pasti akan dipanggilnya. Mansa itu punya banyak mata-mata. Lagipula, siapa yang tak mau mengadu demi mencari muka?”

“Jangan biarkan istri kita bertemu kera lain kalau begitu.”

“Kau pikir Mansa bodoh? Sekali dalam sepekan, dia menyuruh kaki tangannya membagikan jatah buah. Tidak mungkin mereka tidak bertemu kau dan istrimu!” Agaknya Uba berpandangan jauh ke depan. Sehingga usulan demi usulan gerombolannya cepat ia tangkis dengan argumennya yang masuk akal.

“Kita harus mencari rumah di luar hutan ini.” Uba baru saja menemukan sebuah solusi. “Kita kembang biakkan keturunan kita di sana. Kita ajar dan latih hingga cerdas dan kuat. Maka kita akan punya pasukan yang besar untuk melawan Mansa.”

Kera-kera lain mengangguk patuh. Terkadang, mereka agaknya tak bisa dibilang eksklusif juga karena pemikiran yang nyaris sama bodohnya dengan kawanan kera lain di hutan ini. Terkecuali Uba yang meyakini bahwa dinasti Mansa sudah harus dilengserkan.

Mansa tak ubahnya penguasa otoriter yang dengan mudah bisa memberi perintah. Ia tak pernah memberi ruang untuk pemikiran-pemikiran baru, sedang isi otak kera tumbuh seiring tubuhnya. Pemikiran-pemikiran tersebut mesti berkembang seperti pucuk pohon yang kian meninggi. Mansa tidak suka. Ia hanya ingin mengerdilkan otak para kera agar tak ada yang lebih pintar darinya.

Membatasi kera dengan hanya punya dua anak sama artinya dengan membatasi kemungkinan jumlah kera yang akan melakukan kudeta. Semakin sedikit kera yang lahir, semakin sedikit pula kera yang perlu dilawan. Buah-buahan yang dijatah Mansa membuat kera-kera tak punya pilihan. Tak ada rencana perbaikan gizi atau mencari sumber makanan yang bisa mendukung kecerdasan. Tak boleh ada kera cerdas yang lahir. Tak boleh ada cendikiawan yang tumbuh. Kera-kera bodoh membutuhkan pemimpin. Dan tak ada yang sanggup mengambil tanggung jawab sebesar itu selain Mansa. Kelak, keturunan Mansa pula lah yang akan berkuasa. Karena mereka dididik dengan baik, mendapatkan gizi terbaik, dari garis keturunan yang juga baik.

Kalau ada pertanyaan, apakah kera biasa bisa menjadi tetua? Maka sudah pasti akan diperiksa intelegensi dan fisiknya luar-dalam. Apakah mengandung bibit penyakit? Apakah postur tubuhnya sudah bagus? Bulu-bulunya tumbuh bersih dan bebas kutu? Apakah pernah mendapatkan pelatihan dan keterampilan memimpin? Lalu yang terakhir, tentu dari garis keturunan siapa kera tersebut berasal? Karena kode genetik yang jelek hanya akan menghasilkan keturunan yang juga jelek. Sungguh, sebuah pemikiran yang picik. Lelucon basi yang membuat ratusan kera setuju bahwa mereka sudah ditakdirkan untuk terus menjadi rakyat jelata selama-lamanya. Sebab mereka tak pantas. Sebab mereka tak perlu pusing berusaha naik jabatan jika hidup sudah nyaman karena ada yang mengatur segala sesuatunya.

Namun, Uba tidak berpikir demikian. Uba yakin, cara mengubah nasib kera-kera di hutan adalah dengan mendapatkan pemimpin baru. Pemimpin yang mengganti kebijakan lama dengan sesuatu yang lebih adil, yang mengubah pandangan dan tatanan sosial, serta memberikan kemerdekaan berpendapat. Bukankah pikiran yang terpenjara tak mampu menghasilkan gagasan dan tindakan?

Diam-diam, saat malam, Uba berkeliaran menelusuri tepi-tepi hutan. Ia mencari ujung wilayah kekuasaan Mansa. Mungkin satu bagian hutan yang kosong dan belum dikuasai kera lainnya. Atau pesisir yang tak banyak dihuni karena sudah terlalu dekat dengan pemukiman manusia.

Berhari-hari Uba mencari, hingga seminggu kemudian ia berhasil memboyong enam pasang kera untuk hijrah ke rumah baru mereka.

Uba menanamkan kepercayaannya di sana. Hukum-Hukum Mansa sudah lama ditinggalkan. Tak ada lagi kera yang beranak dua. Mereka bisa punya tiga, empat, lima, bahkan tujuh anak. Anak-anak mereka yang sudah akil balig kemudian dinikahkan silang. Dan begitu seterusnya hingga beranak-pinak.

Ketika kelompok tersebut semakin besar, Uba juga semakin sepuh. Namun keinginan Uba untuk melengserkan kekuasaan Mansa tak pernah menua.

Ia yakin, Hukum Mansa yang memberatkan itu harus dimusnahkan. Keberhasilannya membuat kehidupan baru di hutan lain, membuat ia semakin yakin kalau kehidupan lama mereka dahulu pun perlu ditolong. Maka, ini adalah waktunya untuk mewujudkan ide yang ia canangkan bertahun-tahun silam.

Dikumpulkannya sahabat-sahabatnya. Dibuatnya semacam rapat tertutup untuk membahas strategi penyerangan ke wilayah Mansa.

“Kumpulkan semua kera muda. Persiapkan mereka untuk perang!” seru Uba, berapi-api. Dan para sahabatpun mati-matian mempersiapkan segalanya. Kelompok muda yang kuat dan terlatih dibentuk dalam pasukan-pasukan. Dipersenjatai dengan alat dari batu dan kayu.

“Apakah semua sumber daya sudah dikerahkan?” tanya Uba.

“Sudah, Tetua,” jawab kaki tangannya. Sekarang Uba punya panggilan baru. “Terkecuali sekelompok kera,” lanjut si kaki tangan.

Spontan Uba bereaksi. Matanya menyipit, mendelik sinis. “Cari mereka!” perintahnya, tegas. Segerombolan kera yang patuh itu segera mencari kelompok yang dimaksud.

Kawanan itu bukan kera-kera lemah. Mereka sama kuatnya. Namun cara mereka berjalan tidak tampak angkuh. Mereka tenang dan punya wibawa. Mereka dikenal sebagai cendekiawan muda. Kera-kera cerdas yang punya pandangan berbeda tentang hidup.

“Perang adalah pilihan untuk mati dengan sia-sia, Tetua,” ujar salah seekor di antaranya.

“Perang untuk kemenangan!” Uba punya pemahaman sendiri yang sudah sejak lama ia pupuk.

“Kemenangan atas apa? Atas hidup kita yang sudah baik di sini? Aku dengar, dulu Tetua pergi dari rumah lama karena ingin hidup yang lebih baik. Bukankah Tetua sudah mencapainya?” Kera muda itu tidak tampak takut dengan ucapannya.

Seekor lainnya ikut ambil suara, “Cita-cita Tetua begitu luhur. Sekarang, izinkan kami menghormati cita-cita tersebut dengan menyampaikan gagasan kami. Tetua tidak perlu mengirim pasukan untuk perang. Perang sama dengan pengorbanan nyawa. Berapa banyak kera yang akan mati terbunuh? Berapa banyak keluarga yang mesti ditinggalkan? Bukankah Tetua datang kemari untuk membangun keluarga? Lalu Tetua ingin menghancurkannya?”

“Omongan kalian adalah lelucon untuk membuat kita gentar. Tahu dari mana kalian kalau kita akan mati? Justru kita akan menolong banyak kera yang sudah lama hidup di bawah penindasan Mansa. Mereka akan berterima kasih dan menjadi keluarga baru kita. Keluarga kita akan semakin besar!”

Seruan Uba untuk berperang disambut gemuruh langkah kera-kera yang berlarian menyusuri hutan. Cendekiawan-cendekiawan muda itu ditinggalkan. Sebagian memandang mereka sebagai pengecut, sebagian lainnya menganggap pemikiran mereka aneh dan tak masuk akal.

Berhari-hari setelahnya pasukan Uba tak kunjung pulang. Kera-kera betina yang biasa mengasuh anak, kini mesti pergi sendiri untuk mencari makanan. Hutan menjadi lebih sepi. Cendekiawan-cendekiawan itu ikut serta mengumpulkan pangan. Mereka tak ingin menebak. Entah apa yang terjadi dalam perang di sana. Mereka juga tak ingin mendebat, jika pertanyaan dan pernyataan muncul dari mulut-mulut kera yang ditinggalkan. Para cendekiawan itu masih menunggu, tak berkurang sedikitpun kesetiaan mereka kepada kaumnya. Namun, Uba tak pernah kembali.

* * *

 

Editor: Ghufroni An’ars

Robin Wijaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email