Sekitar dua tahun lalu, Yura Yunita merilis video musik Dunia Tipu-Tipu. Di situ, Yura memakai konsep eksperimen sosial. Yura mengundang empat belas orang yang berpasangan, mulai dari ayah dan anak, ibu dan anak, adik dan kakak, hingga sepasang sahabat. Ketujuh pasangan itu diberi ruang untuk saling menatap mata dengan iringan lagu Dunia Tipu-Tipu. Dalam eksperimen ini ternyata masing-masing orang bisa berkomunikasi dan hadir seutuhnya untuk satu sama lain lewat tatapan.
Eksperimen sosial ini bermuara pada rasa haru dan sedih, apalagi ketika mereka yang terlibat eksperimen saling berpelukan dan menyadari bahwa kehadiran satu sama lain sangat berharga. Karya visual ini berhasil menggambarkan secara utuh lagu yang Yura tulis, terutama siratan pesan tentang betapa berharganya kehadiran.
Bagi saya, video musik ini punya arti yang lebih mendalam lagi. Ia bersinggungan dengan esensi kehadiran dan lunturnya perjumpaan fisik dalam realitas virtual hari ini. Apalagi, masa-masa pandemi dua tahun lalu kita terpaksa untuk saling terhubung hanya lewat gawai. Relasi sosial dan kultural kita jadi terbatas pada ruang-ruang virtual.
Baca juga:
Hidup dalam ruang-ruang virtual menuntut kita untuk memikirkan makna kehadiran dengan lebih serius lagi daripada era-era sebelum virtualitas menguasai seluruh kehidupan kita. Benar bahwa realitas virtual memudahkan kita melakukan komunikasi. Namun, virtualitas juga membuat kita seakan-akan hidup dalam dunia yang ada di seberang. Kita makin kesulitan untuk hidup dalam realitas kini-di sini, tempat pohon, dinding, gelas, air, udara, dan segala di sekitar benar-benar kita alami secara nyata seutuhnya. Bahkan, dalam cengkeraman realitas virtual, sering kali kita kesulitan menghargai napas dan kehadiran diri sendiri pada ruang dan waktu yang senyata-nyatanya.
Realitas digital ini pula yang membuat pola interaksi kita dengan manusia lain mengalami disrupsi. Sering terdengar ungkapan klise “yang dekat menjadi jauh, yang jauh menjadi dekat”. Yang dekat menjadi jauh bukanlah merujuk pada relasi sosial saja, tetapi relasi antara kita dengan ruang-waktu dan realitas itu sendiri.
Dengan kata lain, realitas kini-di sini selalu mengalami disrupsi dalam kekacauan ontologis dunia virtual. Berita soal kematian seorang tokoh di kota lain, kecelakaan maut di negara lain, hingga peperangan di benua lain seakan lebih dekat dibandingkan gelas, air, kopi, keripik di meja makan atau baju-baju jemuran yang lupa diangkat. Kita lebih mudah cemas dan khawatir dengan realitas yang terjadi jauh di seberang sana.
Permasalahan ruang waktu itu mendasari cara kita berinteraksi, berbincang, dan menatap manusia lain. Cara komunikasi tanpa kata menjadi hal yang sulit dilakukan, apalagi dalam cengkeraman dunia digital serba sat-set. Lagu Dunia Tipu-Tipu berusaha mengisahkan permasalahan-permasalahan itu meski ada beberapa hal yang saya pikir agak bermasalah dari lagu itu.
Jika Yura percaya sebuah komunikasi paling hakiki adalah komunikasi tanpa kata, lalu mengapa lagu ini masih bergantung pada kata? Bukankah jika mengikuti wacana yang dibicarakan, maka lagu ini seharusnya bebas dari belenggu kata, penjara bernama tekstualitas, dan disrupsi-disrupsi yang lahir daripadanya?
Baca juga:
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa saya temukan jawabannya. Mungkin tak perlu juga dijawab, hanya Yura saja yang tahu. Namun, dalam proses mendengar lagu ini, setidaknya saya dapat memahami bagaimana ide-ide kreatif Yura menjadi bahan bakarnya ketika bermusik. Narasi tanpa kata dalam lagu Dunia Tipu-Tipu yang penuh kata adalah upaya Yura untuk melampaui musik konvensional yang memandang musik hanya sebagai upaya artistik untuk membuat pendengar sampai pada dunia makna milik sang musisi.
Dalam lagu ini, saya mendapati Yura ingin mengatakan bahwa musik adalah perhentian. Pada sebuah dunia yang berlari, menjauh, dan meninggalkan kita yang tak sanggup kebut-kebutan, dibutuhkan ruang untuk sekadar berhenti. Entah untuk istirahat, minum air, atau memulihkan tenaga agar mampu terus bertahan hidup. Perhentian ini bisa pula berarti ruang untuk menghabiskan momen bersama orang-orang yang dicintai. Proyek musikal Yura dan Dunia Tipu-Tipu bisa dibaca sebagai upaya membangun ruang perhentian ini.
Senada dengan ide-ide meditatif zen, dalam kondisi stres dan depresi, kita dianjurkan untuk kembali pada napas itu sendiri. Proses bernapas dan menyimak bunyi dari suara udara yang masuk-keluar paru-paru adalah momen perhentian sejati. Mungkin dalam kondisi inilah Yura melihat musik sebagai napas-napas meditatif. Ketika kekacauan mengungkung, musik menjadi napas untuk kembali pada ruang kehidupan nyata yang terjadi kini-di sini, pada relasi tanpa kata dengan orang-orang yang dicinta, pada barang-barang familiar yang setiap detik bersebelahan dengan kita.
Kemanusiaan kita perlu dikembalikan pada hidup bersama yang empatik di dalam ruang sehari-hari. Ruang sehari-hari itu tak hampa dan justru politis. Di situlah kemanusiaan kita sejatinya diuji. Musik dan proyek-proyek kreatif Yura Yunita dalam Dunia Tipu-Tipu adalah panggilan untuk menuju dunia tanpa kata, tempat realitas yang dekat dengan kita dibangun dan berdampak nyata.
Editor: Emma Amelia