Campbell yang Malang
Malam-malam musim dingin terasa amat panjang. Salju berjatuhan, sesekali mendekap kesendirian dan meramaikan halaman rumah 3 x 3. Di serat-serat harapan, aku terus belajar sitologi; bagaimana cara sel bekerja mengolah karbohidrat menjadi unsur yang lebih kecil, glukosa. Dan menghasilkan tenaga untuk bergerak, berjalan, dan berpikir tanpa menyatakan penyesalan secara terang-terangan. Campbell berbicara padaku, katanya tubuh manusia menghasilkan total 38 ATP dari serangkaian proses respirasi aerob dan lemak diurai menjadi gliserol dan asam lemak, protein memecah kembali menjadi asam amino. Namun, nyatanya komposisi tubuhku tak lebih dari 90% daging tak-berjiwa dan 10% mimpi yang dikerdilkan, aku hanya berani mengumpat di balik kata-kata penyair di sebelah Campbell jilid sembilan yang tak pernah kusentuh sama sekali.
–
Kata Bapak, Kata-Kata Tak Berarti
Kata bapak, jangan terus berpuisi karena puisi tak bisa membeli nasi. Kata bapak, kata-kata tak bisa menyelesaikan masalah, perang dunia hampir terjadi kembali, pandemi belum berakhir, jangan lagi-lagi berkutat pada stilistika yang minim cuan dan kepastian!Kata bapak, kita hidup di realitas yang pragmatis, jadilah biologist kebanggaan, jangan penyair, sebab kata-kata itu tak berarti!
“Ya Tuhan… dunia sedang gonjang-ganjing, lindungilah kami, berkatilah kami, berikan rezeki yang cukup. Ya Tuhan… kami hanya hamba sahaya, debu semesta yang tak seberapa dibandingkan kuasa-Mu, hanya doa, munajat, harapan yang bisa kami lantunkan sebagai bentuk selemah-lemahnya manusia. Ya Tuhan… kabulkanlah doa-doa ini, semoga doa-doa ini sampai pada-Mu.” … kata bapak. Yang berdoa dengan kata-kata.
–
Rantau
Kota ini menghisapku habis, menelan seluruh mimpi yang sudah busuk namun masih kutimbun dengan rapi di sebelah tempat tidurku. Tanda tanya menjadi teman sehari-hari tak berani menyapa karena jengah dengan jawaban yang itu-itu saja. Toko-toko menertawakan kesedihanku, lagu-lagu hindia menari-nari di atas awan memberi pengharapan sementara, aku sudah mati sebelum kematian itu sendiri menghampiri. Atau aku hanya seonggok daging yang berjalan ke sana dan ke mari menguyah siang hingga sore selama 7 hari sampai tersedak, sampai tak ada air lagi yang dapat kuminum kecuali air mataku sendiri.
–
Rumah 3×3
Pintu adalah tempat kedatangan dan kepergian
Jendela adalah tempat mengambil nafas panjang
Kasur adalah tempat menimbun mimpi dan melepas lelah
Dinding-dinding adalah teman bisu yang membantu mengeja ketabahan
Sepasang simit yang sudah dingin melantunkan doa-doa dengan bahasa asing
Bersanding dengan aroma çay murni dan kuruyemiş yang saling bercengkrama
Menemaniku sepanjang hari
Menyelimutiku sepanjang malam
Menutupi luka yang kusembunyikan.
–
Bahasa Babi
Suara-suara berkelindan, orang-orang berjalan kaki upaya mengurangi polusi, orang-orang mampir ke kedai kopi, beli harga yang paling murah alibi numpang WI-FI. Orang-orang sibuk membeli kenyamanan untuk menyewa kebahagiaan sesaat, orang-orang bersuara lantang menjual kepercayaan, dengan murah tanpa garansi, suara-suara yang berkelindan woro-wiri mencari sensasi, seperti haus apresiasi minim substansi.
Dasi-dasi itu ibarat umpan bagi mereka yang mencari ketenaran, lampu-lampu berbisik, mengejek letih yang sama dari sore kemarin, podium besar diduduki orang-orang penting menguar hal-hal yang sulit, kami seperti kambing terbawa arus, susah-susah menyimpan jati diri, aku bertanya padanya yang sibuk mendengarkan sedang aku sama sekali tidak mengerti.
“Apa yang mereka bahas?”
“Dusta-dusta.”
“Kamu mengerti mereka bicara apa?”
“Mereka bicara bahasa babi yang ngok-ngok-ngok … tak sedikit pun kupahami.”
Kami keluar menuju padang luas
sambil tertawa terbahak-bahak
dengan lepas dan keras.
Kami bebas.
–
Pasangan Basa
A-T(Adenin denganTimin)
G-C(Guanin dengan Cytosin)
C-G(Cytosin dengan Guanin)
U-T(Urasil dengan Timin)
Suami dengan istri
Sedih dengan senang
Sehat dengan sakit
Gelap dengan terang
Tawa dengan tangis
Aku masih dengan aku
Yang ditinggal pergi
(Turki, 2019)