Lelaki itu menarik kakiku seperti menyeret. Setengah memaksa, dia memintaku untuk bangun dan berdiri. Tetapi tentu saja dengan separuh bercanda. Dia beralasan hendak mengajakku membeli celana dalam dan pakaian renang. Padahal malam sudah pekat. Sendi-sendi kurasakan lemas. Mataku pun sudah sayu. Tetapi tak jauh dari hotel ini, di bawah sana, ada satu pasar yang sangat ramai. Semakin larut semakin padatlah pasar itu. Setidaknya begitu ujar sang lelaki. Tetapi, percayalah, tujuan utama dia mengajakku ke pasar malam tersebut bukanlah untuk membeli dua hal tadi. Ya, kuakui, kami memang tak membawa pakaian apa pun ketika memutuskan untuk bermalam di sini. Tetapi kuberitahu kalau barang yang sangat ingin dibelinya saat itu ialah alat kontrasepsi. “Tidak bisa. Saya tidak mau berhubungan, kecuali memakai pelindung itu.” ujarku secara terang-terangan kepadanya. Dia menjawab bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Semua aman. Saya sehat, tidak ada penyakit. Namun, aku tak peduli—tidak mendengarkannya. Maka lelaki itu pelan-pelan melepaskan dirinya dari tubuhku. Mulai dari bibirnya yang tertancap di leher, kedua tangannya yang mencengkram putingku, kemaluannya yang menindih, dan kakinya yang menimpa tungkaiku. Dia tampak sedang begitu mabuk ingin bercinta! Hanya saja dia bukan seorang yang buruk perangai. Dia tidak memaksaku. Apalagi berniat kasar seperti hendak memerkosa. Tetapi bagaimana mungkin? Dia takkan bisa melakukannya. Hubungan itu takkan bisa terjadi apabila aku tidak menggerakkan diriku untuk mengunjungi tubuhnya.
Jauh di dasar jiwaku, seperti sebuah sumur di dalam lubuk hati terdalam, ada secercah perasaan yang teramat gembira, bahagia, sekaligus muram dan sedih. Dia—seorang yang kini tengah mengenakan kaos polo putih dan celana jeans—telah menjungkir-balikkan duniaku. Dia sudah membersihkan kabut gelap di kedua pelupuk mataku. Dan menunjukkan bahwa dunia ini indah. Sepenuhnya indah. Hanya diriku saja yang tak tahu. Ya, cuma diriku seorang.
Sebagai seorang asing yang baru saja dikenal seharusnya aku tak boleh terlalu gampangan. Benar begitu konsepnya? Aku mesti menolak permintaan itu dan baru melakukannya di pertemuan ketujuh ketika ia terlihat benar-benar serius dan menyukaiku dengan tulus. Bukan karena nafsu berahi semata. Tetapi bagaimana cara mengatakan tidak? Aku tak sanggup melihatnya kecewa. Aku takkan mampu melihatnya bersedih. Bila memang itu yang terjadi aku pun tak tahu bagaimana cara menyuruhnya diam dan bersikap seperti biasa saja. Sewajarnya.
Namun, bagaimana jika dan hanya jika ia pergi dan menghilang selepas aku mengatakan tidak karena ia tak sanggup menahan kecewa yang begitu rupa? Atau karena ia menganggap diriku tidak berguna dan lebih baik mencari orang lain? Yang lebih baik, menarik, asyik? Itu artinya, jelas, ia tidak menginginkanku. Melainkan hanya seks. Dan tubuhku ini, tentu saja, bisa diganti dengan tubuh orang lain. Atau mungkin ia baru bisa menyukaiku jika permainan dan pelayananku hebat dan memuaskan? Kalau memang begitu aku harus bisa menyenangkan hatinya agar ia nyaman dan tidak mau jauh-jauh dariku. Ya, betul, karena memang begitulah yang kumau. Aku harus melakukannya. Sebab memiliki seseorang yang menyayangi sekaligus bisa menjaga diri kita di sebuah kota asing, tanah rantau, lebih baik ketimbang tak memiliki siapa pun. Sehingga ketika kau mendapat suatu masalah maka setidaknya ada seseorang yang akan berusaha menolongmu. Lantas aku turun dari kasur besar nan mewah itu, berpakaian lengkap, membasuh wajah, dan meninggalkan kamar bersamanya.
*
Malam ini cuaca sedang bagus. Angin bertiup kencang dari selatan, langit dipenuhi bintang-gemintang, dan bulan bersinar terang. Bentuknya bulat seperti yang dulu selalu aku lukis di buku gambar ketika ada pelajaran kesenian.
Kami berdua turun dari hotel. Menyeberangi jalanan yang padat dan bercabang-cabang seperti rambut anak gadis di kampungku. Dan berjalan menyusuri jembatan layang—jembatan ini cukup panjang dan sedikit melelahkan. Aku memandang wajah lelaki yang berjalan di samping kiriku. Wajah itu teduh, ramah, sopan. Meski ia tidak bisa berjalan laju, berlari-lari, dan teriak-teriak sepertiku, tetapi justru sedikit terengah-engah karena bobot dan kebiasaannya yang jarang berjalan kaki, namun aku tidak membencinya. Orang ini baik. Hatinya bersih. Begitulah yang kurasakan. Dan kuharap apa yang dikatakan oleh hati kecilku ini tidak akan pernah salah.
Pagi tadi, sekarang pukul 23.36, itu artinya 13 jam yang lalu, lelaki ini menjemputku. Dia parkir tepat di depan pintu bilik sewaku. Bagaimana bisa? Biasanya Google Maps tidak pernah memberi petunjuk seakurat itu. Tetapi kali ini aplikasi itu patut dibanggakan, yang itu artinya ketika aku turun dari bilik sewa dan keluar di pintu maka sang lelaki akan bisa langsung melihat diriku.
Nama dia adalah Razuan. Pagi-pagi sekali, pada sebuah aplikasi kencan, ketika aku baru saja bangun tidur dan hanya bercakap-cakap ringan sekaligus menyantap sarapan bersama kawanku, dia mengirim pesan. (Yang tentu saja dalam bahasa Inggris. Bahkan hingga saat ini, selepas kami bertemu dan bersama selama belasan jam, kami masih menggunakan bahasa orang kulit putih itu). Bila kucoba runtutkan, lebih kurangnya percakapan itu seperti ini:
“Hey!”
“Hai”
“Apa kabar?”
“Bisa kau kirimkan fotomu?”
Aku meminta fotonya karena memang pada aplikasi itu dia tak memasang foto dirinya. Melainkan hanya gambar sebuah teko yang mengucurkan kopi ke satu cawan cantik berwarna putih.
“Tentu saja.” dan dia mengirimkan gambar dirinya.
“Oke. Thanks!”
“Apa rencana hari ini?”
“Tidak ada. Hanya rehat.”
“Mau jalan bareng?”
“Maksudmu hari ini?
“Ya, kalau kau berkenan, pukul 10 nanti saya jemput kamu.”
“Boleh!”
Aku hanya mengiyakan saja tawaran itu. Sebelumnya aku tidak yakin bahwa dia benar-benar akan datang, mengingat bahwa dia maupun aku tidak saling kenal. Tetapi aku suka mengerjai orang lain. Maka aku mengiya.
Pukul 9.30 pagi Razuan kembali mengirimiku pesan. “Saya sudah di jalan menuju alamatmu. Sampai bertemu!” Aku cukup terperanjat mendapat kabar itu. Aku tak mengira jika Razuan benar-benar serius ketika ia mengatakan hendak bertemu. Aku segera pergi mandi dan bersiap-siap. Aku akan merasa tidak enak kalau sampai lelaki itu tiba di sini sementara aku belum rapi. Aku tak mau membuat orang lain menunggu, siapa pun itu. Hanya saja, syukurlah, dia mengirim pesan kembali dan mengatakan kalau jalanan tengah padat dan tampaknya dia akan terlambat. “Bukan masalah!” ujarku.
Namun, cuaca sedang muram saat itu. Matahari tidak muncul. Sementara gerimis berjatuhan dengan indahnya. Seakan menyihir. Razuan menjemputku pukul 10 pagi lebih 30 menit. Perutnya yang seolah bengkak tampak begitu penuh pada kursi kemudinya. Pada kepalanya, dia mengenakan topi seperti yang kerap dipakai oleh para pelukis. Yakni topi dengan moncong ke depan. Sementara untuk setelannya dia memakai kemeja rapi dengan celana jeans.
Lelaki ini kurasakan seorang yang dingin. Bahkan teramat dingin. Pada menit-menit pertama perjumpaan kami, dia bercerita mengenai pengalamannya bersama para lelaki muda yang pernah dikenalnya. Dia mengeluh dan menyampaikan hal-hal yang tidak disukanya dari mereka. Bahwa para lelaki muda kebanyakan memiliki etika yang buruk. Sebagai contoh, dia pernah berjumpa seorang anak lelaki, belum lama ini, sekitar satu minggu lepas, yang minta belikan banyak sekali barang. Kemudian dia melanjutkan. “Saya sejatinya tidak marah, tapi semestinya anak itu tidak boleh terlalu memaksa dan meminta banyak hal dalam satu waktu. Hari ini minta baju, besok minta sepatu, lusa minta hape.” Razuan berbicara dengan emosi tertahan. “Kalau seperti itu, bagus gak usah. Saya bukan mesin atm.”
Di dalam hati, aku cuma berkata bahwa: ya, itu resikomu kalau mau bercinta dengan anak muda. Tetapi, tentu saja, aku tidak mengatakan itu. Aku takut hatinya terluka lantas menilaiku sebagai anak yang kasar. Apalagi kami baru saja bertemu. Pun tidak salah jika dikatakan kami belum kenal. Sebab kenyataannya memang demikian. Selain itu, aku juga tak mau dia menurunkanku di tepi jalan. Sebagai seorang asing yang baru saja dijumpai, semua bisa terjadi bukan? Kemudian mobil bertolak ke mal paling besar di kota ini, sebuah mal baru. Baru saja dibuka sekitar tiga bulan lepas. Kami berangkat ke sana karena memang aku ingin mengunjunginya. Aku belum pernah masuk ke dalam mal itu. Bangunannya yang begitu tinggi dengan belasan lantai, kawasannya yang teramat luas, tempat parkir bawah tanahnya yang menakjubkan membuat aku terpukau setengah hidup.
Begitu tiba Razuan mengajakku ngopi di Starbucks. Aku memesan chamomile tea, sedangkan Razuan memesan americano. Selain itu, kami juga memesan dua potong kue. Maka dimulailah percakapan-tak-penting-penting-amat yang terjadi hanya agar menghindari perasaan kikuk antara satu sama lain.
Razuan bercerita jika dia bekerja sebagai staf di sebuah kantor di pusat kota Johor Bahru. Tetapi dia tidak tinggal di dekat sana, melainkan di Taman University. Jaraknya sekitar tiga puluh menit. Sementara kota kelahiran dia bukanlah kota ini, melainkan Negeri Sembilan. Meski kakak yang sering dikunjunginya, satu-satunya keluarga terdekat yang saat ini ia miliki, menetap di Melaka. Teruntuk diriku sendiri, aku mengatakan bahwa asalku dari sebuah kota di Indonesia. Aku bekerja kepada seorang Chef di sebuah hotel bintang empat. Di kota ini, aku tinggal di sebuah bilik sewa bersama seorang rekan kerja, seorang Indonesia pula.
Tak lama ngopi di sana, kami mulai berjalan-jalan mengitari mal super luas itu. Pandanganku jauh dan tinggi sekali. Desain interior mal ini pun tidak kalah mengagumkan dari desain exterior maupun arsitekturnya.
“Apa kamu suka membaca?” ujarku setelah Razuan menanyakan hobiku. Aku berkata jika aku suka membaca buku dan menulis cerita.
“Tentu saja, saya suka.” jawabnya. “Namun, ketika dunia ini semakin maju, teknologi semakin canggih, saya lebih sering menonton film ketimbang membaca buku.”
“Begitu?”
“Iya. Tetapi, kau tahu, ada satu hal yang sedikit menggangguku terhadap film. Pada buku kau bisa mengetahui secara langsung apakah buku itu bagus atau tidak bahkan sejak kalimat pertama. Namun, untuk film, untuk mengetahui apakah film itu layak ditonton, kau harus menontonnya sampai setidaknya seperempat dari durasi film tersebut!”
“Saya sepakat!”
Aku dan Razuan berkeliling mal dan terus menaiki eskalator. Kemudian kami sampai di depan sebuah kedai yang menjual pakaian dan alat-alat olahraga. Nah! Kedai yang seperti inilah yang amat sangat aku sukai. “Mau masuk?” tanyanya. Dan aku menganggukkan kepala.
Aku bisa mengatakan bahwa semua barang yang terdapat di kedai itu bagus! Bahkan jauh lebih bagus ketimbang baju-baju dan pakaian olahraga yang terdapat di kedai-kedai yang pernah aku kunjungi. Kau tahu, aku pernah bermimpi untuk memiliki satu kedai olahraga persis seperti ini. Sehingga ketika aku hendak pergi ke mana pun maka aku tidak akan bingung mau mengenakan apa. Sebab di sana aku bisa bebas menggunakan apa pun yang kumau.
Razuan berjalan melihat-lihat satu demi satu pakaian yang bagus dan menarik perhatiannya. Sementara aku seperti orang bingung, juga seperti orang yang tengah memasuki dunia yang telah diimpikannya sejak lama. Aku ingin berjalan cepat, menghampiri, dan melihat apakah pakaian-pakaian itu bagus dan sesuai dengan diriku. Tetapi aku sadar bahwa aku sedang bersama seorang yang baru kukenal. Aku harus tetap mengontrol diri!
Ketika melihat hal-hal yang kau sukai, kau pasti menginginkannya untuk kau miliki. Hal itu, tentu saja, juga berlaku kepadaku. Aku ingin membeli baju, jaket, sepatu, kaos kaki, dan celana olahraga. Tetapi aku tak punya uang. Sementara sisa tabungan yang kumiliki hanya cukup sampai akhir bulan, sampai aku menerima gaji pertamaku. Itu pun harus kuusahakan sangat berhemat.
“Hey, coba lihat ini!”
Aku mendekat, melihat apa yang ingin Razuan tunjukkan. Aku berkata: “bagus!”
Razuan mendekatkan kaos polo putih itu ke badanku. Ukurannya pas dengan ukuran tubuhku. “Oh, tidak. Bagaimana kalau bukan M, tetapi S saja?” Razuan mengambil ukuran tersebut sebelum mencocok-cocokkannya ke badanku. “Nah! Sepertinya ini lebih sesuai!”
Razuan berkata lagi. “Sementara kau mengambil S, aku akan mengambil XL.”
Kemudian Razuan mengajakku ke ruang ganti. Untuk melihat apakah kaos yang kami pilih itu bagus dan tepat.
Di depan cermin, aku melihat bahwa kulitku tampak terang sekali dibalut oleh kaos polo putih itu. Lalu seorang mengetuk pintu. “Dek?”
Itu adalah Razuan. Dan dia seolah ingin melihat apakah ukuran dan baju itu bagus kukenakan. “Wah, sudah oke itu.”
“Bagus enggak?”
“Sempurna! Ukuran S membuatmu imut pada kaos ini,…”
*
Dengan perlahan kami berdua menuruni tangga yang mengarah ke pasar malam. Dan, memang, ternyata jaraknya dekat sekali. Aku langsung bisa melihat kumpulan orang-orang yang memarkir kendaraan dan berjalan menuju pintu gerbang pasar itu.
Setiap orang yang hendak masuk ke sana mesti dicek terlebih dahulu suhu tubuhnya. Siapa pun yang memiliki suhu tubuh 38 derajat ke atas tidak diizinkan masuk. Ini adalah peraturan baru. Sebab menurut berita yang beredar di televisi dan surat kabar, ada sejenis virus yang sedang menyerang. Virus itu berasal dari Tiongkok sana. Tetapi aku tak begitu tahu mengenai hal tersebut. Pun tidak peduli.
Aku dan Razuan berjalan pelan menyusuri pasar malam ini. Pasar yang bentuknya seperti ular. Yakni memanjang dan berkelok-kelok. Di setiap tepi kanan dan kirinya berjajar orang-orang dengan barang dagangannya. Ada yang menjual makanan, ada yang menjual pakaian. Di satu-dua sudut, aku juga melihat ada penyanyi jalanan yang menjerit-jerit mengeluarkan suara merdunya.
Tak jauh dari gerbang masuk, aku melihat seorang pedagang menjual buah-buahan yang telah dipotong-potong. “Kamu mau?” ujar Razuan. Aku mengangguk.
Seraya berjalan dan memakan buah potong, aku berseloroh. “Kenapa Indonesia dan Malaysia kerap begaduh?”
“Entahlah… bukankah segala hal di dunia ini kepunyaan dan berasal dari Indonesia? Batik dari Indonesia, rendang dari Indonesia, bahkan Presiden Amerika Barrack Obama pun orang Indonesia?”
Aku hanya tertawa mendengar jawaban Razuan. Seorang yang tak lagi muda ternyata juga memiliki sisi humor dan sarkas yang tak main-main.
Razuan bertanya apakah aku mau singgah dan duduk di sebuah kafe barang untuk segelas kopi atau teh tarik? Kenapa tidak!
Ramai sekali pasar ini. Orang-orang berjalan, hilir-mudik, datang dan pergi seperti tiada habis. Sementara pada kafetaria berbentuk tanah lapang yang dipenuhi oleh meja dan dikelilingi oleh para pedagang makanan ini, terdapat sebuah live music. Suara penyanyi lelakinya bagus sekali. Berat dan bersih. Dan lagu-lagu yang dibawakannya tak hanya lagu-lagu melayu, tetapi juga lagu-lagu dari Indonesia. Seperti lagu-lagu dari band Wali dan Ungu. Ini membuat saya sedikit terperanjat. Nyatanya orang-orang Malaysia sungguh mengapresiasi kerja seni dan budaya dari Indonesia. Teman kerjaku, Chek Ita, seorang melayu, bahkan hafal lagu-lagu Krisdayanti dan kerap bertanya perihal Indonesia. Kebanyakan orang Malaysia menyukai, bahkan mencintai Indonesia. Beberapa bahkan sangat fasih berbahasa Indonesia. Hanya saja rakyat Indonesia sering salah paham. Orang-orang Indonesia kerap menuduh Malaysia suka mengklaim budaya Indonesia sebagai budayanya. Padahal apalah arti kepunyaan suatu hal ketika dengan tak begitu mempersoalkan hubungan antar negara bisa menjadi lebih erat. Semacam saudara? Persis sebagaimana yang kerap disebut oleh orang-orang Malaysia, bahwa Indonesia adalah saudara mereka. Selain itu, bukankah dulu, sejatinya, wilayah-wilayah ini belum terpisah dan terpecah belah? Masih satu yang disebut ranah melayu? Tanah NUSANTARA? Sementara satu hal lain yang sangat berarti, warga Malaysia pun sangat menerima orang Indonesia bekerja di negerinya. Tanpa diskriminasi. Sebagai contoh, seperti aku dan kawan satu bilikku. Dan juga ada sekian banyak orang Indonesia yang menikah dengan orang Malaysia. Tanpa kendala. Malah sampai mendapatkan kewarganegaraan dengan mudah.
Kami berjalan menyusuri jalan pulang seusai meminum kopi dan teh tarik. Juga menyantap sepiring kecil karipap. Tak lupa, kami berhenti di lapak pedagang pakaian. Razuan memilihkanku celana dalam. Satu kotak untukku, satu kotak untuknya. Dan karena pedagang itu tak memiliki celana renang maka kami menggantinya dengan celana bola.
Sejatinya perkara mengenai celana renang ini merupakan kebutuhanku. Sedangkan menginap di hotel yang memiliki kolam renang adalah keinginanku. Petang itu, Razuan bertanya. “Kamu mau menginap di hotel seperti ini?”
Petang itu kami sudah tidak lagi berada di dalam mal megah itu. Seusai membeli kaos polo yang malam ini kami pakai, kami meluncur ke satu kawasan cantik dan mahal. Wujud kawasan itu bahkan seperti bukan di Asia, melainkan negeri-negeri di barat.
Kawasan ini bernama Puteri Harbour. Kawasan yang memiliki dua swalayan mewah tersendiri, beberapa komplek apartemen, dua buah hotel, sekolah internasional, universitas, bahkan pelabuhan internasional. Mengagumkan! Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dari pusat kota untuk menuju kawasan ini. Tetapi itu bukan masalah, pemandangannya yang sama sekali indah membayar jarak yang telah ditempuh.
“Mau pergi ke mana kita?”
“Bukankah kamu yang lebih kenal daerah ini? Kamu kan bekerja di sini?”
“Ya, tetapi, di saban hari saya hanya datang bersama bos ke tempat kerja. Setelah jam kerja selesai kami pulang. Tidak ada waktu untuk berjalan-jalan!”
Razuan membawa mobilnya dengan santai dan lancar. Apartemen demi apartemen kami lewati. Jalan-jalan yang mulus, rapi, dengan garis yang sempurna itu tampak indah. Pohon-pohon rimbun yang sengaja ditanam untuk mempercantik bangunan dan sepanjang jalan. Daun-daunnya tampak lebat dan hijau. Sangat segar.
Lelaki ini membawaku ke sebuah hotel tepat di samping tempat saya bekerja. Ya, dua hotel ini berdiri bersebelahan. Dan para tamu kedua hotel tersebut kebanyakan berasal dari luar negara, bahkan luar benua. Seperti Singapura, Thailand, Indonesia, Korea Selatan, China, Australia, Rusia, Jerman, dan Amerika Serikat.
Razuan memarkir mobil di ruang bawah tanah. Ketika keluar dari mobil, aku merasa seperti tengah berjalan bersama ayah sendiri. Tidak, ia bahkan jauh lebih baik. Sosok yang selama ini hilang dan senantiasa kucari.
Aku dan Razuan makan di sebuah restoran Amerika di bagian belakang hotel. Restoran itu menghadap laut. Indah sekali. Laut yang biru dengan langit bersemu oranye. Dan cahaya cantik itu memancar mengenai segala apa yang ada di hadapanku. Pohon-pohon, kafe, kedai-kedai makan, laut yang tenang dan mengagumkan, juga yacht-yacht mewah yang terikat pada temali.
“Bagaimana seharusnya saya memanggil anda?”
“Kenapa?”
“Bolehkah dengan ‘ayah’?”
“Saya tidak nyaman dengan orang-orang di sekitar kita. Jadi jika saya memanggil kau dengan panggilan ayah maka setidaknya mereka tahu bahwa kau adalah ayahku!”
“Hmm. Tentu saja, apa pun, semua boleh.” jawab Razuan. “Kau manis sekali.”
“Terima kasih.”
Sejatinya aku sendiri tak memiliki pikiran mengenai hal ini. Namun, karena satu peristiwa yang terjadi tengah hari tadi membuatku terus kepikiran. Selepas membeli kaos polo putih dan keluar dari kedai olahraga itu, tanganku tentu saja menggenggam paper bag. Hanya saja, ada dua perempuan yang agaknya suka mengurusi hidup orang lain tampak sedang membicarakan kami dari satu sudut. Mereka adalah penjaga toko pakaian yang terdapat persis di belakang mereka. Aku melihat sendiri ketika mereka tengah memperhatikan kami seraya bergosip. Aku berusaha untuk pura-pura tak melihat dan memedulikan mereka berdua. Namun, tak bisa dipungkiri, aku malu. Apalagi yang membincangkan kami adalah perempuan. Dan peristiwa itu terus terkenang di kepalaku sejak siang tadi.
Nah, di restoran inilah ayah baruku itu bertanya kepadaku mengenai bermalam bersama. Apakah aku mau menginap? “Maksudmu malam ini?” kataku menanggapi. Iya, tentu saja, jawabnya. “Kalau begitu saya perlu menghubungi bos terlebih dahulu, sebab ia membutuhkan tenagaku besok. Ada semacam urusan mendadak. Bukan di tempat kerja, tapi di rumahnya.”
Dan selepas aku menelpon bosku, berkata bahwa aku berhalangan membantu orang tuanya pindah rumah karena sedang berada di rumah kawan yang lokasinya jauh, aku mengiyakan tawaran Razuan. Aku tak tahu mengapa dengan mudahnya aku bisa menganggukan kepala. Namun, bila kuingat-ingat, itu terjadi karena sifat dan kebaikan-kebaikan yang ada pada diri Razuan.
Kami bergerak ke kedai pipe yang menjual berbagai jenis pipe beserta tembakaunya. Tentu ini bukan untukku. Ini untuk Razuan. Ternyata dia merupakan seorang pengisap pipe. Sebuah kayu berbentuk indah dengan lubang di tengah-tengah. Aku melihat ayahku itu sangat senang berada di kedai ini. Dia melihat satu demi satu bentuk pipe, kotak demi kotak tembakau, bertanya mengenai merek yang satu dan lainnya, promo-promo, dan lain sebagainya. Karena aku tak begitu tertarik, aku berdiri di luar menghadap laut. Tepat di sebelah kananku merupakan bar. Tetapi pengunjungnya tidak ramai. Hanya ada dua pria berkulit putih di sana. Mungkin karena hari belum gelap?
Kami berdua berjalan di sepanjang batu yang membatasi antara air laut dan daratan. Di depan sana yacht-yacht tersusun rapi. Warnanya putih dan tampak begitu terang. Cantik sekali. Ingin rasanya aku menaiki salah satu dan pergi ke suatu tempat tak dikenal. Di mana aku bisa hidup bahagia tanpa beban memikirkan uang dan hutang. Entah di mana. Pun entah dengan siapa. Apakah dengan seorang yang tengah berjalan di sampingku ini?
Terdapat sebuah patung kuda laut yang cukup besar di ujung sana. Bentuknya bagus, detail-detailnya mengagumkan, dan sangat menarik. Aku meminta Razuan untuk mengambilkan gambarku di sana, bersama sang patung.
“Ayo, satu… dua…”
Tak terasa hari sudah begitu senja. Langit seperti terluka. Warnanya teramat oranye bersemu merah. Namun, untunglah kami telah mengabadikan momen ini. Potretku seorang diri, potretnya, sekaligus potret kami berdua.
Aku bertanya kepada Razuan, apakah sebaiknya kami mampir ke bilik sewaku terlebih dahulu untuk mengambil baju, celana dalam, dan pakaian renang. Mengingat bahwa aku memang tak membawa apa pun. Tetapi ternyata rutenya berbeda, begitu ungkapnya. Jika kami singgah terlebih dahulu maka bisa-bisa kami baru akan sampai di hotel pukul sembilan malam. Sebab hotel itu berada di jantung kota. Hotel dengan bangunan super tinggi dan mewah, yang malam ini kami tempati.
Seusai membeli pakaian kami segera berjalan pulang. Razuan bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ia agaknya lupa sama sekali untuk apa dia membawaku ke sini. Karena aku tak ingin membuatnya kecewa nantinya maka aku mengingatkan dia.
“Apa kau yakin tiada lagi yang hendak dibeli?”
Lalu Razuan seketika terkenang dengan benda itu. “Nah iya! Di depan sana kita singgah di 7Eleven sekejap!”
Sungguh menyebalkan! Ternyata diriku jugalah yang diminta olehnya untuk membeli barang tersebut di minimarket. Dia berkata bahwa dia malu membelinya. Kemudian berdiri menunggu di depan pintu, bersama orang-orang tak dikenal yang entah apa kerjanya berdiri di tepi jalan ini.
Aku dan Razuan berjalan menyusuri jembatan. Menuju pulang. Hari sudah begitu ranum. Tetapi ayahku itu masih tampak riang. Dia menceritakan banyak hal kepadaku. Tentang sejarah nusantara, orang-orang Indonesia di kota ini, perkembangan Johor Bahru.
“Bagaimana kamu bisa tahu banyak hal? Terutama tentang negara-negara lain? Amerika, Thailand, Filipina, Indonesia?”
“Sebagai warga negara yang baik, kita perlu membaca berita dalam dan luar negara. Agar kita tidak terperanjat bila ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi.” jawab Razuan dengan senyum yang sangat ramah.
Di dalam kamar hotel, udara terasa begitu nyaman. Tidak terlalu sejuk. Pun tidak gerah. Ayahku menyuruhku untuk menyuci wajah, tangan, dan kaki. Kami melakukannya bersama-sama.
Selepas mematikan lampu, ayah menarik selimut. Tubuhku dan tubuhnya ditutupi oleh benda hangat itu. Kemudian wajahku diraba oleh ayah, bibirku dikecupnya. Tangan ayah merayap menjalari sekujur tubuhku. Setelah itu aku tak begitu ingat akan runtutan rangkaian prosesi. Tetapi yang kutahu kami saling membelit. Sebelum kemudian menyatu. (*)
Palem Raya, 2021