Guru SD

Ayah dan Lautnya

Kristophorus Divinanto

8 min read

Rumah ini kembali ke sifat aslinya. Sepi. Tiada lagi tawa dan denting piring. Tamu-tamu sudah pulang. Kursi-kursi plastik yang tadi berjejer di halaman rumah sudah dikembalikan ke balai desa dengan bantuan dari pemuda karang taruna. Sampah-sampah plastik yang tadi berserakan di halaman sudah masuk ke tempat sampah. Piring-piring kotor kembali bersih menyisakan tiris air. Ibu-ibu yang sedari tadi bertukar racauan sembari gotong royong mencuci piring di dapur juga sudah pulang. Hanya tersisa Mbak Win, penjaga rumah, yang sedang membungkus lauk berlebih untuk dibawa pulang.

Arung tidak tampak di rumah. Ia tidak ada di teras, ruang tamu, dapur, juga di kamarnya. Helmnya tapi masih ada. Demikian juga koper-koper miliknya. Masih ada di tempatnya. Titi, kucing piaraan Arung, sedari tadi mengeong sambil mengelilingi ruang tengah. Barangkali ia juga mencari Arung. Atau nalurinya telah membaca isyarat perpisahan yang sebentar lagi terjadi antara dia dengan majikannya.

“Mas Jangkar mencari Dik Arung?” kata Mbak Win.

Jangkar mengangguk.

“Iya, Mbak. Mbak Win tahu ke mana anak itu?” tanya Jangkar.

“Ke dermaga, Mas. Katanya mumpung masih di sini.”

Mbak Win membawa piring plastik berisikan makanan kucing dan Titi langsung mendekat ke arahnya. Piring itu diletakkan di dekat dapur. Titi yang sedari tadi mengitari pergelangan kaki Jangkar, bergegas mendekati Mbak Win. Hewan itu segera menyantap tiap butir makanan yang ada pada piring. Jangkar melihat ke luar rumah melalui jendela yang ada di ruang tamu. Matahari mulai beringsut ke barat. Langit kian jingga. Jangkar bergegas mengenakan jaket hoodie hitam dan mengambil kunci motornya.

“Mbak Win, saya juga pergi dulu. Saya mau menyusul Arung ke dermaga. Nanti Mbak Win langsung pulang ke rumah saja. Tidak usah menunggu kami,” kata Jangkar.

Lho, tidak mau ditunggu?” tanya Mbak Win.

“Tidak usah, Mbak Win. Mbak Win langsung pulang saja. Saya mohon doa agar perjalanan Arung esok hari diberi lancar dan selamat sampai tujuan. Lalu malamnya gantian saya yang kembali dinas ke laut. Saya hanya ambil cuti dua hari untuk datang ke acara ini,” kata Jangkar.

“Amin, Mas Jangkar. Amin. Terima kasih juga untuk makanannya. Suami dan anak saya jadi bisa ikut makan. Tadi Dik Arung juga sudah pamit sama saya.”

Perkataan Mbak Win terhenti. Air mata mulai membasahi pipinya.

“Mbak Win tidak menyangka melihat kalian sudah dewasa. Mbak Win masih ingat ketika dulu kalian masih kecil. Kalian sering diajak mendiang Bapak pergi ke dermaga. Mbak Win juga masih ingat ketika Bapak menceritakan pengalamannya memancing. Saat itu Dik Arung langsung rewel mengajak Bapak memancing, sampai meminta Bapak menutup warung agar bisa memancing. Eh, sekarang kalian semua sudah besar.”

Jangkar tersenyum dan memeluk Mbak Win. Tangis Mbak Win semakin menjadi di pelukan Jangkar. Keduanya sadar jika esok perpisahan akan kembali terjadi. Jangkar akan kembali bekerja di laut. Arung juga akan mulai merantau untuk bekerja. Tentu Mbak Win tidak selalu tegar mengurus rumah yang kesepian. Perasaan sedih dalam hati Mbak Win meski ia hanya datang untuk menyapu halaman dan menyalakan lampu teras dan lampu samping rumah. Bagaimanapun rumah sepi itu pernah riuh dengan gelak. Rumah tempatnya bekerja sebagai asisten rumah tangga selama 25 tahun. Rumah almarhum kedua majikannya, orangtua Arung dan Jangkar, yang tidak lama lagi kosong karena pewarisnya bekerja di perantauan semua.

Sementara itu Arung tersenyum mengamati riuh anak-anak yang bermain sepak bola tak jauh dari tempatnya duduk. Bukan hanya laki-laki, anak-anak perempuan juga ikut bermain sepak bola. Bola plastik berwarna putih dengan corak warna biru pudar ditendang, diumpan, dan digiring, dari satu kaki ke kaki yang lain. Ada yang meminta umpan. Ada yang berteriak meminta si pembawa bola untuk menendang. Dan ada yang berteriak gol secara bersamaan usai bola plastik berhasil terperangkap pada jala ikan yang diikat pada tiang berkarat sebagai ganti gawang.

Angin berembus tanpa meninggalkan gigil pada tubuh. Laut tetap saja tampak tenang dari dermaga ini. Air asin membentur susunan batu karang dengan santun. Tiada cipratan air yang membasahi dermaga. Kapal-kapal di kejauhan tampak mungil berjajar pada garis yang disebut-sebut memisahkan antara langit dan air. Kapal-kapal nelayan yang lapuk, penuh lubang, dan berjamur, berderit disenggol angin. Teriakan gol kembali terdengar.

“Mengingat masa lalu?”

Suara Jangkar membuat Arung terkejut. Jangkar duduk di sebelah Arung, menyodorkan kantong plastik bening berisi tempe mendoan yang masih panas dan seplastik tisu. Arung tersenyum. Ia mengambil beberapa sobek tisu dan meraih sebuah mendoan yang masih menguar dari dalam plastik. Arung juga mengambil dua buah cabai hijau yang ada di dalam plastik. Jangkar menatap sekeliling demaga hingga matanya kembali menatap kerumunan anak-anak yang sedang berebut bola plastik.

“Tempat ini tidak banyak berubah, Rung,” kata Jangkar.

“Apa yang mau diubah dari tempat yang sengaja ditinggalkan, Mas?” kata Arung sambil terus meniup mendoan yang masih mengeluarkan uap.

“Aku pikir mereka akan memakai lagi dermaga ini.”

“Siapa? Keturunan syahbandar pemilik pelabuhan ini sudah tidak ada yang tinggal di Cilacap. Tidak akan ada yang peduli dengan tempat ini.”

“Sok tahu kamu. Tahu dari mana kamu kalau pemilik dermaga ini syahbandar dari Cilacap?”

“Ayah dulu yang cerita. Makanya kalau Ayah cerita itu dengerin! Jangan malah sibuk lempar kerikil ke laut.”

Jangkar tertawa teringat kembali salah satu tingkahnya semasa kanak-kanak.

“Dermaga ini akan tetap begini sampai semua kayunya lapuk dan akhirnya tenggelam ke laut,” kata Arung sembari terus mengunyah mendoan.

“Dan kamu datang ke sini untuk nostalgia sebelum ambles?” sahut Jangkar.

Arung tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Riuh anak-anak yang bermain bola kembali terdengar. Jangkar dan Arung menatap ke arah mereka. Bola plastik yang sedari tadi diperebutkan kaki-kaki lincah telah jatuh ke laut. Salah seorang anak bergegas melepas pakaian dan mencebur ke laut. Ia pasti anak yang menendang terlalu kencang hingga bola plastiknya terjatuh ke air. Barangsiapa yang menjatuhkan bola ke air, harus mencebur ke laut untuk mengambilnya. Sebuah kesepakatan tua para pesepak bola dermaga.

“Kamu ini kenapa, Rung? Usai berpesta malah merana,” tanya Jangkar.

“Namanya juga pesta perpisahan, Mas. Besok aku sudah berangkat ke Jepang dan entah kapan bisa pulang. Bukannya wajar kalau aku sedih?” jawab Arung.

Jangkar hanya tersenyum mendengar ucapan Arung. Adiknya memang bernasib baik. Selepas lulus kuliah, setelah mengikuti seleksi yang panjang, ia diterima oleh perusahaan pelayaran wisata di negara tempat Gunung Fuji berdiam. Besok pagi ia harus berangkat Jakarta sebelum terbang ke Jepang. Meninggalkan Cilacap tempatnya lahir dan dibesarkan. Meninggalkan dermaga tua dan usang ini yang menjadi sekeping kenangan hidupnya. Keinginan Arung bekerja di laut benar-benar terwujud. Bukan, keinginan Ayah.

“Mas, menurutmu Ayah bangga atau tidak melihatku sekarang?” tanya Arung sembari mengambil lagi sebuah mendoan dari dalam plastik.

“Tentu saja bangga. Ayah selalu meminta kita pergi ke laut. Sebentar lagi kamu akan bekerja di laut,”  jawab Jangkar.

“Berarti kita akan punya cerita yang tidak kalah keren dari cerita Ayah, Mas. Kamu sudah bekerja di laut untuk menambang minyak. Mulai bulan depan, aku akan memasak di dalam kapal pesiar yang keliling Jepang. Mas Jangkar masih ingat cerita-cerita Ayah tentang laut? Cerita ini misalnya, ketika Ayah bertahan di laut ketika badai angin.”

“Ya. Ayah juga pernah bercerita kepadaku. Cerita ketika ia bisa mempertahankan kapal agar tidak sampai terbalik karena ombak,”

“Nah! Itu dia! Ya semoga aku tidak perlu mengalami badai. Tapi mungkin aku akan melihat gurita yang seukuran orang dewasa. Atau bisa juga aku memancing di tengah laut untuk mencari bahan makanan yang segar. Sama seperti Ayah. Mas Jangkar masih ingat? Ayah pernah cerita ketika ia pulang ke dermaga membawa banyak ikan hasil memancing selama dua malam. Mas Jangkar ingat?”

Jangkar kali ini hanya mengangguk. Ia berdiri dan meregangkan tubuhnya. Langit telah jingga sempurna. Anak-anak yang sedari tadi bermain bola kini duduk menggerombol pada bibir dermaga. Beberapa anak laki-laki tiduran bertelanjang dada. Seorang anak perempuan tampak berusaha melakukan juggling dengan bola plastik yang sedari tadi digunakan untuk bermain. Terdengar sesekali mereka tertawa entah mentertawakan apa. Anak-anak yang lain tampak asyik melempar batu ke arah permukaan air.

“Sejak kecil, setiap sore, Ayah selalu mengajak kita datang ke dermaga ini. Dia akan bercerita segala hal yang ada di laut. Tentang badai. Tentang angin yang tiba-tiba berhenti bertiup. Tentang ikan yang seukuran pahanya. Tentang paus yang merintih seperti menangis. Tentang mayat berseragam bupati yang mengapung di laut. Semua tentang laut. Dia juga meminta kita agar menjadi sepertinya, seorang pemberani di laut. Ketika pulang, ia selalu mengajak kita menyanyi lagu ‘Nenek Moyangku’. Sampai dia juga memberi kita nama yang ada unsur lautnya,” kata Jangkar sambil terus menatap gerombolan anak-anak yang tengah bercanda.

Arung hanya menganggukkan kepala sambil terus mengunyah mendoan.

“Tapi, bagaimana jika ternyata cerita-cerita Ayah itu bohong?”

Arung menatap kakaknya. Mencoba memastikan bahwa perkataan barusan benar-benar keluar dari mulut Jangkar. Namun pandangan Jangkar tetap menatap ke arah yang jauh. Entah menatap kerumunan anak yang tengah bercanda atau menatap kapal-kapal kecil yang ada pada garis cakrawala. Arung tetap tidak mengerti perkataan kakaknya.

“Maksudnya? Ayah berbohong?” tanya Arung.

Jangkar mengangguk. Kali ini ia menatap Adiknya.

“Bagaimana bisa kamu mengatakan Ayah kita seorang pembohong?”

“Ibu yang cerita. Sebelum meninggal.”

“Ibu yang cerita?”

“Ya. Kamu jelas tidak tahu. Kamu masih bayi, masih dirawat Mbak Win. Kamu sendiri pasti tidak tahu wajah Ibu kalau fotonya tidak dipajang di ruang tamu. Ibu dulu menceritakan semuanya ketika aku menjaganya setiap sepulang sekolah. Saat itu aku dan Ayah bergantian menjaga Ibu di rumah sakit. Ayah menjaga Ibu setelah magrib, setelah warung tutup, hingga kembali bertemu pagi. Saat itu warung kita belum seperti sekarang. Ayah belum punya karyawan. Ayah tidak bisa menutup warung begitu saja.”

“Apa kamu mau mengatakan kalau Ayah tidak mungkin pergi ke laut karena dia selalu berjualan mendoan?”

Jangkar menggelengkan kepalanya.

“Ayah sudah dilarang pergi ke laut oleh Kakek sejak Nenek meninggal. Saat itu Ayah masih SD. Ibu dari Ayah, Nenek kita, terbawa ombak ketika Sedekah Laut. Kejadian ini ada di koran. Kamu bisa membaca klipingnya di perpustakaan kota. Nama Nenek kita ada di daftar korban yang hilang dan meninggal. Sejak saat itu, Kakek selalu memarahi Ayah sekalipun Ayah hanya menginjakkan kakinya di pantai. Sama seperti Kakek dulu pernah memarahiku hanya karena aku pamit ingin bermain ke pantai.”

Arung terdiam menatap kakaknya. Mencoba mencerna segala hal yang baru saja ia terima. Keraguan-keraguannya di masa lalu tentang sosok almarhum Ayah kembali merangkak. Tidak ada foto di rumah yang menunjukkan Ayahnya ketika berada di laut atau pantai. Ketika Ayahnya bercerita soal memancing semalam suntuk, Arung tidak pernah melihat alat pancing tersebut di rumah. Bahkan pancing yang rusak sekalipun tidak tampak di gudang. Setiap hari, sejauh ingatannya, sang Ayah hanya sibuk menggoreng mendoan yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan.

“Teman-teman seangkatan Ayah saat itu hampir semuanya bekerja di laut, tapi Ayah sendiri tidak pernah diizinkan bermain ke laut. Ayah mulai membuat cerita-cerita bohong agar lebih percaya diri. Ayah ingin punya cerita layaknya yang dimiliki laki-laki seusianya. Cerita-cerita lazim penduduk yang tinggal di pesisir pantai, tentang laut dengan segala gemulungnya. Pengalaman yang selalu bisa diceritakan kepada anak-anaknya secara turun temurun.”

Setiap ucapan kakaknya menjadi benang yang menjahit kisah-kisah rumpang menjadi utuh. Orang-orang di kota yang seusia Ayahnya rata-rata memang bekerja di laut. Entah sebagai penambang minyak di laut lepas seperti kakaknya, menjadi pelayan, atau ikut pelayaran kapal pesiar seperti dirinya. Ayahnya bekerja sebagai penjual mendoan. Namun ia selalu memiliki berlimpah kisah tentang laut. Sejak kecil, Arung selalu bisa ikut memamerkan kisah Ayahnya ketika teman-temannya tengah menceritakan kegagahan Ayah mereka di laut. Arung sudah terbiasa mendengar kisah-kisah laut yang diceritakan oleh Ayahnya sejak kecil. Setiap kisah dari Ayahnya seolah membawa Arung pada badai yang sedang meraja di tengah samudera, debur ombak yang nyata, dan lautan yang sebenarnya.

“Mas Jangkar membenci Ayah?”

Jangkar menggelengkan kepalanya.

“Sudah tidak.”

“Berarti sempat membenci?”

Jangkar tersenyum dan tertawa untuk mengejek pertanyaan Adiknya.

“Sudah biasa anak laki-laki jika bermasalah dengan Ayahnya, Rung. Kamu kan tahu aku sebenarnya ingin menjadi guru. Ayah tidak memberi restu. Dia tetap memintaku pergi ke lautan itu,” kata Jangkar sembari mengangkat sedikit wajahnya, seolah menunjuk hamparan air asin Laut Selatan dengan ujung dagunya.

“Dan aku juga akhirnya pergi ke laut karena selalu kagum dengan cerita-cerita Ayah tentang laut. Kita semua pada akhirnya sampai di laut yang selama ini selalu ada dalam cerita-cerita Ayah,” ucap Arung perlahan.

Jangkar hanya mengangguk.

“Aku minta maaf jika cerita ini membuatmu kesal. Tapi ini menjadi wasiatnya sebelum meninggal tiga tahun lalu, ketika kamu masih magang di Thailand kala itu. Ayah memintaku menceritakan ini tepat sebelum kamu hendak pergi ke laut.”

Arung berdiri di sebelah Kakaknya. Menatap gerombolan pesepak bola kecil yang mulai beranjak meninggalkan dermaga. Mereka bernyanyi lagu ‘Nenek Moyangku’ secara bersama-sama sambil terus beriringan. Seorang anak perempuan yang sedari tadi berlatih juggling, megapit bola plastik di ketiaknya. Seruan azan muazin dan lonceng gereja terdengar bersamaan dari kejauhan. Langit kian menggelap. Jangkar dan Arung ikut melangkah pelan meninggalkan dermaga tua tersebut, berjalan pelan di belakang rombongan anak-anak yang masih saja riuh bernyanyi.

“Ayah tidak berbohong, Mas,” kata Arung.

Jangkar melirik ke arah Adiknya yang tampak yakin dengan ucapannya.

“Kita adalah lautan yang Ayah jelajahi. Ayah memintamu kuliah di teknik karena ia bercerita pernah bekerja di pengeboran minyak. Dan sekarang kamu benar-benar bekerja di tempat itu. Ayah memintaku kuliah di tata boga karena ceritanya pernah makan masakan yang enak ketika perjalanan laut dari Bali ke Sumbawa. Dan sekarang aku benar-benar akan memasak di atas kapal.”

“Ah, terlalu melebih-lebihkan kamu ini. Kebohongan Ayah tetap sebuah kesalahan, Rung,” kata Jangkar sambil terkekeh.

Arung menggelengkan kepala sambil tersenyum menatap Kakaknya.

“Menurutku Ayah tidak terlalu buruk untuk seorang pembohong. Tapi coba Mas Jangkar pikirkan. Mana yang lebih buruk, percaya diri sebagai seorang pembohong atau selalu rendah diri sebagai orang jujur?”

Arung bergegas mempercepat langkahnya hingga berada tepat di belakang rombongan anak-anak. Ia ikut menyanyi ‘Nenek Moyangku’. bersama mereka. Beberapa anak menengok, terkejut, dan saling berbisik. Beberapa anak tetap menyanyi bahkan menyanyi dengan suara yang lebih lantang ketika melihat Arung ikut menyanyi. Jangkar awalnya hanya diam melihat tingkah Adiknya, sebelum akhirnya juga ikut tersenyum. Sembari berjalan menuju tempat motornya diparkirkan, Jangkar terus bersenandung dengan suara pelan.

 

Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa.

 

Madiun, 22 Maret 2022

Kristophorus Divinanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email