Desa Miliarder di Tuban kini bukan lagi miliarder. Baru tahun lalu, desa ini menjadi berita karena warganya mendapatkan uang pembayaran lahan untuk proyek kilang minyak Pertamina, kini desa yang sama kembali menjadi berita namun namun dengan kondisi yang berbalik 180 derajat. Mereka kehabisan uang, tak punya pekerjaan, sementara lahan yang dulunya memberi penghasilan, sudah lepas dari genggaman. Siapa yang patut disalahkan?
Alih-alih menyalahkan petani dengan segala keterbatasannya apalagi dengan bumbu bahwa mereka butuh melek “financial literacy”, mengapa kita tidak mencoba untuk melihat lebih dalam ke akar masalah, kenapa dan bagaimana petani-petani tersebut mau melepas lahan yang dimiliki dan tiba-tiba bisa menjadi miliarder.
Demi Proyek Strategis
Mari kita mundur sejenak beberapa tahun yang lalu untuk melihat apa yang terjadi di desa Temon, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak pemerintah mencanangkan pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport pada awal tahun 2017, warga terdampak berkonsolidasi untuk menolak pembangunan tersebut. Selain aksi massa secara langsung, penolakan juga masif terjadi di sosial media melalui tagar #StopNYIA.
Penolakan warga dikuatkan dengan hasil penelitian akademisi dan LSM yang menunjukkan bahwa pembangunan bandara NYIA, selain berada di lokasi rawan bencana tsunami, juga akan menghilangkan ratusan hektare sawah produktif yang merupakan lahan mata pencaharian warga Temon. Singkat cerita, atas nama proyek strategis nasional, upaya penolakan warga direpresi aparat, NYIA tetap dibangun, dan warga terdampak pembangunan hanya sesaat menikmati uang ganti rugi.
Dari ilustrasi di atas dapat dilihat bahwa situasi serupa pernah terjadi dan ada dua perspektif dalam kasus tersebut. Pertama adalah perspektif mereka yang menghamba terhadap uang dan beranggapan bahwa uang akan mampu menyelesaikan segalanya, yang sayangnya pemerintah berada dalam perspektif ini. Pemberian ganti rugi lahan yang terdampak proyek pemerintah seringkali hanya dilihat dalam kacamata seberapa besar dana yang didapat oleh warga. Ketika warga mendapatkan dana melimpah, pemerintah menepuk dada dan mendaku bahwa warga menjadi kaya karena proyek pemerintah.
Baca juga: Mendadak Kaya Berujung Petaka
Kelangsungan hidup warga yang tidak lagi memiliki mata pencaharian juga sebatas diakomodir dengan memberikan pekerjaan kepada warga terdampak, yang tentu saja tidak memberikan jaminan untuk mampu memberikan nafkah dalam waktu yang lama. Tidak jarang warga terdampak proyek pembangunan pemerintah juga mendapatkan tawaran relokasi, tanpa melihat bagaimana warga bisa melanjutkan hidup di tempat relokasi.
Di sisi lain, warga memiliki perspektif tentang keberlangsungan hidup. Nominal ganti rugi yang diberikan mungkin memang terlihat besar, namun jika dalam 1 rumah terdapat orangtua dengan 3 orang anak yang masing-masing memiliki keluarga, tentu nominal tersebut akan menjadi kecil. Mata pencaharian juga menjadi permasalahan selanjutnya bagi warga terdampak. Ketika warga masih menjadi petani, selama lahan pertanian masih ada maka warga masih bisa bekerja dan mengupayakan agar lahan tersebut bisa menghasilkan. Pun, di kala harga kebutuhan pokok melambung, warga masih bisa mendapatkan atau mencari penggantinya dari hasil lahan pertanian mereka.
Situasi tersebut berubah ketika warga tidak lagi bekerja menjadi petani dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Pekerjaan yang diberikan sebagai bentuk penggantian mata pencaharian juga bukan merupakan solusi karena tidak ada jaminan di masa mendatang mereka akan tetap bekerja di perusahaan tersebut. Tawaran pekerjaan juga hanya berlaku bagi mereka yang berada di usia produktif. Pada akhirnya, warga akan dipaksa untuk hidup dengan hanya mengandalkan uang ganti rugi.
Bukan Nasionalisme
Bandara NYIA, Bandara Kertajati, PLTU Batang, Waduk Jatigede Sumedang, Bendungan Bener, dan proyek kilang minyak di Tuban seharusnya lebih dari cukup bagi kita untuk melihat bahwa ada yang salah dalam paradigma penyelesaian permasalahan lahan di Indonesia.
Sustainability menjadi faktor yang selama ini belum terlalu serius diperhatikan oleh para pemangku kepentingan. Nominal yang sedemikian besar tanpa adanya peran dari pemerintah untuk mempersiapkan warga dalam mengelola uang tersebut hanya akan memunculkan desa-desa miliarder dadakan lainnya, yang muncul di media hanya ketika uang mereka sudah habis dan tidak lagi memiliki pekerjaan. Bahwa memiliki pekerjaan adalah keniscayaan, namun bagaimana pekerjaan tersebut mampu menghidupi keluarga adalah persoalan lain. Tawaran relokasi juga tidak hanya sekadar menawarkan warga terdampak untuk memiliki hunian baru di tempat yang baru, namun juga bagaimana perlu adanya pendampingan untuk memudahkan warga beradaptasi, baik secara kultural maupun dalam aspek ekonomi dan sosial.
Terlihat susah? Memang seharusnya demikian. Karena hidup tidak hanya sekadar berbicara mengenai pekerjaan dan uang, namun bagaimana seseorang bisa benar-benar memiliki hidup yang layak. Terlebih ketika sudah berani untuk meminta warga berhenti dari penghidupannya dan mencabut mereka dari komunitas sosial dan kultural yang selama ini menjadi penopang kehidupan.
Namun, ada juga cara yang lebih mudah, membiarkan pemberitaan tersebut menghilang dari perhatian publik dan mengulangi pendekatan yang sama di tempat lain dengan nominal uang ganti rugi yang fantastis sembari berharap tidak ada yang ingat peristiwa serupa pernah terjadi di tempat lain.
Nasionalisme juga bisa digunakan untuk membungkus pengorbanan rakyat sebagai bentuk kontribusi yang lebih besar terhadap negara. Bila tidak mau repot memberi ganti rugi dan sudah bosan menggunakan jargon nasionalisme, penggusuran juga tidak jadi soal. Suara-suara penolakan dan ketidakpuasan akan dengan segera tertutupi oleh hingar bingar dalih pembangunan.
Lagipula, bukankah kita sudah menasbihkan diri sebagai bangsa pelupa?