Asap-asap mengepul menggantikan oksigen bagi para penghuni jalanan seperti Aswono. Banyak kesedihan tersirat dari wajah-wajah yang tak terhias pigura di pinggiran jalan. Kumpulan wajah itu berbentuk tuba derita, yang sayangnya, tak ada seorang pun yang terketuk untuk mengubah itu jadi susu gembira.
Kehidupan di jalanan selalu membuat mata siapa pun yang memandangnya jadi penuh iba. Pengamen cilik bernyanyi berkucuran keringat di tengah lampu merah; sopir angkot yang sibuk mengipas hawa miskinnya di bawah terpal warung kopi; juga Aswono, pemulung yang sibuk mengais, mengorek, serta memungut ocehan pongah para pejabat dari kolong-kolong kotor itu.
Meskipun sangat muak dengan kehidupannya, Aswono tak pernah berhenti bermimpi. Aswono selalu yakin kalau dirinya diciptakan untuk menjadi seorang presiden. Namun, sudah empat puluh tiga tahun, ia masih juga berkutik pada pangkat mulianya sebagai pemulung.
Saking seringnya Aswono berujar kalau ia akan jadi presiden, orang-orang di jalanan yang bernasib sama seperti dirinya sering sekali menertawakannya sambil berkata, “Alah, kamu ini mbok ya tahu diri. Yang kamu ucapkan itu cuma mimpi!”
Di satu malam yang cukup larut, Aswono kembali ke rumahnya yang rombeng. Hasil pulungannya ia letakkan sembarang di depan rumah yang tak dilapisi keramik barang sebiji. Hanya dinding terpal dan sangga kayu sederhana. Atapnya dari asbes yang kalau hujan sudah pasti merembes ke mana-mana.
Tanpa perlu mengetuk pintu karena memang tak ada pintu di rumahnya, Aswono langsung masuk ke dalam—yang ketika kakinya menapak bagian dalam, langsung terlihat sekumpulan manusia kumal: Sarwiti (istrinya), Sa’diyah (putri pertamanya), Abdul dan Abid (putra kembarnya), juga Tono (adik Sarwiti yang lebih menyusahkan ketimbang anak-anaknya).
Aswono hanya mampu menghela napas panjang ketika melihat tubuh-tubuh di hadapannya saling berdesakan untuk sekadar tidur dengan nyaman. Akhirnya Aswono memutuskan untuk kembali keluar. Ia akan tidur dengan posisi duduk berselonjor tepat di samping hasil pulungannya dan berdoa semoga tidurnya akan selalu indah seperti biasanya. Meski harinya melelahkan, ketika akan tidur, Aswono selalu bersuka cita, karena di setiap tidurnya, ia selalu bermimpi menjadi seorang presiden.
Baru saja terlelap dalam tidur, Aswono langsung tersenyum tatkala Sarwiti menyentuh pundaknya dengan tangan yang begitu lembut sambil berbisik halus di telinganya, “Pak, bangun, ajudanmu sudah menunggu di depan!” mata Aswono langsung terjaga. Senyumnya semringah sekali. Akhirnya, akhirnya ia kembali jadi seorang presiden yang dihormati.
Sarwiti yang sudah tahu apa yang terjadi atas diri suaminya setiap bangun dari tidur, hanya bisa tersenyum sambil memberikan sehelai handuk putih bersih yang wanginya begitu harum diterima oleh batang hidung Aswono.
“Senang sekali melihat istriku yang cantik dengan pakaian rapi, riasan yang memukau, dan wajah yang gembira!” Sarwiti menyambut ajakan dari tangan Aswono untuk saling berpelukan di pagi hari.
“Semenyedihkan apa wujudku saat menjadi istri dari seorang pemulung, Pak?” masih dalam posisi berpelukan, mereka berdua tertawa meski ada getir yang juga terasa.
Setiap hari, tak pernah sekalipun di dalam tidurnya Aswono tidak bermimpi. Dan yang begitu menyedihkan adalah, di setiap mimpi yang ia dapati, Aswono selalu menjadi seorang pemulung yang kehidupannya begitu nelangsa. Bahkan, Aswono, sebagai seorang presiden yang sebelumnya berpangkat jenderal itu tidak bisa membedakan mana kehidupannya yang nyata. Apakah ia adalah seorang presiden yang selalu bermimpi buruk menjadi pemulung, atau ternyata sebenarnya ia adalah seorang pemulung yang selalu bermimpi indah menjadi presiden?
Di setiap petang setelah tugas hariannya sebagai seorang presiden telah selesai, Aswono selalu menyesap kopi sebanyak-banyaknya. Ia lakukan itu agar matanya selalu terjaga. Aswono selalu tidak siap kalau-kalau ia kembali bermimpi menjadi seorang pemulung yang begitu menyedihkan. Namun, usahanya menyesap bergelas-gelas kopi hanya menjadi kegiatan yang sia-sia. Kali ini kantuk mulai mendatanginya, dan Aswono tahu kalau ia akan tertidur dan mendapatkan mimpi yang begitu buruk lagi. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Aswono dengan begitu putus asa berdoa di atas meja kerjanya.
“Kali ini saja, Tuhan… tolong jangan bangunkan aku dalam kondisi sebagai pemulung!”
Selepas terlelap, Aswono masih ingat doanya pada Tuhan sebelum ia tidur. Namun, apa-apaan ini? Kenapa ketika ia terbangun, yang dapat tertangkap oleh penglihatannya hanyalah sekumpulan cahaya? Suara apa itu? Telinganya mendengar jutaan suara yang begitu ramai, tetapi tidak memekakkan. Aswono kebingungan. Tempat apa ini? Ketika pertanyaan itu ia ucapkan, muncullah sesosok cahaya yang sinarnya melebihi cahaya-cahaya di sekelilingnya. Bahkan, Aswono baru sadar, ternyata ia juga berbentuk cahaya.
Cahaya yang sinarnya lebih terang dan lebih hangat darinya bertanya pelan, “bagaimana, Aswono, sudahkah kamu menentukan mana yang akan kamu pilih?”
Aswono ingat, ternyata inilah kehidupannya yang paling nyata. Di tempat inilah ia sebenarnya telah tinggal sekian lama. Tempat yang dihuni oleh sekumpulan makhluk yang memberi Aswono gambaran bagaimana kehidupannya di dunia kelak. Dan Aswono baru saja ditunjukkan gambaran itu lagi, lalu ia diberi perintah untuk memilih secepatnya.
“Apakah aku tidak bisa tinggal di sini saja selamanya?” meskipun masih berbentuk cahaya, Aswono, dengan nada bicaranya, terdengar begitu putus asa ketimbang wujudnya saat menjadi pengemis ataupun presiden dalam gambaran sebelumnya. Kau tahu, Aswono tak pernah benar-benar merasa damai dalam hidupnya sebagai pemulung ataupun presiden.
Menjadi pemulung artinya kau harus siap berpuasa dari mimpi-mimpi yang mungkin bisa didapatkan orang lain dengan menjentikkan jari. Lapar dan sakit kepala juga bukan lagi alasan untuk rehat dari kehidupan yang melelahkan itu. Sementara anak istri punya mulut dan perut yang harus diisi. Tetapi menjadi presiden pun bukannya sama sekali tak ada masalah. Kedamaian hidupmu akan terenggut sedetik setelah pelantikan. Apa pun yang kau kerjakan akan selalu dikritik, disabotase, dan digagalkan oleh para penguasa yang sesungguhnya. Kau bisa berpakaian rapi, cukup makan dan olahraga rutin di istana negara. Namun, di balik pakaian dan tubuhmu yang sehat, tak dapat kauhindari kekosongan batin yang merambati dirimu layaknya badai tak berkesudahan. Senyummu menjadi palsu, hanya untuk menjaga citra. Keputusanmu dikendalikan. Nasibmu ditentukan oleh sikap menurut atau menentang. Kau bisa digulingkan kapan saja. Dan kedamaian… kedamaian tak ada dalam kehidupan, dari rumah kumuh sampai istana negara, manusia akan selalu merasa cemas dan gelisah, seolah takdir tumbuh bagimu serupa kandang dan kau menjelma burung dengan sayap yang sia-sia belaka.
“Wahai Aswono, hamba Tuhanku! Ini hanyalah tempat persinggahan bagi mereka yang akan dimurnikan di dunia,” jawab cahaya yang sinarnya begitu terang dan hangat itu.
“Wahai Aswono, hamba Tuhanku! Kami sudah memberimu gambaran. Ada dosa di masa lalu, dan akan selalu ada harapan di masa depan. Begitulah kehidupan bekerja. Segala yang buruk harus kembali murni. Dan kamu harus memilih peran dalam proses pemurnian itu, sebagai seorang presiden yang selalu bermimpi buruk menjadi pemulung, atau hidup sebagai seorang pemulung yang selalu bermimpi indah menjadi presiden?” cahaya yang sinarnya begitu terang itu mendesak keputusasaan Aswono—sebutir cahaya yang nantinya akan jadi manusia.
***
Editor: Ghufroni An’ars