Arsitektur Perempuan
I.
Jika perempuan
serupa ranting-ranting kering,
akan kurelakan rusukku diinjak-injak
diterjang, dicaci, tak apa sesekali
ia ingin ringkuk, terpuruk
asal tubuhku tak jadi kamar
seperti sarang lacur
retak hatiku nanar
terpasung sampai bilur.
II.
Jika perempuan
serupa punggung abdi,
aku tak ingin diperbudak oleh nafsu
cukup perasaanku kau robek-robek
asal bukan mawarku yang gugur
penuh noda & darah-darah merona
ditatap kesat hingga hidupku sekarat.
III.
Jika perempuan
serupa ajang operasi plastik
harusnya kau siap-siap
dihunjam ribuan omel
yang katanya menyebalkan sejuta umat
tapi tenang, telingamu tak akan kumat
asal bukan handuk basah
yang kau tanggalkan di atas kasur
percayalah, jika kau tetap
berdegil melakukannya
selamat bertimbang-timbang
nyawa di ujung tanduk
kau sudahpun menikah dengan setan
tapi, otak dungumu tak kunjung sadar
kasihan!
IV.
Jika perempuan
serupa mutiara tak berkarat,
kurelakan seumur hidupku bersamamu
seperti lagu Banda Neira,
yang berjudul ‘Sampai Jadi Debu’
kita akan tetap berdansa
meski dalam liang lahat
dan sumpahmu tak lagi bisa berdusta
di hadapan malaikat
kiri dan kananmu sempit
dahulu jika bibirmu penuh simpang-siur,
kini sudah terkujur di jalan mati
bedebah!
baru terketar-ketar mengucap jujur
nasi sudah basi—siapa lagi
yang mau memakannya?
kuyakin, bajingan pun tak sudi.
V.
Jika perempuan
serupa dulang-dulang berkah,
tingkahmu tak usah berpura-pura
sok pelit, seolah-olah tak punya uang
pedahal harta tak pernah
habis ditelan kubur
terkadang, hidup perlu pengorbanan
mengorbankan orang lain, kuharap jangan!
asal kau rela berlelah-lelah,
aku siap menopang hidup tatkala susah
bukan tak mau diajak susah,
tapi jika kau enggan menabur peluh;
lantas, hati perempuan mana
yang akan luluh?
VI.
Jika perempuan
serupa kaca, akan kurelakan
dinding-dindingku runtuh
asal jiwaku tetap dibasahi cinta
jangan sesekali kau dustakan
ia dengan perangai kata-kata
kau tahu?
sesaat pecah, ia takkan kembali sama
barangkali berbaur hampa,
luka dan kecewa
bahkan bisa lebih dalam dari samudera
sesudah tenggelam, takkan lagi kau temui
muara yang dahulu hatinya pernah berada.
VII.
Jika perempuan
serupa mata air surga,
harusnya kasih dibayar sayang
harusnya rindu dibalas cinta
sebab menuju hatinya
tak semudah menempah
jalan ke neraka
yang bisa kau bayar
dengan satu juta dosa.
VIII.
Perempuan,
bukan penggoda
jika tak dibukakan pintu;
saat hatimu merasa muak dengan satu.
IX.
Perempuan, bukankah
hanya ingin teduh;
pada peluk yang ia sebut rumah.
–
Dia adalah Wanita yang Kau Sebut; Ibu.
Ma, dahulu sempat aku bertanya kepada semesta. Seperti apa bentuk rupa seorang wanita?
Lalu ia pun menjawab;
Sepasang payudara yang membekalkan pahala demi zuriatnya.
Lekukan tulang rusuk yang memanggul cinta.
Rumah bagi yang mendamba pelukan kasih.
Belahan paha yang terbuka lebar mengantarkan setiap tetes darah ke surga.
Dinding rahim yang mengasihi buah hatinya hingga ia tiba di hadapan pintu dunia.
Doa-doa sejahtera yang tak henti mengetuk pintu langit agar terpelihara dari tangan-tangan keji.
Jiwanya tak bengkeng oleh rengekan-rengekan bayi yang menggema.
Kugenggam tangannya erat, lagi-lagi kubertanya dengan kalimat yang serupa;
Jadi, bagaimana kau menamai manusia-manusia ini sebagai wanita?
Apakah hanya dengan melihat bibir mungilnya?
Tubuh ramping yang dihiasi sutra kencana?
High heels berukuran empat inci untuk ia meraih dada langit?
Sekuntum dara yang mekar pada liang sanggama?
Tumpahan baktinya kepada yang lebih perkasa?
Ma, semesta hanya cengar-cengir setelah mendengar segalanya.
Lalu, apa yang membuat seseorang wanita itu mulia?
Apakah ketika ia terlihat cantik saja? Atau, ketika ia patuh pada Batara?
Keliruku berakhir pada tanda tanya. Namun, pencarianku belum juga selesai.
Ma, aku melihat nirwana dalam dirimu.
Air mata, peluh dan darahmu telah jauh menuntunku.
Sekali lagi, bintang-bintang di langit datang menjengukku.
Ia berkata padaku, bila engkau ingin melihat wanita; tatap wajah ibumu. Belah dadanya. Jawabannya ada di dalam sana.
Dan benar, Ma. Engkau hadir dalam hidupku sebagai bentuk terindah.
Ma, hanya satu yang aku takuti.
Bagaimana bila aku tidak terlahir tangguh sepertimu?
Akankah mereka tetap melihatku seperti seorang wanita?
Dan kau memilih tangan yang kiri, untuk menebus dosa-dosaku. Dalam jeritanmu, kau berharap aku akan terlahir sebagai seorang wanita.
Supaya anak-anak yang lahir dari rahimku nanti akan mengingatku sebagai ibu.
Kendati Ia sudah tahu, bahwa aku tak pernah semulia engkau.
–
Jika Aku Terlahir Seperti Bintang yang Dimuliakan Langit Malam
Kau tahu, betapa suramnya malamku bila gemintang lupa berdandan di atas sana. Kau paling tahu, betapa perihnya aku dilahap sunyi tatkala panjangnya musim salju yang bermukim. Betapa aku takut untuk bernyanyi lebih lantang dan bertelanjang, sebab aku tahu, lemahku sangat mudah untuk dijajah. Suaraku tak begitu sulit untuk diredam. Sayapku bisa patah dalam sekejap, bila peluru mereka menembus dalam senyap. Aku mati, berkali-kali. Ia tak berhenti mendesakku untuk hidup satu hari lagi. Sedikit lebih panjang dan lagi-lagi aku disuap janji bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tuhan, aku menujumu dengan selemah-lemahnya. Seperti mata yang memandangku buruk dan hina. Seperti dunia yang tak henti menabur nista, hanya karena kurang dayaku berbanding manusia lainnya. Seperti tutur kata semanis gula, hanya untuk menutupi rasa gelisah yang terbit di dada.
Telah berkurun waktu, hingga hitungan hari usiaku, aku selalu diajarkan untuk selalu berlapang dada dan tidak benci pada suratan takdir.
But, they say that being imperfect does not make you less of a human. Being weak does not always mean that you will be the first one to lose.
Maka Tuhan, aku ingin sejenak lebih jujur dengan perasaanku. Aku ingin menangkap segala nukilan hati yang telah lama berdiam.
Jika dunia memintaku untuk hidup satu hari lagi, akankah aku dikaruniakan sayap yang lebih tangguh dan jelita?
Jika dunia memintaku untuk hidup satu hari lagi, akankah seisi bumi bisa sedikit berlembut denganku?
Jika dunia memintaku untuk hidup satu hari lagi, akankah kasih yang kumiliki tetap suci?
Kau tahu, bila hatiku berkehendak lain, bukan maksudku untuk membenci. Kau pasti tahu, bila gundah hatiku, nestapa itu hanya untuk kutelan sendiri dan tak pula kesulitanku kelak menjadi sesuatu yang bisa diperjual beli. Bukan sebagai tiket untuk memohon simpati.
Sebab, orang seperti kami, paling benci dikasihani.
Pada saat Ia meniupkan rohku di dalam rahim ibu,
tertulis sebuah janji bahwa setengah kakiku telah tiba di alam firdausi.
digelar para penghuni bahwa aku adalah bidadari.
Dan Tuhan memberikan aku satu hari lagi, kali ini Ia benar-benar memintaku untuk tidak menyerah.
Jadilah pejuang, jadilah setegar karang.
Di tengah gelita, aku tak akan mati dibunuh sunyi.
Walau dunia melihatku pincang, setidaknya untuk diriku sendiri, aku sudah lebih berani menggapai cemerlang.
Bersanding dengan sejuta bintang, kala malam paling agung.
–
Santapan Malam dengan Sepiring Diskriminasi
Malam ini, aku mengenakan gaun putih panjang
dengan sepasang bulu mata yang lentik seperti ekor kucing.
Katanya, aku harus tampil seelok dan seanggun mungkin
sebab, berjalan di atas karpet merah adalah kesempatan
yang tak seharusnya disia-siakan.
Kapan lagi, ribuan mata akan memandang dan bibir tak henti memuji?
Kapan lagi, namaku disebut-sebut dan afsunku paling memikat hati?
Selamat tiba, ke pesta makan malam paling megah seantero jagat raya.
Mimpi ngeri telah bermula.
Bicara mereka hanya membatu pada rupa.
Pelan-pelan menggigit bibir, tak sabar ingin mengeksploitasi makhluk aneh sepertiku.
Seems like we’re having the most wonderful and unforgettable dinner tonight.
Semangkuk sup panas tiba sebagai pembuka selera
Dengan rasa yang tak biasa, seakan kokinya sedang overdosis monosodium glutamate
Kemudian, datang sepiring pasta aglio olio, kelezatannya membuatku dewana tak terkata
Lalu, aku memesan secangkir coklat panas, seduhan pertama terasa seperti
dosa silam yang tak mampu menembus pintu keampunan.
Mendengar namaku, mereka kagum tak tentu
Dendam dan cemburu mulai menepuk-nepuk bahu
Sial, aku tak sengaja memperlihatkan sayapku
Yang patah, lemah dan terkutuk itu
Sebuah bisikan datang menghampiriku,
Sayang sekali, perempuan secantik ini harus terlahir rengkat,
Ternyata kakinya pincang,
Matanya tak bisa menuju lensa dengan tepat.
Ia tak bisa berdansa, manakan ada pangeran yang sudi menggenggam tangannya
Sepertinya ia tak bisa bergaya-gaya di atas karpet merah malam ini, etc, etc.
Sudah kuduga, orang-orang pasti melihatku berbeda.
Mereka menutupinya dengan kata istimewa, anak surga.
Mereka masih bersembunyi di balik kalimat ‘tidak sempurna’.
Berat untuk mereka sekadar menerima bahwa aku ternyata tak sama.
Seolah-olah aku adalah benih karma paling durjana.
Bukan, bukan maksudku untuk merusak santapan malam kali ini.
Bukan juga sebab aku kesepian.
Tapi, kau telah kau saksikan sendiri, keramaian di sini nyatanya tak pernah benar-benar menyambutku.
–
Benarkah Surga Itu Milik Kita?
Surga yang mana lagi, Ibu?
Mereka bilang, perempuan sepertiku akan ditempatkan di dalam surga-Nya
Kalau benar begitu, lantas surga seperti apa yang mereka maksudkan?
Mereka juga bilang padaku, kelak aku akan terlahir sempurna, saat bersemayam di surga.
Benarkah begitu, Ibu?
Akankah suatu saat Ia mengubah pikirannya, setelah melihat tangan-tanganku yang tak suci?
Akankah suatu saat Ia mengubah pikirannya, setelah melihat bara api yang membaluti isi hatiku?
Genggam tanganku, Ibu
Supaya sentosa langkahku di atas titian yang berliku
Bila terlalu penuh dosamu, biar kusimpan sedikit di belakang punggung ini
Biar kucuri segala ketidaksucianmu, biar kubasuh darahmu dengan tangisku
Bilamana surga menjadi akhir
dari perjalanan kita,
semoga di sana kita akan kembali berjumpa.
Namun jika engkau
tak berhasil menemukanku,
barangkali kedua kakiku telah jatuh selangkah ke dalam lautan bara
yang berada tepat di bawahmu.
Ternyata benar ucap mereka,
tempat semulia itu belum tentu layak untukku.
*****
Editor: Moch Aldy MA