Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Aroma Musim Panas dan Puisi Lainnya

Rafael Yanuar

3 min read

Minggu Pagi

seperti biasa, saat pagi datang,
ia mengawali hari
dengan menyapu daun-daun
di halaman.

meski kau tak membutuhkannya lagi
tetap saja ia mencuci pakaianmu
lalu menjemurnya dalam terik matahari.

tahu-tahu, tanpa ia sadari
hari telah jadi siang.
diseduhnya dua cangkir teh
disajikannya di teras beranda
tak pernah ia lupa
pada takaran pekat dan gula
yang kausuka.

seraya menahan air mata
dia melengkungkan senyum terindah
seolah kau masih depan matanya.

nikmatkah rasanya?
cukupkah gulanya?

ketika para lakon komedi
bertingkah tak masuk akal di tv
ia tertawa terbahak-bahak
tapi kenapa air mata masih mengalir?
ketika ia memutuskan lelap
dengan memeluk fotomu erat-erat,
berharap dalam mimpi denganmu berjumpa,
malam belum benar-benar datang.

sungguh, ia hanya ingin
menunda kehilangan, sejenak saja
sampai benar-benar terbiasa menghadapinya
tapi, bagaimana caranya?
telah ia tanam sekuntum pagi di dada
berharap setiap terbitnya
mampu membuatnya terjaga
dari mimpi buruk kehilangan
yang bahkan tanpa aba-aba.

Rumah Sahabatku

sore tadi
aku mengunjungi rumah sahabatku
di kaki gunung membiru.

hanya butuh berjalan sebentar
hutan cemara
dengan pepohonan raksasa,
paku-pakuan, dan jamur sebesar piring
terbentang luas tanpa tepi.

dulu, di sungai yang jernih
kita biasa menghabiskan hari
dengan memancing. bermain air.

ternyata, warna kenangan tetap sama
sejak terakhir aku berkunjung—
kalau tak salah januari sepuluh tahun lalu,
lumut masih memenuhi dinding rumahnya
di balik jendelanya aku melihat
rak buku cokelat tua.

begitu aku memasuki pagar
sahabatku datang membawa dua cangkir teh.
lalu di bangku halaman, kami bertukar kenangan.
ia masih sendiri rupanya.

tapi tak apa-apa
sebab mataku buta.
aku tak tahu maksudnya.
sejak dulu kata-katanya
selalu penuh misteri.

ketika matahari sore menuruni bukit
kami teringat masa kecil,
ia berhasil memancing banyak ikan
sementara aku tak mendapatkan apa pun.
ah, aku memang tak pandai mengumpan
tapi lihai menangkap serangga.

di sekitar kami,
pohon-pohon khusyuk mengersikkan dedaunan
rerumputan diam mendengar percakapan.
datanglah lebih sering, katanya,
sebab kenangan tak mungkin habis
dibahas dalam semalam.
tapi langit sudah beranjak kelam
tak ada lampu jalan.
barangkali tidak bisa, kataku,
dengan maaf dan senyum pahit.

ketika hendak pamit,
lamat-lamat terdengar
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam*.

aku tertegun
sudah lama aku merindu
damai, tanpa risau mencari
yang merah di antara hitam.
aku meletakkan jaketku kembali,
“bolehkah aku menginap malam ini?”
ia tertawa,
“kau pasti tahu apa jawabku.”

(*dikutip dari sajak Chairil Anwar: Derai-Derai Cemara)

Toko Buku Kecil di Kaki Bukit

ada toko buku kecil di kaki bukit
tempatku biasa membeli
buku-buku masa kecilku.

di rumah orang tuaku
di kaki gunung membiru
buku-buku itu menua dengan indah.

saat kubaca di bawah pohon berangan
aku tak perlu ke mana-mana.
tamasya dunia bukan lagi bualan
lewat kata aku ‘kan wujudkan.

ah, berembus angin yang tenang
pun deru loko di kejauhan.
dering sepeda dari arah jalan
memulangkanku ke masa yang fana.

tahu-tahu dalam kesunyian
tahun-tahun berlalu
toko buku itu tak lagi ada.
selain setapaknya yang masih berbatu
desa ini sudah banyak berubah.

Memancing Kunang-Kunang

karena tak mampu membeli kembang api
di malam pergantian tahun,
kita mencelupkan ilalang di sungai
berharap kunang-kunang sudi
meminum sisa tetes di helainya.

“seperti tahun-tahun sebelumnya, bukan?”
kau berbisik.
aku mengangguk mengiyakan.

langit berawan dan malam tanpa bintang
menaungi desa
mendung tak jua menjadi hujan.
tapi sesekali, terdengar jua
derik jangkrik dan cicada,
ditingkahi suara air,
dan risau dedaunan.

serta-merta,
saat gelap membuana tanpa kata
dan segala yang bergerak terlelap,
kunang-kunang bermunculan
satu pesatu, sedikit demi sedikit,
berkerumun di seberang kita.

tengoklah, permukaan sungai yang dalam
berpendar karenanya.
kita menanti dengan jari gemetar.

“sudikah mereka hinggap
di lalang yang kita genggam?”
malam semakin terang,
tapi kita tidak terburu-buru, bukan?
biarkan saja waktu berlalu
dan melewati kita.
kau tersenyum dan mengangguk.
aku tak mampu berpaling.

kepada segala yang kini tinggal kenang,
bolehlah kutitip air mata ini?

Aroma Musim Panas

sampai selamanya
aku tak mungkin melupakan
pemandangan bunga-bunga rumput
di halaman sekolah dasar—
tempat kita biasa duduk
seraya sibuk melipat kertas
menjadi pesawat terbang
(sebab tak mampu membuat
1000 bangau pemenuh harapan).

aku tahu kau tertarik
memungut satu punyaku
berharap membaca cita-cita
dan kata-kata lucu
tapi malah tak menemukan apa pun
selain sebaris ungkapan sayang
dengan namamu di dalamnya.

kunang-kunang menyala merah di pipimu,
aku tersipu, mendapati kau tersenyum malu.

kini, setelah banyak tahun berjalan,
adakah kau bertanya
pada siapa waktu sebenarnya berdetak?

Rumah Masa Kecilku

rumah itu
masih rumahku yang dulu
meski setapak yang kita lalui
sudah berganti aspal.

tak ada anak-anak bermain di halaman
apalagi senandung riang
saat hujan bertandang.

namun,
pohon tempat kita biasa
menghabiskan siang
mengudap rujak atau kerupuk sambal
sepulang sekolah
belum habis teduh.

di pokok kayunya
kita menitip rindu
dan kenangan cinta pertama.

Bermain Petak Umpat

masih ingatkah kau
pada halaman sekolah dasar
tempat kita biasa sembunyi
dari mata-mata yang mencari?
bila mengenangnya
aku dapat melihat lagi
barisan forget me not
di belakang jendela ruang guru.

sambil menunggu,
kita membicangkan cita-cita:
janji bersama saat libur kenaikan kelas
meski pada akhirnya kau sendiri, pergi.

lonceng masuk berdentang sumbang
tapi tetap saja
tak ada yang datang.

buru-buru kita berjalan di koridor.
bergetar membayangkan hukuman apa
yang kelak kita terima
belum apa-apa, matamu sudah berkaca-kaca.

ah, mengenangnya kembali
aku bertanya-tanya,
apa kabarmu sekarang?
masih ingatkah padaku?
pada semua hal bodoh yang kita lakukan?
entah mengapa
memikirkannya membuatku sedih dan terluka.

seolah di antara tahun-tahun yang berlalu,
juga segala yang tak lagi kita miliki
masih ada jumpa yang harusnya bisa kita jelang,
seandainya saja aku tak terlalu malas
untuk sekadar mencari
atau mengawali langkah.

namun, semenjak tak menemukanmu
di tahun ajaran baru,
aku sudah menyerah dan melupakan kita,
tanpa menyadari,
mungkin saja di sana
kau menunggu ditemukan.

mungkin saja kau tak pernah
benar-benar bersembunyi?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rafael Yanuar
Rafael Yanuar Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email