Ruang berbicara terasa semakin sempit dan sesak. Aktualisasi pikiran semakin hari terasa kian sulit ibarat berusaha menanam di tanah yang tandus. Usaha menagih kebenaran dan integritas dicap sebagai pembangkangan bahkan kerap digolongkan sebagai kejahatan. Uniknya berbagai hal pelik tersebut tumbuh subur dalam suatu cara hidup yang dianggap paling membebaskan karena berorientasi pada terwujudnya tatanan masyarakat yang setara, inklusif dan berkeadilan. Semuanya terjadi di dalam negeri demokratis yang mencita-citakan kehidupan masyarakat yang beradab dan sejahtera.
Analogi di atas mungkin dapat menggambarkan betapa peliknya demokrasi di Indonesia saat ini. Kabar berita pembungkaman hak untuk berekspresi terjadi di mana-mana dan tentunya dengan berbagai macam cara. Ada yang dicancel oleh para buzzer, ada yang “diundang” ke kepolisian untuk klarifikasi, hingga ada yang dipaksakan tempuh proses hukum yang penuh dengan kejanggalan. Kasus yang menimpa Haris Azhar dan Fatia terkait dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan. Merupakan salah satu contoh betapa sulitnya bereskpresi dan mempertanyakan di negeri ini.
Baca juga:
Berkaca pada sejarah demokrasi di Indonesia, sebetulnya pembungkaman masyarakat sipil tidak terjadi sekali dua kali saja. Upaya pembungkaman ini sering dibalut dengan upaya kriminalisasi. Meski dalam konsepsi teoritik ilmu kriminologi dan hukum pidana, istilah “kriminalisasi” kurang tepat. Adapun makna kriminalisasi sejatinya merujuk pada proses legislasi dalam merumuskan suatu tindakan menjadi tindak pidana. Contoh sebelum disahkannya UU No. 15 Tahun 2002, kita belum mengenal apa itu tindak pidana pencucian uang.
Di lain sisi, ELSAM dalam laporan yang berjudul “Menatap Tahun-Tahun Penuh Marabahaya” menyatakan istilah kriminalisasi memang menjadi populer dengan pemaknaan negatif. Istilah tersebut merujuk pada proses penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan itu sendiri. Terdapat penggunaan kewenangan penegaan hukum dengan iktikad buruk hingga berbagai motif yang erat kaitannya dengan suatu kepentingan. Lantas apa kaitannya pembungkaman masyarakat sipil dan demokrasi modern yang kita kenal saat ini?
Paradoks
Demokrasi memang bukanlah suatu konsep maupun sistem yang tanpa cacat. Meski demikian, keberadaannya diharapkan mampu menjadi jawaban yang secara konsep nilai dan substansinya merupakan pengakuan atas dialog terbuka dalam ruang partisipasi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan yang sah. Konsep demokrasi memang terus berkembang beriringan dengan dinamika sosial. Akan tetapi, saya melihat adanya kesamaan visi dalam demokrasi sebagai konsep nilai yang komunikatif dan membebaskan.
Berdasarkan tatanan ideal demokrasi yang menghendaki adanya komunikasi antara pemegang kedaulutan yang sah dan penyelenggara negara. Seharusnya ungkapan-ungkapan ekspresi masyarakat sipil yang tentu sangatlah beragam harus diserap sebagai aspirasi dalam ruang interaksi sebagai bentuk nyata partisipasi. Tetapi, melihat realita yang terjadi saat ini. Rasanya demokrasi hanya cocok menjadi slogan semata.
Sebagaimana pantauan Amnesty International Indonesia yang menyatakan sepanjang 2021 terdapat 95 serangan terhadap pembela HAM di Indonesia dengan total 297 korban. Berbagai kalangan pembela HAM mulai dari jurnalis, aktivis lingkungan, masyarakat adat hingga mahasiswa lengkap menjadi deretan korban paradoks demokrasi. Saya sebut sebagai paradoks lantaran demokrasi yang seharusnya menjadi ruang sebebas-bebasnya interaksi masyarakat dan negara justru menjadi ruang tertutup dan sesak penuh dengan ancaman manakala bersuara.
Aspirasi yang harusnya disambut hangat dan direspon secara objektif malah dituduh dengan berbagai macam label yang mendiskreditkan masyarakat. Bersuara lama-lama menjadi barang panas karena sering dihadapkan pada potensi untuk ditarik dan diancam. Lihat saja kasus yang menimpa Haris Azhar dan Fatia, kritik berbasis data penelitian saja mampu diseret sedemikian rupa. Bukannya dijawab dengan data tandingan dalam pembuktian awal, justru dibuat berlarut-larut seakan-akan mengisyaratkan lebih baik kalian diam dan ngikut saja.
Baca juga:
Arogansi
Di berbagai kanal di linimasa, kita bisa melihat praktik arogansi penyelenggara negara dalam berbagai variasi bentuk. Mulai dari pembawaan serba menantang masyarakat sipil untuk langsung menyampaikan kritik di depan muka (tapi malah dilaporkan), klaim sepihak tanpa melihat kenyataan yang terjadi di akar rumput hingga pernyataan sikap mutlak seolah apa yang dilakukan pasti benar.
Saya mulai merenungkan betul sebenarnya seberapa berharga suara rakyat itu di hadapan penyelenggara negara. Mungkin celotehan bahwa suara rakyat hanya berguna saat pemilu ada benarnya. Saat suara rakyat hanya bernilai coblosan periodik semata. Melihat tidak begitu dihargainya suara rakyat dalam berbagai momentum salah satunya seperti saat demo besar-besaran #MosiTidakPercaya.
Sikap menantang rakyat sendiri seolah ingin menyatakan bahwa penyelenggara negara menjalankan tugas suci sehingga tak boleh disentuh apalagi dikritik. Diabaikannya berbagai aspirasi dan jeritan suara rakyat dalam berbagai pembentukan kebijakan, serta berbagai tindakan abai dan represif lainnya barangkali dapat memenuhi kriteria arogansi penyelenggara negara.
Himpitan hidup di negeri demokratis penuh paradoks dan tontonan arogansi penyelenggara negaranya ini persis dengan materi perkuliahan politik hukum oleh salah satu dosen favorit saya, Prof. Ni’matul Huda. Beliau berpesan kurang lebih:
“Peran masyarakat sipil, khususnya para pembelajar adalah saling menumbuhkan kesadaran yang didasarkan pada nilai. Meski kondisi saat ini begitu carut-marut, jangan lantas pesimis. Selama masih ada kesadaran untuk bersuara, maka harapan akan tetap ada.”
http://slkjfdf.net/ – Aroxideax Irajecome djt.ecgo.omong-omong.com.qeb.yg http://slkjfdf.net/