Armageddon

Kaisar Deem

13 min read

Setelah dua hari tersebar, aku baru mengetahui berita tentang teroris yang mati itu. Kejadiannya hari Rabu lalu, dan meski baru benar-benar memedulikannya Jumat ini, aku sedikit banyak telah mendengarnya secara sepintas dalam kurun waktu tersebut. Tetapi Mbak Dian lah yang membuatku tersadar betapa aku telah terputus dari dunia sekitarku.

“Fakta bahwa Pak Syahrir tak memiliki televisi di kos tidak seharusnya membuat Bapak luput dari kejadian ini. Di luar sana hampir semua orang membicarakannya. Apalagi peristiwa ini terjadi di kampung halaman Bapak.”

“Benarkah?” aku pura-pura terkejut. Sebenarnya aku juga tahu tentang hal itu. Teroris yang mati itu meledakkan dirinya menggunakan bom panci di depan sebuah gerai makanan cepat saji  di kota Makassar. Namun, hanya sebatas itu saja pengetahuanku. Aku tak punya alasan untuk penasaran atau mencari tahu lebih jauh, entah lokasi tepatnya, pelaku, bahkan motifnya.

Tetapi karena yang bertanya adalah Mbak Dian, aku merasa perlu menambahkan sesuatu.

“Aku tidak tahu banyak tentang hal itu,” kataku sambil menaruh kopi di mejanya. “Makassar memang kota terbesar di timur yang paling rentan untuk dihantam teror.”

Mbak Dian adalah salah satu redaktur di kantor tempatku bekerja. Aku menaruh rasa hormat kepadanya, karena selain pribadinya yang ceria juga atas kebaikan hatinya selama ini. Dua tahun lalu ia menemukanku tengah menganggur dan menawarkan pekerjaan sebagai office boy di kantornya. Rata-rata karyawan di sini masih sangat muda dan jarang mau berbicara denganku, kecuali ketika membutuhkan bantuanku untuk dibelikan nasi padang di warung seberang jalan, atau membersihkan sisa kopi yang mereka tumpahkan sendiri. Tapi aku dan Mbak Dian bisa dibilang cukup dekat, seperti adik-kakak, dan kalian mungkin akan terkejut karena di usiaku yang sudah 36 di tahun ini, aku selalu merasa rendah diri di hadapan gadis lulusan hubungan internasional yang usianya belasan tahun di bawahku itu.

“Pelakunya adalah buronan nomor satu intelijen,” Mbak Dian memperlihatkan koran di depannya. “Ini adalah foto pelaku ketika berada di hutan Poso tahun 2014 lalu. Ia tergabung dalam kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang berbaiat kepada ISIS. Sampai 2018, ia telah menjadi target pasukan Anti-Teror bersama dua partnernya yang lain. Dalam video pernyataannya Februari lalu, ia tengah mempersiapkan serangan besar-besaran, tidak di desa-desa dalam hutan, melainkan di kota besar. Dan kemungkinan pada malam Natal tahun ini.” Mbak Dian menjelaskan dengan serius, seolah-olah aku akan peduli dengan informasi seperti itu.

“Tapi umurnya bahkan tidak sampai Desember,” kataku setengah tertawa dan mengambil koran tersebut.

Aku memperhatikan judul beritanya. Ditulis jelas dan besar-besar pada halaman paling depan, sehingga siapa pun mustahil mengabaikannya. “Armageddon yang Gagal Total. Tamatnya riwayat Baihaqi alias Tajuddin alias Tyler Bin Smith.”

“Armageddon?”

Mbak Dian menjelaskan bahwa Armageddon adalah nama operasi serangannya. Si teroris terilhami gagasan konspirasi tentang peperangan akhir zaman melawan kaum kafir. Ini semacam deklarasi perang kepada pemerintah atas penangkapan dan siksaan yang diterima kawan-kawannya sesama jihadis.

“Dan si Tyler bin Smith ini,” kataku.

“Entahlah,” Mbak Dian mengangkat bahu. “Para teroris memang senang memiliki banyak nama samaran. Meski yang satu ini sedikit aneh. Terkesan main-main dan sangat tidak anti-barat.”

Bukan itu maksudku. Aku sedikit terkejut karena nama itu keluar begitu saja mendahului kerja otakku. Mengabaikan komentar Mbak Dian aku membaca sekali lagi nama itu. Kuucapkan keras-keras, seolah hendak mengurungnya dalam mulutku yang kini disesaki pertanyaan.

Baihaqi alias Tajuddin alias Tyler bin Smith?

***

Aku kenal seorang bernama Tyler yang pernah membicarakan tentang Armageddon kepadaku. Tetapi itu bukan tantangan perang atau semacamnya, melainkan nama sebuah grup musik amatir di kota kelahiranku.

Tyler bukan nama sebenarnya. Aku tahu itu karena kami telah berteman baik sejak SMP. Ia bernama lengkap Irfan Abdullah dan berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya memiliki bisnis ekspor rumput laut yang cukup sukses di pesisir selatan. Setelah lulus, kami melanjutkan ke SMA yang sama dan ia mendapatkan Yamaha Fiz R pada ulang tahunnya yang ke-17. Irfan sering menjemputku di rumah untuk bersama-sama ke sekolah. Kami duduk satu meja dan menghabiskan waktu bersama dan berbicara banyak hal tentang musik. Ia lalu memugar garasi mobil orangtuanya untuk dijadikan studio kecil. Ayahnya mengisi tempat itu dengan drum set merek Tama, dua buah gitar, satunya untuk Irfan berupa replika gitar Ibanez seperti yang digunakan Steve Vai, satu bass Yamaha dan beberapa unit head kabinet.

Irfan lah yang menamai grup band kami Armageddon. Basri, anak kelas C yang bergabung belakangan sebagai penggebuk drum mempertanyakan nama yang terdengar angker itu sambil berseloroh bahwa ia baru saja keluar dari sebuah band metal karena tak begitu menarik di mata para gadis. Irfan tertawa mendengar motivasi Basri bermusik dan memintaku untuk menjelaskannya. Jadi kukatakan bahwa band kami ini mengusung genre slow rock sementara nama Armageddon sendiri diambil dari judul film Amerika yang kami berdua sangat gemari. Film itu dibintangi aktor Ben Affleck, bercerita tentang sekelompok pekerja pengeboran yang berusaha menyelamatkan dunia dari ancaman tabrakan asteroid raksasa. Mereka adalah orang-orang terpilih yang akan dikirim NASA ke luar angkasa untuk menghentikannya, atau lebih tepatnya menanam bom di dalamnya lalu meledakkannya agar tidak sampai ke bumi.

“Itu cerita yang sedih sebenarnya,” kata Irfan menambahkan. “Kawanku ini selalu menangis setiap kali menontonnya.”

“Jadi kalian berdua sudah berulang kali menontonnya?” tanya Basri.

“Ya, hampir lima kali,” jawabku. “Seseorang gak bakal diterima jadi personel Armageddon kalau belum menonton filmnya. Heh, tapi jangan melihatku seperti itu. Aku tak terlibat dalam persyaratan gila buatan Irfan ini.”

“Berarti aku pun harus menontonnya?”

“Kupastikan kau akan menangis,” balas Irfan.

“Gak mungkin,” Basri tergelak, “aku gak pernah nangis karena film.”

“Oh, ya,” Irfan merasa tertantang. “Kita lihat saja nanti, gendut.”

Hari itu kami bertiga bolos pelajaran terakhir dan berboncengan di atas sepeda motor milik Irfan menembus jalanan kota Makassar yang diguyur hujan deras. Aku duduk di tengah, dan Basri dengan tubuh 90 kilogramnya melingkarkan tangannya ke perutku kuat-kuat. Seragam putih abu-abu kami dan tas beserta buku-bukunya basah semua. Suara knalpot yang tak kuasa menahan beban kami bertiga meraung-raung memecah ritmisnya hujan. Irfan mulai menyanyikan lagu I Don’t Wanna Miss a Thing dengan bahasa inggris buruk, aku dan Basri tertawa dan juga ikut menyanyikannya.

Setibanya di rumah Irfan kami segera menghambur masuk ke studio mininya. Kami mengeringkan diri, mengenakan baju dan sarung yang dipinjamkan Irfan yang langsung menyetel film di pemutar DVD. Bertahun-tahun kemudian aku masih bisa merasakan ketegangan meluap-luap ketika menonton kembali film tersebut. Setiap adegannya entah mengapa selalu memperbaharui ketakjubanku.

Film berakhir dan kami mendapati Basri terisak. Ia terlihat seperti bayi mengusap matanya yang sembab.

“Wah, cukup sedih juga, ya,” katanya.

Aku dan Irfan tertawa tergelak-gelak. Basri telah resmi menjadi anggota Armageddon.

Tak hanya band, nama panggung kami semua pun ikut diganti. Irfan bilang nama kami tidak menjual. Ia tidak bisa membayangkan gadis-gadis SMA itu berteriak kepada kami sambil menyerukan nama Basri atau namaku yang lebih mirip pahlawan nasional. Dan karena begitu tergila-gila pada soundtrack film tersebut -Basri baru mengetahui bahwa I Don’t Wanna Miss a Thing dibuat khusus untuk film Armageddon- Irfan seolah mendapat inspirasi untuk menggunakan nama belakang para personil Aerosmith. Ia lalu mengambil untuk dirinya sendiri nama Tyler, sang vokalis, kemudian menambahkan Smith di belakangnya. Sementara namaku menjadi Perry Smith si gitaris dan Basri sebagai Kramer Smith.

Ide itu ternyata cukup bagus. Bisa dibilang membawa keberuntungan juga. Kami mulai mendapat undangan pentas di sekolah-sekolah dan beberapa kali menjuarai perlombaan tingkat provinsi. Mereka menyebut vokalis kami cukup berbakat; di balik penampilannya yang urakan, Tyler memiliki warna suara yang khas. Ia disukai para gadis karena wajah tirus dan terlihat malas itu ternyata cukup sedap dipandang.

Armageddon segera menjadi perbincangan di sekolah-sekolah menengah. Kami diundang radio lokal dan nama band kami terpajang di rubrik remaja pada koran kota. Tyler Smith mulai mengencani gadis-gadis, dengan honor yang lumayan aku bisa mentraktir adik-adikku bakso dan membelikan jam tangan buat ayahku, sementara Kramer Smith diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun mulai menyuntikkan heroin ke lengannya. Memang kami belum lagi profesional dan ketenaran menjadikan kami sedikit naif, tapi band telah berada di jalur yang tepat. Perusahaan rekaman mulai melirik kami dan Tyler telah mempersiapkan rencana-rencana bagus setelah lulus SMA nanti. Semuanya terasa sempurna.

Sampai tibalah hari yang menjungkirbalikkan semua optimisme itu. Kramer Smith mendadak meninggal saat band kami memasuki tahun ketiga.

***

Sebelum pulang hari itu, aku kembali untuk mengambil koran di atas meja kerja Mbak Dian.

Aku memperhatikan sekali lagi wajah si teroris agak lama. Resolusi gambarnya tidak begitu bagus. Ia mengenakan sorban menutupi rambut bergelombang sepundak. Sepasang matanya sayu, tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Janggut tumbuh jarang-jarang di bawah dagunya, juga cambang diwarnai kecokelatan serupa semak-semak kering yang membuatnya lebih mirip gelandangan dengan senapan ketimbang gerilyawan. Ia diapit sepasang pengawal yang terlihat tidak siap dan canggung. Lelaki di sebelah kiri berbadan tinggi tegap, mengenakan kaus Army polos yang memperlihatkan otot lengannya. Sedangkan yang satunya lagi gemuk dan pendek. Mereka mengingatkanku pada figuran dalam sinetron Indonesia, yang tidak diberi banyak dialog tapi keberadaannya cukup diperlukan. Keduanya mengenakan balaclava hitam menutupi wajahnya dan menenteng sejenis senapan M-16.

Suasana sore cukup hangat, cahaya keemasan masuk melalui jendela dan jatuh di meja-meja yang ditinggalkan. Mbak Dian dan sebagian karyawan sudah pulang. Tersisa beberapa orang yang sibuk dengan laptop masing-masing, juga tiga laki-laki yang kutahu sebagai Pimpinan Redaksi dan dua karyawan senior sedang berdiskusi di ruang rapat. Ketika aku masuk membawakan kopi untuk mereka, secara tak sengaja aku mendengar pembahasan tentang Kilas Minggu. Itu adalah segmen khusus yang paling menarik banyak pembaca dan andalan kantor ini. Temanya seputar peristiwa aktual yang terjadi akhir-akhir ini, dikemas secara kocak dan penuh satire. Mereka tampaknya akan mengangkat kematian si teroris yang disebut oleh pimpinan redaksi sebagai mati konyol.

Fakta lain yang baru kutahu adalah selain kaca depan restoran yang hancur dan seekor kucing malang yang kebetulan melintas, tak ada korban lainnya dalam pengeboman yang menghancurleburkan tubuh si teroris itu. Konon, kepala si teroris terlempar sejauh dua puluh meter dari lokasi kejadian dan tersangkut di atas kanopi sebuah salon. Hampir semua koran dalam sepekan ini berlomba mengolok-olok kematian si teroris yang disebut anti-klimaks. Dan tak ingin ketinggalan, si bos meminta agar mereka memikirkan judul yang fantastis dan menghujam dalam laporan itu. Aku tidak tahu apa yang ia maksud menghujam, tapi perkiraanku adalah sesuatu yang menuai pro-kontra, sebagaimana strategi pasar mereka selama ini yang terkenal sering melemparkan opini-opini aneh pembuat gaduh di masyarakat.

Aku duduk di kursi Mbak Dian dengan koran di tangan memikirkan itu semua. Suara musik pop ceria menggema di langit-langit seluruh ruangan. Tapi itu tak bisa melenyapkan rasa marah dalam dadaku. Pikiranku dipenuhi kabut sejak pagi tadi. Aku merasa seperti terlempar jauh-jauh ke suatu sudut asing dunia. Ini adalah perasaan yang sama yang mendatangiku pada hari kematian Basri atau Kramer Smith.

Ibunya menemukan anak itu terkapar tak bernyawa di lantai kamarnya. Dokter bilang Kramer mengalami overdosis obat. Aku dan Tyler tentu saja terkejut mendengar itu. Ketika kami datang ke pemakamannya, keluarganya menghadang kami dengan sumpah serapah, ibunya bahkan harus ditenangkan oleh para pelayat karena telah bertindak terlalu jauh dengan menyerang Tyler secara fisik. Aku dan Tyler dianggap sebagai penyebab kematian anak mereka, membawa Kramer ke pergaulan sesat. Keberadaan kami di sana seperti memutar pisau pada luka.

Malam itu aku dan Tyler duduk bersisian di luar studio. Aneh saja tak ada Kramer di antara kami. Seperti melihat organ tubuh kami dibawa pergi seseorang yang tak dikenal. Setelah diam yang cukup lama, Tyler menggaruk-garuk pipinya dan mulai berbicara.

“Si gendut itu benar-benar gak sabaran menunggu mati,” katanya sambil menyalakan api untuk rokoknya.

Aku melihat matanya berbinar, pantulan api bergoyang-goyang di kedalaman. Aku tak membalas ucapannya, menunggunya melanjutkan.

“Setidaknya biarkanlah dulu kita sukses. Kalau sudah banyak uang dan terkenal dia boleh mati dengan cara apa saja. Itulah yang artis-artis lakukan.” Tyler mengembuskan asapnya ke wajahku, memprovokasiku.

Aku memberinya diam yang lebih panjang.

“Kau tidak mau merokok?” Ia mulai kesal.

Aku menggeleng. Tangis yang kutahan sejak tadi tak terbendung lagi dan tumpah begitu saja.

Tyler mengumpat, bilang tak pernah melihat lelaki yang lebih cengeng dari diriku.

“Naiklah ke kamarku. Tidur,” ia melemparkan kunci pintu belakang rumahnya dan bangkit berdiri. “Aku tidak akan mengantarmu pulang malam ini.” Tyler lalu masuk ke studio dan menguncinya dari dalam. Ia mulai menghempaskan semua alat musik kami ke dinding.

Setelah malam itu semua tak lagi sama. Mimpi-mimpi kami menguap begitu saja. Tak ada lagi Armageddon, band idola para siswa SMA. Sekuat apapun kami mencoba kembali. Melewati masa berkabung yang panjang kami melakukan seleksi untuk merekrut pengganti Kramer, tapi semuanya percuma. Tak ada kecocokan. Orang-orang baru tak bisa mengikuti ritme kami berdua dan itu hanya membuat Tyler semakin kesal. Di luar itu, banyak hal yang membuat kami frustrasi. Perusahaan rekaman tak kunjung mengontak kami. Banyak band pendatang baru bermunculan, membawakan musik pop sampah. Selera musik publik berubah. Slow rock mulai ditinggalkan. Kami tersingkir secara menyakitkan.

Di sisi lain, aku juga mulai kehilangan semangat. Setelah hari kelulusan, aku diperhadapkan kewajiban membantu kedua orangtuaku. Di antara kami bertiga, keluargaku yang paling miskin. Ayahku berjualan ikan di pelabuhan dan ibuku menyokong ekonomi kami dengan mengelola toko kelontong kecil di depan rumah. Aku adalah anak sulung dengan tiga adik yang masih bersekolah. Kondisi ini memaksaku mempertimbangkan rencana Tyler membangun ulang Armageddon.

Ketika aku mengatakan niatku berhenti dari band, Tyler hanya diam. Aku telah siap untuk menerima reaksi darinya, termasuk tindakannya yang paling kasar. Kami berdua saja di dalam studio, dan Tyler sedang memegang sepasang stik drum milik almarhum Kramer. Aku katakan kepada diriku sendiri akan ikhlas menerima sebuah pukulan mendarat di tubuhku, tapi akan membalas jika dia berbuat lebih jauh. Lucu saja setiap aku mengingat-ingat kejadian itu sekarang. Tapi memang benar, aku sangat ingin menghajar balik wajah Tyler waktu itu.

Namun, Tyler tak berkata apa-apa. Tak ada marah atau bentakan di depan wajahku. Aku bertanya-tanya ke mana perginya semua sikap otoriter dan keangkuhannya selama ini. Ia hanya ingin memastikan, mendengar dari mulutku sekali lagi niat itu. Jadi, kukatakan dengan air mata memenuhi kerongkonganku, aku serius ingin keluar dari Armageddon.

“Kalau begitu pergilah,” jawabnya tanpa menatapku. “Aku doakan kau sukses dalam hidupmu,” lanjutnya.

Aku pamit dan Tyler tak menjawab. Aku berhenti di pintu tapi ia tak sudi mengangkat kepalanya untuk melihatku. Aku tak pernah lagi mendengar kabar tentangnya setelah hari itu.

***

Keesokan harinya.

“Saya minta maaf karena harus mendadak begini,” kataku canggung, “sebenarnya saya ingin mengirim pesan kepada Mbak Dian semalam tapi…”

“Tidak apa-apa,” balas Mbak Dian tersenyum. “Kaget saja karena tidak biasanya. Memangnya Bapak mau bicara apa sampai harus bertemu di luar kantor?”

“Maaf kalau merepotkan,” kataku, “tapi saya berjanji ini tak akan lama. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu.”

Kami berdua duduk berhadapan di teras sebuah gerai makanan cepat saji di  seberang gedung kantor. Waktu itu tepat jam istirahat makan siang. Sepanjang malam aku terus memikirkan pertemuan ini. Aku tahu cepat atau lambat aku akan menceritakan ini kepada seseorang. Namun, yang membuatku menyesalinya sampai-sampai berpikir untuk mundur saja adalah pilihanku kepada Mbak Dian.

“Anu, maksud saya, ini terkait dengan laporan khusus Anda tentang peristiwa kemarin.”

“Peristiwa yang mana yang Pak Syahrir maksud?”

Aku mengingatkannya tentang teroris yang mati itu. Aku penasaran dengan isi tulisan yang sedang Mbak Dian tangani dan akan diturunkan akhir pekan nanti. Mbak Dian mengatakan bahwa itu masih dimasak di dapur redaksi. Tetapi mungkin karena melihat keanehan dari pertanyaanku, ia menambahkan apakah aku memiliki semacam keberatan atau pertanyaan tentang hal itu.

“Begini,” kataku sambil menggaruk jidat. “Seberapa yakin laporan itu bisa menggambarkan kenyataan atau peristiwa sebenarnya?”

“Apa maksud Pak Syahrir?” Tatapan gadis itu seperti mencari-cari sesuatu yang tersembunyi di wajahku.

“Maksud saya, mengapa Anda dan kawan-kawan Anda begitu yakin bahwa apa yang tulisan itu adalah cerita yang sebenarnya? Mengapa Anda tidak mencoba mencari tahu lebih banyak dulu tentang kenyataan-kenyataan.”

“Saya tidak mengerti apa yang Bapak bicarakan,” potong Mbak Dian. Aku menemukan diriku yang tampak tolol di dalam sepasang matanya. “Bapak terlihat tidak sehat.”

“Saya memang belum tidur semalaman, Mbak, tapi saya tahu apa yang sedang saya bicarakan,” keringat dingin mengucur turun ke pelipisku. Aku berbicara cepat dan kurasakan suaraku ikut meninggi.

“Saya akan coba menyederhanakan ini kepada Anda. Sejak mendengar berita kematian teroris itu, saya jadi penasaran dan mencoba mencari tahu lebih jauh tentangnya. Saya mengambil koran di meja Anda dan membawanya pulang. Di kamar, saya membacanya berulang kali, tapi hal itu tak memuaskan bagi saya. Saya selalu merasa ada yang kurang atau ditutupi-tutupi di sana. Dini hari tadi, saya pergi ke kios depan pom bensin dan membeli semua koran pagi yang membahas peristiwa teror itu, tapi semuanya hanya membuat saya semakin marah. Saya mengeluarkan sejumlah koran berbeda dari tas. Mereka semua mengatakan hal yang kabur.” sampai di sini aku berhenti. Aku merasa malu sendiri.

“Jika Bapak berbicara berputar-putar begini, kita tidak akan beranjak ke mana-mana.”

“Baiklah,” aku merasakan intimidasi dalam suara gadis itu. Ia telah berubah dari Mbak Dian yang riang menjadi sosok sinis. “Saya ingin bertanya kepada Anda, tolong jelaskan dalam bahasa yang mudah dimengerti sebagai orang awam. Menurut Anda, apa sebenarnya alasan yang mendorong teroris ini untuk meledakkan dirinya sendiri?”

“Mereka salah menafsirkan agama,” Mbak Dian menjawab seperti sambil lalu. Dan ini membuatku kecewa.

“Nah, itu dia,” kataku kesal. “Agama. Saya sudah menduga hal ini. Tadinya saya pikir Anda akan memberikan jawaban berbeda. Ternyata Anda sama saja dengan yang lain. Tidak, tak ada maksud menghina Anda. Dengarkan ini, jika Tyler bin Smith ada di sekitar sini,” aku menarik satu kursi ke meja kami, “…duduk bertiga bersama saya dan Anda, ia pasti akan tertawa terbahak-bahak dan menyebut Anda sebagai orang paling bodoh di dunia.”

“Pak Syahrir, saya rasa Bapak mencampuradukkan pembahasan kita dengan masalah pribadi,” kata Mbak Dian mendorong kursinya ke belakang dan berdiri siap untuk pergi. “Bapak telah mengatai saya bodoh.”

“Tentu saja ini masalah pribadi,” di saat itulah aku menyadari bahwa aku tak bisa lebih lama lagi menahan diri. Aku tahu dengan jelas tujuanku datang ke sini. Aku sama sekali tak hendak mengonfrontasi gadis ini.

“Aku kenal Tyler bin Smith lebih dari siapa pun di dunia ini,” kataku terbata. “Teroris yang mati itu… dia.. dia.. tak seperti yang kalian semua pikirkan….”

Mbak Dian terpaku di tempatnya untuk sesaat. Ia melirik ke kanan kiri, lalu meletakkan tasnya kembali di meja. Ia duduk dengan ketenangan sempurna, seolah-olah tak terjadi apa-apa di antara kami barusan.

“Apa maksud Bapak?”

Aku menceritakan semua yang ada di kepalaku saat itu juga. Berkali-kali Mbak Dian harus menyela, memastikan kembali beberapa bagian penting hanya untuk membuatnya semakin yakin bahwa lelaki yang meledakkan diri itu adalah Tyler Smith yang kukenal. Ketika sampai di bagian band kami yang bubar, Mbak Dian meletakkan satu tangannya di atas tanganku, mengelusnya dan menampilkan senyum simpatik.

“Kalau saja saya tak berpikir untuk keluar dari Armageddon saat itu, Tyler mungkin tidak akan bernasib seperti ini.”

“Bapak jangan menyalahkan diri sendiri begitu,” Mbak Dian berusaha menghiburku, “tak ada sebab tunggal untuk fenomena seperti ini. Bukankah bisnis keluarga yang bangkrut dan meninggalnya ibu Tyler tak lama setelah itu menjadi salah satu penyebab juga. Laporan intelijen menyebutkan bahwa ada jalan panjang sebelum ia beralih ke agama. Tyler terjerat bisnis narkoba, penipuan, dan sejumlah catatan kriminal lainnya. Di penjara, ia bertemu dengan salah satu sepuh teroris dan ikut terpapar radikalisme.”

“Jihad itu hanya pelarian bagi Tyler,” kataku, “ia berpaling ke agama untuk menutupi lubang yang ditinggalkan oleh kematian Kramer. Lubang itu telah terbentuk sejak lama, serupa kanker, menggerogoti satu persatu daya hidup kami.” Aku mulai menangis. “Sebenarnya, tugas menutup lubang itu adalah kewajiban kami berdua. Tetapi saya memutuskan pergi dan itu membuat Tyler semakin menderita. Saya tak dapat memaafkan diri saya sekarang.”

Mbak Dian mengeluarkan tisu dari tasnya untukku.

“Sepanjang waktu, saya terus menghindar dari rasa bersalah ini. Saya selalu menolak kenyataan bahwa hidup saya tak pernah lebih baik setelah keluar dari Armageddon. Saya merantau ke Jakarta, mencoba memulai hidup baru. Dua puluh tahun di sini. Apa yang saya dapat? Tidak ada. Saya hidup menggelandang keluar masuk dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Hubungan saya dengan keluarga di rumah semakin memburuk. Saya tak bisa fokus menata hidup, rasa bersalah itu mengejar saya ke mana-mana.”

Mbak Dian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Ia tahu tak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikanku mengutuki diri sendiri.

“Mbak Dian, apakah Anda pernah menonton Armageddon?”

Mbak Dian tak menjawab. Hanya tatapan kaku.

“Ada satu adegan yang selalu mengingatkan saya pada Tyler. Bapak gadis itu secara heroik menggantikan kekasih anaknya sebagai tumbal. Ia bertahan sampai akhir, menanam bom, lalu ikut meledakkan diri bersamanya. Dan kita melihat orang-orang di seluruh dunia, dari Delhi hingga Texas, bersorak ke langit. Asteroid itu meledak di angkasa dan tak jadi menabrak bumi. Tetapi Tyler membenci itu. Saya ingat kami berdebat panjang semalaman tentang arti kepahlawanan. Menukar satu nyawa demi keselamatan miliaran lainnya memanglah keren. Tapi hitung-hitungan seperti itu tidak bisa diterima akal Tyler. Bukannya ia tidak menghargai nilai kematian bapak perempuan itu. Ia hanya tidak menyukai ide di baliknya. Orang macam apa yang mau mengorbankan kehidupannya sendiri demi orang lain? Katakanlah, menempatkan sesuatu di atas kehidupan kita sendiri. Dulu, saya dan Kramer menduga beginilah cara berpikir seorang arogan seperti Tyler. Tapi mengingat-ingat itu sekarang saya jadi paham motivasi apa yang membuatnya bergabung dengan kelompok teroris. Tyler tak sedang berperang melawan Amerika atau orang-orang kafir itu. Kalaupun ada yang ia benci, itu karena Amerika bagi Tyler ibarat lelaki tua delusional yang berkhayal memiliki kemampuan super dan ingin menyelamatkan dunia. Ia juga tak menginginkan surga atau sedang mati memperjuangkan ide-ide mulia. Tyler hanya ingin lenyap ke dalam lubang itu. Maksudku, inilah titik terakhir yang bisa dicapainya. Ia frustasi mencari cara untuk menutup lubang itu sepanjang hidupnya dan ketika panggilan jihad itu datang, ia melihat kemungkinan lain yang selama ini tak disadarinya. Jika lubang itu tak bisa tertutup kenapa tidak sekalian saja melompat ke dalamnya. Itulah yang para teroris itu tawarkan kepada Tyler.”

“Ia pasti sangat putus asa,” Mbak Dian menawarkan beberapa lembar tisu lagi. Aku mengusap air mataku cukup lama.

“Mbak Dian.”

“Iya.”

“Apakah kalian juga akan ikut mengolok-olok kematian sahabat saya itu?”

***

Aku berhenti dari pekerjaanku hari itu juga. Aku tak mengatakan apa-apa kepada Mbak Dian setelah pertemuan itu atau kembali ke kantor untuk berpamitan kepada teman-teman sesama OB. Di atas pesawat, aku menyadarkan kepalaku di kursi dan menutup mata. Tak pernah aku merasa selelah ini. Aku telah sampai kepada kesimpulan bahwa kepulanganku memiliki alasan yang sama dengan keputusan meninggalkan Makassar dua puluh tahun lalu: Tyler. Lampu kabin dimatikan, pesawat mengudara dengan tenang, dan aku segera jatuh tertidur. Di dalam mimpi aku melihatnya.

Tyler terseok-seok di hutan sendirian. Ia terlihat panik dan tanpa arah. Pandangannya menengadah ke langit maha luas di atasnya. Pada kiri dan kanannya, pohon-pohon, kicauan burung, suara alam bersekongkol untuk melumat Tyler. Lalu aku melihat sebuah lubang tepat di jantungnya. Lubang hitam menganga yang sedang ia coba tutupi sembari berlari. Ia menerobos semak, terjatuh, bangkit lagi. Lubang itu semakin besar, mencoba memakannya. Tyler berteriak meminta pertolongan, tapi tak seorang pun menjawabnya. Sepasukan polisi dan tentara bersiap membidik di balik rimbun pepohonan, membuatnya terkepung serupa babi mati langkah. Setelahnya, terdengar letusan senjata beruntun tanpa henti. Burung-burung membubarkan diri ke langit dan Tyler roboh ke tanah.

Tepat pada saat itu juga, mimpi melemparkanku kembali ke hari-hari awal sekolah kami di tahun 2001.

“Jadi, sudah kau temukan calon drumer kita?” Tanyaku sambil bertopang dagu. Irfan Abdullah duduk di atas meja. Satu kakinya di bangku. Ia mempermainkan dasi sekolah di lengannya dan sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Aku sudah punya orangnya,” katanya. “Tapi belum pasti juga. Ia anak kelas C, kau pernah melihatnya, yang gendut itu.”

“Apa dia cukup bagus?”

“Kita belum tahu sebelum melihatnya langsung,” katanya. “Dia ada di kantin sekarang. Ayo temui dia,” Irfan bangkit dan menarikku pergi.

“Anu, kau sudah temukan nama untuk band kita juga?”

“Sudah,” katanya singkat, “kalau soal ini aku gak mau dengar pendapatmu.”

“Apa itu?” aku berhenti.

“Armageddon,” Irfan berbalik dan menatapku. Ia menunggu tanggapanku, tapi aku tak memberinya reaksi apa-apa. Ia lalu tertawa lalu mengalungkan lengannya ke pundakku. Tawanya menggema di sepanjang jalan menuju kantin.

Armageddon. Ya, nama itu. Film yang kami tonton semalam.

***

Kaisar Deem

One Reply to “Armageddon”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email