Pengajar Filsafat Pendidikan PSP ISI Yogyakarta

Apa yang Membuat Bellerophon dan Icarus Jatuh?

Roy Simamora

2 min read

Dalam mitos Yunani, Bellerophon membunuh Chimera dan mencoba menantang para dewa dengan terbang ke Gunung Olympus bersama kuda terbangnya, Pegasus. Para dewa kemudian mengirim seekor lalat untuk menyengat kuda itu dan mendorong jatuh Bellerophon hingga mati. 

Icarus, putra Daedalus, mengabaikan peringatan ayahnya karena berani terbang tinggi mendekati matahari. Akibat kesombongannya yang sembrono itu, matahari kemudian melelehkan lilin yang menyatukan bulu-bulu sayapnya. Icarus jatuh ke Laut Icaria dan tenggelam.

Apa yang membuat Bellerophon dan Icarus jatuh? Benar, kebanggaan yang berlebihan, dominasi, kesombongan, dan sifat melebih-lebihkan kemampuan sendiri.

Baca juga:

Jatuhnya Bellerophon dan Icarus adalah jatuhnya umat manusia. Bellerophon dan Icarus adalah penggambaran tentang manusia yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan dan esensi kehidupan manusia itu sendiri. Ketika seseorang mencoba melampaui batas kemanusiaan mereka sendiri dengan terus-menerus mendominasi, merasa paling berkuasa, merasa paling kuat, dan memamerkan kesombongan, maka tak butuh waktu lama sebelum ia menuju ke kejatuhan.

Orang-orang senang berebut kendali melalui pengaruh, otoritas, pengakuan, penerimaan, ketakutan, kekuatan, hukum, persetujuan, dan penunjukan. Orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan dalam sistem justru memuja orang-orang yang berkuasa untuk mengontrol. 

Sayangnya, menolak kontrol itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang individu saja. Hanya ketika sekelompok besar individu bersatu untuk menolak orang yang memegang kendali, mereka akan bisa mengatasi kekuasaan yang kejam. Namun, kebanyakan sistem terorganisir dengan baik sehingga pemberontakan biasanya berakhir dengan kegagalan. Bahkan, penguasa yang lemah dan tidak kompeten dilindungi oleh sistem yang mereka kendalikan.

Akan tetapi, orang-orang mabuk kuasa ini sebenarnya memiliki rasa takut. Oleh karena itu, mereka melecehkan dan menjatuhkan orang lain yang mengancam kedudukan dan reputasi mereka. 

Bayangkan dua makhluk di tengah hutan: singa dan manusia. Manusia memiliki otak, sedangkan singa memiliki cakar dan taring. Manusia dengan kekuatan fisik apa pun tidak akan bisa menang melawan singa. Namin, manusia bisa menggunakan otak mereka sebagai untuk membuat jebakan dan senjata guna membunuh singa.

Ibarat berada dalam situasi seperti manusia dan singa di tengah hutan itu, kebutuhan manusia untuk mendominasi manusia lain merupakan indikasi dari keyakinan mendalam tentang ketidakberartian dan ketidakberdayaan diri sendiri. Mendapatkan sesuatu yang penting dan kekuatan pribadi dengan cara mendominasi dan mengendalikan manusia lain jauh lebih mudah diupayakan daripada kekuatan yang dibutuhkan untuk menjaga, merawat, dan menyembuhkan tingkat ketidakberartian itu sendiri.

Seseorang mungkin tidak menyadari ketidakseimbangan itu karena perasaan tertekan pada tingkat alam bawah sadar. Ketimbang ketidakberdayaan, mereka hanya akan merasakan dorongan kuat untuk mendominasi—bukan memimpin, tetapi mengontrol dan memanipulasi. Alhasil, beberapa orang menjadi tiran dan kehilangan jiwanya. Tak mengejutkan bila orang tersebut berakhir menjadi diktator atau narsisis yang membuat orang lain sengsara cuma demi memenuhi kebutuhan akan perhatian dan kendali. Bagaimanapun, kebutuhan seperti itu menciptakan kepribadian agresif dan menambah penderitaan bagi dunia.

Baca juga:

Rasa haus akan kekuasaan adalah ketidakseimbangan destruktif antara persepsi manusia terhadap keamanan dan seberapa aman mereka dalam lingkungannya. Ketika digabungkan dengan naluri lainnya seperti kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok dan keinginan untuk melanggengkan garis keturunan, keinginan ini menghilangkan semua batas skala rasional dan menjadi lubang tanpa dasar.

Memang, kekuasaan bukanlah hal yang buruk jika digunakan dengan benar, bahkan bisa bermanfaat bagi umat manusia. Perdamaian bagi umat manusia secara keseluruhan pun hanya dapat dicapai melalui praktik kekuasaan yang bijaksana. Setiap individu dapat melakukan bagian masing-masing untuk membuat dunia jadi lebih baik. Akan tetapi, jika individu baik ini tidak bijak memilih pemimpin, maka kekacauan dan umat manusia akan selalu berdiri di persimpangan jalan menuju perdamaian atau kesengsaraan.

 

Editor: Emma Amelia

Roy Simamora
Roy Simamora Pengajar Filsafat Pendidikan PSP ISI Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email