Redaksi Omong-Omong

Apa Lagi yang Dapat Diharapkan dari Televisi?

Ghufroni An'ars

2 min read

Apa lagi yang dapat diharapkan dari televisi Indonesia, jika seorang penjahat kelamin saja masih diberikan ruang untuk tampil bak raja di dalamnya?

Saipul Jamil mendapat sambutan luar biasa saat dibebaskan dari Lapas kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (2/9/2021). Penyanyi dangdut itu dijemput dengan mobil mewah dan dikalungi karangan bunga. Dia tersenyum sepanjang jalan, seraya melambai-lambaikan tangannya.

Seakan tak mau ketinggalan momen, beberapa stasiun televisi pun ramai memberitakan hal itu, bahkan ada pula yang mengundang mantan narapidana kasus pelecehan seksual itu sebagai bintang tamu.

Sebelumnya, Ipul divonis penjara selama 5 tahun karena terbukti melakukan pelecehan seksual kepada dua remaja. Dia juga divonis 3 tahun penjara karena terbukti menyuap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dari total 8 tahun hukuman, Ipul menjalani kurungan selama 5 tahun 7 bulan.

Atas kemunculannya di televisi, sampai berita ini ditulis, petisi berisi ajakan untuk memboikot Saipul Jamil yang ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mencapai 268.204 tanda tangan daring. Angga Dwimas Sasongko, seorang sutradara film, juga membatalkan kontrak programnya dengan stasiun televisi yang mengundang Saipul Jamil sebagai bintang tamu. Meskipun tampak banyak aksi penolakan, secara umum televisi kita masih leluasa menampilkan banyak hal di luar etika dan norma publik.

Kenyataannya kita memang tak pernah benar-benar punya lembaga pengawasan penyiaran yang bekerja dengan baik. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diharapkan dapat mengawasi dan menjamin setiap siaran layak ditonton, sama sekali tak menunjukkan sikap yang representatif dari kritik dan masukan masyarakat.

KPI pasti tidak akan tanggap terhadap masalah-masalah pelecehan seksual seperti ini melihat bahwa penjahat-penjahat kelamin juga bercokol dengan aman di lembaga ini, dan pimpinannya diam saja ketika salah satu pegawainya dilecehkan bahkan disiksa oleh kelompok penjahat kelamin ini selama bertahun-tahun. Kasus penyiksaan seksual ini baru ditangani setelah viral di media sosial.

Apalagi selama ini peran KPI lebih tampak seperti lembaga sensor yang asal-asalan. Meskipun sensor diproses oleh pihak stasiun televisi, tetapi itu dilakukan atas dasar pemantauan KPI. Banyak hal konyol dan tak masuk akal dari penyensoran itu. Misalnya, menyensor kartun yang memakai bikini, atlet renang, ajang putri kecantikan, sampai sensor terhadap proses pemerahan susu sapi.

Hal itu juga membuat kita bertanya-tanya, kalau sudah begini, apa boleh masyarakat balik menyensor kinerja KPI?

Dampaknya, televisi kita semakin terang-terangan menjelma korporasi media pengejar rating semata. Tentu saja kasus Saipul Jamil hanya satu dari sekian banyak. Jangan pula lupa bahwa kita pernah diperdengarkan sebuah lagu mars partai politik, hampir setiap lima menit sekali di sebuah stasiun televisi.

Padahal, sebagai saluran frekuensi publik, televisi wajib bertanggung jawab menghadirkan tayangan yang bermanfaat untuk kepentingan publik. Frekuensi publik adalah frekuensi yang didanai pajak rakyat dan harus bisa memberikan tayangan berkualitas sebagai gantinya. Lantas, manfaat apa yang bisa kita cerap dari tayangan mantan narapidana kasus pelecehan seksual pedofilia yang disambut dan bergaya bak raja?

“Media yang memberi panggung pada Saipul Jamil segera setelah dia dibebaskan dari penjara, menurut saya memang tidak peka dengan kelompok korban,” kata Gilang Desti Parahita, Ahli Media dari Departemen Ilmu Komunikasi UGM, saat dihubungi omong-omong.com.

“Bagi media yang memberi panggung, menurut saya mereka tidak empatik, tidak mewakili kita sebagai masyarakat Indonesia, dan tentu saja hal itu tidak etis,” imbuhnya.

Seperti yang diungkapkan Gilang, rasa empati terhadap korban tak bisa diabaikan. Lebih-lebih lagi, menayangkan dan merayakan kebebasan seorang mantan narapidana kasus kekerasan seksual pedofilia di televisi juga bisa berdampak secara kolektif.

“Pemboikotan itu merupakan salah satu cara masyarakat menghukum para pelaku kejahatan. Bahwa seorang pelaku kejahatan, apalagi pelecehan seksual,  tidak akan bisa lagi diterima seperti sedia kala. Karena tidak ada jaminan bahwa tindakan serupa tidak akan terjadi lagi. Dan kita tidak ingin tindak kejahatan itu dilakukan oleh orang lain sebagai efek  tayangan televisi. Televisi diharapkan dapat memberikan sanksi sosial itu. Dalam arti perilaku Saipul Jamil tidak menjadi contoh di masyarakat,” kata Gilang saat ditanyai tanggapannya terkait pemboikotan dan dampak dari selebrasi terhadap bebasnya Saipul Jamil.

Sebagai media arus utama, televisi kita memang tidak bisa lepas tangan dalam perannya sebagai pemengaruh opini publik. Tunggal Pawestri, aktivis yang aktif menyuarakan isu kekerasan seksual, mengungkapkan bahwa tak ada masalah bila penggemar atau keluarga ingin menyambut kebebasan seseorang dari penjara. Namun, di ranah publik, media harus punya sikap yang tegas dan peka terhadap moralitas masyarakat. Siapa yang mereka hadirkan dapat berdampak terhadap pandangan orang banyak.

“Media mesti punya kesadaran tinggi untuk berkontribusi agar tidak memberikan ruang luas bagi orang-orang yang punya trackrecord melakukan kekerasan seksual, misalnya. Tapi kita ini kan apes. Banyak sekali media yang hanya peduli soal rating dan mana peduli soal korbannya yang mungkin hingga saat ini masih trauma? Mana ada mereka memikirkan kepentingan untuk mengurangi kekerasan seksual, apalagi melindungi hak korban,” tambahnya.

Jika frekuensi publik yang seharusnya menyajikan tayangan mendidik malah dijadikan monopoli, semata-mata demi keuntungan korporasi, maka tak heran bila hari ini banyak orang memilih bersuara di tembok-tembok kusam di sudut kota.

Ironinya, di negeri ini sirkulasi informasi di tembok jauh lebih diawasi dibanding televisi yang kita tonton sehari-hari. Lebih banyak pesan moral yang dapat kita tafsir dari mural, dibanding tayangan selebrasi pelaku kejahatan seksual yang bebas karena remisi.

Ghufroni An'ars
Ghufroni An'ars Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email