“Mudah-mudahan, cita-cita agar Sungai Citarum pada 2018 bisa diminum bisa terealisasi,” ucap Ahmad Heryawan pada 6 Februari 2013. Cita-cita itu masih jauh panggang dari api. Sudah satu dasawarsa lebih, otak-atik kebijakan dilakukan, tapi nihil bukti positif yang terlihat.
Lima tahun lalu, Sungai Citarum menempati peringkat ketiga dari sepuluh daerah terkotor di dunia. Gelar itu bersumber dari laporan Green Cross Switzerland dan Blacksmith Institute pada tahun 2013.
Setelahnya, berbagai jurus telah pemerintah keluarkan sebagai terobosan untuk merevitalisasi Sungai Citarum. Mulai dari program Citarum Bergetar (2004) dan Citarum Bestari (2014) yang digawangi pemerintah daerah, hingga Citarum Harum (2018) yang langsung melibatkan pemerintah pusat.
Publik patut kritis dalam mengawal kebijakan tersebut agar restorasi Sungai Citarum dapat dilakukan secara holistik. Diakui atau tidak, selama 30 tahun ke belakang, berbagai program, gerakan, dan bantuan dana yang diberikan tidak memberikan dampak yang signifikan. Citarum tetap tercemar berat oleh limbah industri maupun sampah dan limbah rumah tangga.
Sumber pencemar yang cukup signifikan mengotori Citarum adalah limbah industri. Dari 2.700 industri sedang dan besar yang membuang limbah ke badan airnya, sebanyak 53% tidak mengelola limbahnya. Tiga perusahaan yang menjadi penyumbang cemaran terbesar Sungai Citarum adalah PT Kahatex, PT Insan Sandang Internusa, dan Five Star Textile Indonesia. Koalisi Melawan Limbah mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung terkait Izin Pembuangan Air Limbah (IPLC), menghasilkan pembatalan izin pembuangan ketiga perusahaan tersebut pada 2018.
Namun, dengan dikabulkannya gugatan itu, PR revitalisasi Sungai Citarum seakan dianggap selesai. Padahal, deretan masalah lain masih belum teratasi, misalnya masih banyak masyarakat memanfaatkan aliran Citarum sebagai sarana MCK.
Tumpang Tindih Kebijakan
Sekurangnya, ada tiga program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk merestorasi Sungai Citarum. Pada periode 2000-2003, ada program Citarum Bergetar yang merupakan akronim dari Citarum bersih, geulis, dan lestari. Program ini berfokus untuk memulihkan lahan konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi, ia dianggap belum efektif dalam menangani pencemaran Sungai Citarum. Masalah justru jadi kian kompleks dengan adanya deforestasi di hulu sungai, penumpukan sampah, kotoran manusia dan ternak, hingga persoalan tata ruang di hulu dan sepanjang bantaran sungai.
Pada Tahun 2008, pemerintah menyepakati tawaran Asian Development Bank (ADB) untuk rencana pemulihan Citarum. Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan senilai 500 juta dolar AS atau sekitar 6,7 triliun rupiah. Program ini bernama Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP) atau Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Wilayah Sungai Citarum.
Biarpun anggarannya fantastis, ICWRMIP tidak lantas lolos kritik. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA) menilai bahwa rekonstruksi sumber daya air dengan menempatkan air sebagai barang ekonomi ini hanya akan menjadikan air sebagai komoditas dan mendorong privatisasi air. Dampak jangka panjangnya akan merugikan masyarakat kecil, seperti petani dan warga miskin.
Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali mencanangkan program pemulihan Citarum dengan nama Citarum Bestari. Bestari artinya bersih, sehat, indah, dan lestari. Program ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 78 Tahun 2015. Salah satu agenda Gerakan Citarum Bestari adalah eco village yang dikomandoi oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. Agendanya berupa pengurangan sampah dengan cara pemilahan dan pengkategorian sampah sebelum diolah. Dengan segera, program ini dianggap boring dan minim inovasi. Tidak hanya itu, sinergitas pelaksanaan programnya pun kurang memiliki daya gedor karena tidak adanya konektivitas antar kabupaten/kota di Jawa Barat.
Pemprov Jabar dan Pemerintah Pusat sadar betul bahwa program penanganan Sungai Citarum selama ini gagal. Pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo mencoba lagi dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Perpres ini direspons oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dengan program Citarum Harum dalam kurun waktu 2019-2025.
Secara ideal, restorasi ekologi sungai harus berdampak pada ekosistem dan mozaik ekoton yang lebih luas. Oleh karena itu, Perpres Nomor 15 Tahun 2018 memuat substansi pentaheliks model, yakni keterlibatan multisektor antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri, swasta, dan masyarakat.
Perpres terkait dengan pemulihan Sungai Citarum juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sasarannya adalah memulihkan dan melestarikan ekosistem 15 DAS kritis, yaitu Asahan, Siak, Musi, Way Sekampung, Citarum,Ciliwung, Cisadane, Bengawan Solo, Serayu, Berantas, Moyo, Kapuas, Jeneberang, Saddang dan Lombotto.
Jika program Citarum Harum berhasil dilaksanakan, maka program tersebut akan diadaptasi ke 14 DAS prioritas lainnya. Maka dari itu, Perpres saja tidak cukup untuk menjawab problematika lingkungan ini. Perlu kepastian hukum dalam bentuk UU untuk melandasi restorasi DAS kritis seperti Sungai Citarum dan 14 sungai lainnya. Saya pun sangsi bahwa Sungai Citarum dapat dipulihkan hanya dalam satu periode masa jabatan presiden. Saya mengharapkan regulasi restorasi Citarum bisa lebih berkelanjutan, tidak semerawut dan tumpang tindih seperti sekarang. Restorasi Citarum perlu dilakukan dengan satu pengelolaan dan satu perencanaan yang terkonsolidasi.
Baca juga:
Tanggung Jawab Negara
Masyarakat berhak atas kehidupan yang sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan memiliki lingkungan yang layak menurut Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945. Namun, hukum lingkungan Indonesia hanya sebatas formalitas, berbeda jauh dengan konstitusi Prancis dan Ekuador yang telah merinci perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Prancis telah mendeklarasikan Piagam Lingkungan Hidup (Charter for the Environment) yang mengandung nilai-nilai konstitusi sejak 2005. Sementara itu, Ekuador telah memberikan hak bagi lingkungan sebagai subjek hukum yang setara dengan hak asasi manusia.
Apabila terjadi Amandemen UUD 1945 yang kelima, maka perlu ada formulasi yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup sebagai penguatan terhadap hak asasi manusia. Terlebih lagi, lingkungan hidup di dalam konstitusi harus mendapat “tempatnya” tersendiri, terpisah dari norma lainnya, sehingga tidak mengesankan lingkungan sebagai subordinat persoalan ekonomi semata. Sebab, lingkungan tidak semestinya menjadi objek eksploitasi ekonomi semata, tetapi subjek yang memiliki hak yang setara untuk dijaga keberlangsungan dan kelestariannya.
Momentum Kebijakan
Keluarnya Perpres tentang revitalisasi Sungai Citarum bisa jadi hanya janji populis pemerintahan Jokowi kala itu. Pasalnya, Perpres tersebut diteken menjelang Pilpres 2019. Kebijakan yang bersifat populis hanya alat untuk mengeksploitasi hal-hal tak substantif tanpa memberikan prospek bagi transformasi kebijakan substansial jangka panjang.
Mengutip pendapat Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kebijakan populis Jokowi terlihat dari distribusi dan penggunaan dana melalui anggaran negara. Itu artinya, kebijakan ini hanya berorientasi kepentingan politik jangka pendek.
Mudah saja untuk melacak kecenderungan populis suatu kebijakan. Pertama, dilihat dari masa program Citarum Harum yang hanya sampai tahun 2025 dan ada kemungkinan untuk tidak diperpanjang kembali karena pergantian pemerintahan. Kedua, realisasi program Citarum Harum hanya menyerap anggaran 10% saja dari total anggaran 36 triliun yang dialokasikan. Ketiga, regulasi terkait restorasi Sungai Citarum hanya masuk pada Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sehingga keberlanjutan program ini berpotensi mentah kembali seusai Jokowi menjabat. Padahal, restorasi Sungai Citarum masih memerlukan waktu lebih untuk mencapai mutu air layak.
Meski demikian, program Citarum Harum juga menuai hasil positif, setidaknya dari kondisi cemar berat pada tahun 2018 menjadi cemar ringan sekarang. Namun, lagi-lagi ini tidak cukup untuk menyatakan bahwa Citarum telah berada di titik pulih. Perlu ada regulasi yang lebih kuat untuk menaungi program pemulihan Citarum yang berkelanjutan, bukan hanya nebeng momentum untuk menang pemilihan.
Editor: Emma Amelia