Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa aku ingin berhenti selingkuh? Kalau kau telah melupakannya, baiknya kuceritakan lagi secara ringkas. Akan kututurkan garis besarnya saja, sebab ada soal lain yang ingin kusampaikan padamu.
Jauh di masa mudaku, aku sudah gemar berselingkuh. Saat itu aku menjalin kasih dengan seorang yang kucinta. Kami adalah pasangan yang saling mencinta dan—menurut beberapa orang—serasi. Tetapi dicintai dan mencintai bukan berarti membuatku tidak berselingkuh. Aku tidak tahu apakah dia juga berselingkuh.
Aku senang saja bercinta dengan perempuan-perempuan yang bukan kekasihku. Itu kulakukan dengan kesungguhan seperti terik matahari musim kemarau. Dalam sepekan, aku bisa bercinta sedikitnya dengan empat atau lima perempuan yang berbeda. Jumlah itu bisa lebih banyak lagi, sampai-sampai aku dibuat kewalahan. Jumlah itu melebihi yang dilakukan teman-temanku sesama petualang rasa. Ya, kami menyebutnya petualangan rasa.
Sebagaimana tupai yang melompat dari satu ranting ke ranting lain, aku jatuh juga. Gerak-gerikku terbaca oleh kekasihku. Itu semakin jelas ketika salah seorang selingkuhanku mendampratku, mengatakan bahwa dia hamil, dan menuntutku agar segera menikahinya. Aku sempat menolak, sebab dengannya aku tak lebih dari bertualang rasa, bukan supaya menjadi suami, sebab aku lebih ingin menikah dengan kekasihku tentu saja. Namun, dia bersikukuh sehingga aku tidak mampu lagi mengelak. Kabar ini akhirnya diketahui kekasihku. Kekasihku itu lantas memberiku gamparan dan beberapa makian sebagai, katanya, salam perpisahan dan pelajaran.
Keliru bila kau mengira aku berhenti selingkuh setelah menjadi suami dari seseorang, kendati itu, perempuan yang tak kuharapkan. Aku semakin liar saja nyatanya. Aku bahkan berselingkuh tidak hanya dengan janda atau perempuan tanpa pasangan.
Aku merasa kian tertantang manakala bersama perempuan-perempuan yang sudah bersuami; itu sesuatu yang amat menggairahkanku. Aku pernah terlibat perselingkuhan singkat dengan seorang istri yang umurnya dua puluh satu tahun lebih tua dariku, dan aku merasa geli bila mengingat itu. Selingkuh masih kulakukan ketika aku sudah punya cucu, bahkan sampai sebulan yang lalu saat aku bercerita padamu dan menyampaikan keinginan betapa aku ingin berhenti berselingkuh.
Apa kau sudah mengingatnya? Baiklah, kulanjutkan saja.
Kupikir, aku beruntung lantaran membaca sebuah buku dan menemukan seorang janda bernama Nirmala di dalamnya. Penulis buku itu tentu saja menyamarkan namanya. Nirmala sering bercinta dengan beberapa lelaki sampai dia tidak tahu dengan siapa dia hamil. Nirmala menikah dan menjadi setia. Aku penasaran dengan, katakanlah, pencapaiannya itu. Maksudku, bagaimana dia bisa setia setelah menikah, dan aku ingin bersua dengannya. Saat itu, aku beranggapan mungkin dia bisa membantuku keluar dari labirin perselingkuhan.
Seharusnya kami bertemu di satu kafe yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Kupakai kata seharusnya karena aku sama sekali tidak membayangkan kemungkinan lain terjadi saat pertemuan itu. Bersabarlah, kau akan mengerti apa maksudnya. Pertemuan kami dibantu oleh penulis buku itu. Dia mengatur hampir semuanya secara terperinci: tempat dan waktu pertemuan; berapa lama harus menunggu bila sekiranya salah satu dari kami terlambat atau tiba-tiba berhalangan hadir; memberitahuku pakaian macam apa yang akan Nirmala kenakan dan menanyai pakaian yang akan kupakai saat pertemuan nanti; membuat kesepakatan di antara kami bahwa aku tidak boleh membocorkan identitas Nirmala kepada pihak luar, begitu pula sebaliknya.
Waktu pertemuan tiba, aku datang ke kafe itu lebih awal. Namun, sekitar satu jam setelah aku di kafe, istriku datang ke sana dengan kostum persis dengan apa yang telah diinformasikan oleh si penulis buku itu kepadaku melalui surel. Waktu itu aku tiba-tiba jadi rikuh. Dalam ketegangan, aku mencakah ke toilet untuk kemudian mengecek surel di ponselku. Dan benar saja, pakaian istriku persis dengan isi surel si penulis. Dan sejurus kemudian, setelah aku kembali ke istriku, menurutnya wajahku pucat, dan karena itu, tak lama kemudian, kami pulang.
Aku ingat, bahwa sampai di bagian inilah—sampai pada akhirnya kami pulang dari kafe itu—aku bercerita padamu sebulan yang lalu. Sekarang, kusampaikan saja soal lain yang kujanjikan tadi.
Pertemuan di kafe menjadi permulaan kerumitan dalam rumah-tanggaku. Perempuan yang kunanti di kafe itu benar-benar istriku. Mampus aku! Semua ini terang kuketahui selepas pertengkaran kami di suatu pagi yang cerah. Sekali lagi kukatakan padamu, perempuan yang kunanti di kafe itu jelas-jelas istriku. Artinya, Nirmala, janda beranak satu saat pertama kali kukenal atau perempuan yang tidak tahu dengan siapa dia hamil, adalah istriku. Tentu saja dia tahu lelaki yang ingin menemuinya dan berlagak mencerap pelajaran dari Nirmala adalah diriku. Pada titik ini, keterbukaan yang gamblang di hadapan istri terasa mencekamku. Entahlah, apakah dia cemas bahwa aku tahu masa lalunya yang, katakanlah, seperti kurap—semakin digaruk, semakin nikmat.
Setelah pertemuan di kafe, bila aku tidak salah mengamati, dia menjadi gampang marah kepadaku. Pada suatu pagi hari belum lama ini, aku duduk di teras sambil membaca novel yang ditulis seorang pemuda. Suatu kenikmatan bagiku saat pagi hari duduk di teras seraya membaca buku dan sesekali mengisap rokok dan menyesap kopi. Itu ibarat ritual. Terlalu dalam aku tenggelam dalam aktivitas itu sampai-sampai abu rokok yang kujentikkan ternyata tak jatuh ke asbak, malah mengotori lantai. Aku tidak menyadarinya sampai istriku mengomel.
Dia bilang aku tua keladi tidak tahu ihwal kebersihan. Dia mengomel dan terus mengomeliku. Tidak biasanya dia seperti itu. Tidak biasa pula, omelan pagi itu dimaksudkan untuk merendahkanku. Omelannya makin liar ke bukan lagi perkara abu rokok yang mengotori lantai. Dia terus mengomel sehingga mataku dipaksa meninggalkan halaman-halaman buku.
Dia membanting sapu ke lantai. Aku mendongak ke wajahnya.
Dia tahu siapa aku, katanya. Kebingunganku belum menguap ketika dia melanjutkan ucapannya bahwa aku adalah suami yang gemar selingkuh dan tidak tahu diri. “Aku tahu kau orang macam apa setelah kita bertemu di kafe dekat pertigaan jalan itu. Semuanya sudah terbuka.”
Aku tidak mengatakan apa pun; itu tak lantas bikin dia berhenti mengomel. Dia malah mengajukan pertanyaan dalam rupa olok-olok: “Sudah berapa orang yang dengannya kau tidur dalam sepekan ini?”
Dia terus berkata-kata yang sebagian besar tidak lagi kupahami sebab aku lebih sibuk pada isi kepalaku yang dipenuhi kegamangan: bayangan rumah tangga yang berantakan; aku dan istriku berpisah; kami meributkan siapa yang harus keluar dari rumah sebab masing-masing kami ogah seatap; anakku yang terpukul oleh perpisahan kami; tidak ada lagi orang yang mengurus keperluanku; aku yang diserang kesepian; cucuku yang kusayang kemungkinan akan bertanya-tanya apa yang terjadi di rumah ini dan kelak mengetahui kakeknya gemar berselingkuh; tatapan tetangga yang terasa mencekik, dan seterusnya, dan seterusnya.
“Ya, aku memang selingkuh,” aku mengaku. “Tapi aku ingin berhenti. Karena itulah aku bermaksud menemui Nirmala.”
“Berani betul kau, hah!”
Oleh bentakan yang membuat urat lehernya timbul, jadilah aku bocah yang merengek di depan ibunya agar dibelikan mainan. Bayangan ngeri di kepalaku meluruhkan air mata dan gengsiku di hadapannya. Aku memohon maaf dan berjanji tidak akan berselingkuh lagi. Tetapi, dia menghardikku dan tidak percaya begitu saja.
Aku tak tahan lagi untuk tidak bilang: “Kau itu Nirmala, ‘kan __?” aku menyebut Nirmala dan nama istriku dalam ucapanku barusan. Saat menceritakan ini padamu, aku menyamarkannya. Begitu juga nanti dengan nama anakku. Aku tetap menyamarkan nama mereka walau kutahu bajingan macam kau tidak peduli dan tak bakal mengenal keluargaku.
Dia tersenyum. Senyumannya seperti meledekku. “Iya…” katanya, lantas tergelak. Ya, dia terang-terang mengejekku.
Satu-dua jenak aku menggigit bibir atasku, mencoba merapikan pikiran agar tak berduri. Aku hanya berdiri tatkala istriku mengeluarkan kata-kata yang kurang lebih begini: Dia memang Nirmala yang ada di buku itu, tetapi dia tidak lebih buruk daripada aku. Dia tidak main serong setelah menikah denganku. Dia, katanya lagi, telah kucurangi.
Entahlah, apakah ini berduri: “Nirmala, si Lundu itu anak siapa?” akhirnya, aku mengucapkan itu. Kegundahan yang mengganggu setelah pertemuan di kafe itu hambur juga.
Dia terdiam. Dia benar-benar diam.
Aku memburunya, tetapi dia tetap terdiam; barangkali dia menyadari pagi yang cerah ini bukanlah waktu untuk berselisih. Kalaupun dia sadar, itu sudah terlambat. Sejak tadi dia telah memberondongku dengan ucapan-ucapan bernada keras, dan sekarang adil semata apabila aku menginginkan dia menjawab pertanyaanku yang penting itu.
“Aku tak tahu.” Singkat sekali jawabannya.
“Katakan saja!”
“Aku tak tahu.”
“Katakan saja yang sebenarnya!”
“Dia anakku. Bukankah kau tahu bahwa, seperti yang ada di buku itu, aku tak tahu siapa bapaknya? Biarkan saja begitu. Aku sudah membesarkannya dengan segenap cinta sampai sekarang dia beristri dan punya anak.”
Aku sungguh tidak puas akan penjelasannya. Aku mengubah susunan kalimatku agar lebih spesifik, semata-mata demi mendapat ketegasan. “Nirmala, apakah si Lundu itu adalah anakku?” ya, aku bertanya dengan kalimat kaku macam itu, persis bagaimana guru bahasa di sekolah mengajarkanku, mungkin juga mengajarmu, menulis secara baik dan benar.
Si Lundu, orang yang kupersoalkan kebenaran siapa bapaknya, keluar bersama istri dan anaknya. Dia menggeleng-gelengkan kepala, entah karena didengarnya pertanyaanku yang mungkin ganjil baginya—ah, tentu ganjil buat siapa pun bila mengetahui fakta bahwa kami hidup bersama lebih dari tiga puluh tahun dan sekarang itu baru terucap—atau lantaran menemukan kenyataan risih bahwa orangtuanya bersitegang di pagi hari yang cerah. Aku kira kombinasi dua kemungkinan itu yang membuatnya menggeleng begitu.
Dia menatapku. Tatapannya seakan hendak meremukkan nyaliku.
Aku merasa lega bahwa tidak ada gelagatnya untuk peduli pada pertanyaanku yang berduri itu. Dia hanya pamit untuk bekerja.
Namun, kelegaanku hanya sebentar. Rasa-rasanya tempurungku seperti dihantam Bibel dohot Buku Ende. Sekonyong-konyong aku bengong saat sepatu Lundu baru saja meninggalkan lantai teras rumah sembari dia berkata: “Aku anak seorang perempuan!”
“Ya, dia anak seorang perempuan,” timpal istriku.
***
Editor: Ghufroni An’ars