Konon, para dewa di kahyangan pernah mengalami masalah pelik akibat kegagalan parenting dari salah satu oknumnya. Yang mengalami juga bukan dewa kaleng-kaleng, apalagi cuma dewa level 19. Tak kurang dari pasangan Bathara Guru dan Bethari Umayi a.k.a. Durga, big boss para Dewa di Jagad Triloka yang kesrimpet masalah karena ulah si anak yang bernama Dewa Srani.
Dikisahkan bahwa Dewa Srani pernah memaksa untuk menikahi Bethari Dresanala, putri dari Bathara Brahma, tentu dengan dukungan dari bapak dan ibunya. Sebenarnya jika dilakukan dalam situasi normal, sih, no problem, wong sama-sama anak dewa, kok. Masalahnya, itu dilakukan ketika Dresanala sudah menikah dan sedang mengandung jabang bayi benih dari Arjuna. Betul-betul kelakuan anak Dewa yang di luar nurul, ‘kan?
Singkat cerita Bathara Guru dan Bethari Umayi menerima teguran keras dari Sang Hyang Wenang, dewa tertinggi di Kahyangan. Hyang Wenang menganggap mereka terlalu memanjakan Dewa Srani dengan membackup rencana jahatnya dalam merebut Dresanala dari tangan Arjuna. In other words, Bathara Guru dianggap telah gagal dalam parenting, ndak becus mendidik anaknya. Dewa macam apa itu?
Baca juga:
Itu tadi sekelumit kisah dari kahyangan. Lalu, bagaimana dengan cerita di jagad nyata? Ada juga, kok.
Ada beberapa kasus pejabat publik yang harus rela dicopot dari jabatannya gegara ulah anaknya. Polanya kurang lebih sama dengan cerita para dewa di atas, akibat kegagalan dalam parenting. Bentuknya bisa dengan terlalu memanjakan anak melalui berbagai privilege yang dimiliki.
Sebut saja sang master perpajakan, Pak Rafael bla bla bla itu, lho. Dia harus kehilangan jabatannya karena tindakan kriminal yang dilakukan oleh anaknya. Si anak mengeroyok pesaingnya dalam urusan cewek hingga babak belur. Untung saja, netizen mem-blowup kasus tersebut hingga memberi tekanan kepada kantor si Bapak. Coba kalau nggak, pasti si Bapak masih terus saja memanjakan si anak, tak peduli sengawur apa kelakuannya.
Ada lagi yang lebih baru, Mr. Edward Tannur yang dipecat dari keanggotaannya di DPR RI. Musababnya kurang lebih sama, karena ulah si anak yang tega menghabisi nyawa pacarnya. Cerita lanjutannya ndak perlu saya ceritakan, netizen pasti sudah tahu. Benang merahnya, kok, ya, sama—sama-sama memanfaatkan privilege orangtua untuk urusan wanita.
Anak Polah Bapa Kepradah
Melihat kasus-kasus tersebut saya jadi ingat sebuah sebuah pepatah Jawa, anak polah bapa kepradah. Artinya adalah orangtua yang mengalami masalah besar karena ulah anak-anaknya. Jika dipikir-pikir, pepatah ini secara implisit menyoroti kegagalan parenting yang kemudian menimbulkan bencana bagi si orangtua.
Di sisi lain, saya yakin orang-orang Jawa seumuran bapak saya sepertinya tidak akan paham jika ditanyai konsep parenting. Sebab, yang mereka tahu hanyalah bagaimana nggulawentah, mendidik anak dengan cara-cara yang sesuai dengan kearifan lokal.
Dalam konsep gulawentah ini ada bonding yang intens antara orangtua dengan si anak. Ikatan antara orangtua dan anak tersebut tentu tidak terbentuk dengan serta-merta, tapi harus diupayakan secara kontinyu sejak usia dini. Ketika ikatan sudah terbentuk, si orangtua akan mudah memahami karakter si anak. Bapak dan ibu akan tahu segala potensi maupun nilai minus anak-anaknya.
Pengetahuan orangtua terhadap plus minusnya karakter si anak inilah yang menjadi fondasi dalam proses nggulawentah alias parenting ala Jawa. Dengan mengetahui kelebihan sang buah hati, orangtua bisa mendorong anak untuk memupuk nilai plus tersebut.
Begitu juga sebaliknya, identifikasi terhadap nilai minus si anak juga menjadi modal penting bagi orangtua dalam mendidiknya. Dalam hal ini, peran orangtua adalah menjadi semacam rem yang membatasi agar sifat buruk si anak tidak sampai kebablasan.
Perihal menjadi rem bagi keburukan anak ini sebenarnya sederhana, tapi perlu dilakukan secara konsisten sejak kecil. Praktik paling simple bisa dimulai dari hal-hal yang kecil. Misalnya, membatasi keinginan anak dalam njajan, main game, atau nge-slot. Eh, nggak, ding. Dengan begitu, akan muncul kesadaran dalam diri si anak bahwa tidak semua keinginannya harus dipenuhi.
Jika dari hal-hal sepele seperti beli jajan dan main game saja sudah los dhol tanpa rem, yakinlah bahwa anak-anak sampeyan akan tumbuh tanpa bisa mengetahui batas. Mereka hanya akan dewasa dalam arti bertambahnya angka usia, tapi pola pikirnya tetap kekanak-kanakan.
Kita tahu bahwa dalam jagad pikiran anak-anak, semua keinginannya harus terpenuhi, tak peduli bagaimana caranya. Ya, seperti si Dewa Srani yang ingin rabi Dresanala tadi. Pokoknya harus terlaksana, tidak peduli jika harus menghilangkan nyawa si Arjuna. Di sinilah peran penting orangtua untuk mengekang dan membatasi.
Eh, tapi, umpama Bapak saya seorang presiden sekalipun, saya pesimis dia akan menuruti apa pun keinginan anaknya. Saya yakin dia tidak akan memberi perlindungan jika ulah saya ngadi-adi, seperti merebut pemeran Yu Yah dari Indraguna Sutowo, misalnya.
Editor: Emma Amelia