Jalan Panjang Anak-Anak Korban Gagal Ginjal Akut Menanti Keadilan

Amanda Tan

3 min read

Per September 2023, sebanyak 326 anak di 27 provinsi di Indonesia menjadi korban Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) akibat keracunan sirup paracetamol. Kasus yang bergulir di pengadilan tidak dipayungi oleh organisasi atau lembagaan advokasi, sehingga class action adalah jalan peradilan yang ditempuh oleh korban. Namun, isu ini kerap kali hilang dari pemberitaan media massa.

Di tengah lenyapnya pemberitaan, salah satu media asing kembali mengangkat GGAPA dan memperlihatkan salah satu korban yang mengalami sakit berkepanjangan. Korban bahkan harus memakai selang untuk makan dan bernapas. Selain itu, korban juga masih belum bisa sadar secara total. Ibu korban mengatakan bahwa pengeluaran finansial untuk pengobatan sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme pembayaran khusus bagi korban. 

Baca juga:

Kilas balik penanganan kasus GGAPA menunjukkan bahwa pemerintah baru menemukan merebaknya kasus pada Oktober 2022, padahal menurut laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kasus ini sudah terjadi sejak bulan Juli 2022. Sejak diberitakan pada Oktober 2022, kasus kian meningkat dan bahkan terjadi lagi pada awal tahun 2023.

Pemerintah kemudian mengambil sikap lebih reaktif, yakni meminta orang tua untuk waspada dan menjaga asupan anak agar terhindar dari penyakit. Kegagalan pemerintah Indonesia dalam merespons cepat kerap kali disamakan dengan keterlambatan pemerintah dalam memberitakan bahaya COVID-19.

Dengan kasus yang masih bergulir di pengadilan, penting bagi organisasi masyarakat sipil dan media untuk terus mengawal dan meliput proses peradilan sehingga hak kesehatan masyarakat terpenuhi. Ini diperlukan agar penanganan kasus tuntas dan janji presiden untuk memberikan santunan digenapi, walau di tengah tahun politik menuju Pemilu 2024. 

Temuan Ombudsman pada GGAPA 

Setelah kasus merebak pada Oktober 2022, Ombudsman meluncurkan temuannya pada Desember 2022. Di dalam pernyataan kepada media, Ombudsman menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan peran pemerintah untuk berani menyatakan kondisi darurat. Kementerian Kesehatan dan Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) tidak menetapkan kasus ini sebagai kasus luar biasa (KLB) sehingga penanganan yang diberikan tidak sepenuhnya maksimal. 

Untuk Kemenkes, Ombudsman menemukan pola yang sama seperti yang terjadi pada COVID-19, ketika deteksi kasus dan surveilans tidak dilakukan sejak dini, sehingga kasus merebak dan mencatat korban yang tinggi. Selain itu, pasifnya respons pemerintah ini berimbas pada tidak optimalnya pelayanan kesehatan pada KLB. Ini terbukti pada kurang terbukanya sosialisasi yang optimal terkait dengan tata kelola dan manajemen kasus pada layanan kesehatan. 

Catatan keras juga ditujukan pada BPOM. Ombudsman menyatakan bahwa telah terjadi respons yang lamban atas peringatan WHO kepada BPOM terkait bahaya cemaran etilen glikol dan dietilen glikol yang terkandung pada obat sirup. Imbasnya peredaran obat tersebut mengakibatkan bertambahnya korban jiwa. Selain itu, BPOM juga menyatakan bahwa asesmen terhadap penilaian obat tidak dilakukan oleh BPOM secara kompeten. 

Selaku lembaga pemerintah, Ombudsman berperan penting dalam mengungkap cacatnya administrasi sehingga masyarakat dapat mengajukan tuntutan keadilan. Di dalam banyaknya kasus, gerakan sosial masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat juga turut andil dalam berkolaborasi dengan Ombudsman demi terciptanya pemenuhan hak masyarakat atas layanan publik yang baik. 

Mempertanyakan Tanggung Jawab Pemerintah

Laporan temuan Ombudsman RI adalah catatan atas cacatnya adminstrasi negara dalam menangani kasus penyakit emerging, sama seperti halnya kasus COVID-19. Korban yang banyak hingga kini tidak ditangani. Pemberitaan media asing tersebut bisa saja menjadi puncak gunung es dari banyaknya kasus yang tidak terekam oleh media lainnya. 

Walaupun luput dari pemberitaan media selama beberapa waktu, pemerintah tidak boleh melupakan kasus ini. Pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya dalam menyelesaikan dan menanggung pengobatan keluarga korban. Negara, sebagai otoritas tertinggi dalam penanganan penyakit dan peredaran obat, tidak boleh lepas tangan.

Sidang pengadilan terkait kasus GGAPA berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perjuangan untuk menuntut penanganan dan pertanggungjawaban negara masih terus bergulir. Misalnya saja, Majelis Hakim Yusuf PN Jakarta pusat menolak seluruh eksepsi yang diajukan oleh keenam pihak tergugat, yakni Kemenkes, BPOM, Kementerian Keuangan, PT Tirta Buana Kemindo dan CV Samudera Chemical selaku perusahaan penyalur obat, serta satu perusahaan farmasi, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry. 

Baca juga:

Pemerintah perlu memberikan pengobatan gratis pada korban akibat maladministrasi yang telah dilaporkan oleh Ombudsman dan temuan lainnya. Catatan bahwa korban masih harus menanggung biaya yang besar, padahal bukan kesalahan individual, menjadi bukti bahwa negara belum sepenuhnya hadir, padahal isu ini terjadi akibat lemahnya pengawasan pemerintah. Pemberitaan menyebutkan bahwa rencana pemberian santunan juga belum diikuti dengan petunjuk teknis mengenai besaran dan kapan santunan tersebut akan diberikan.

Peran Media dan Masyarakat Sipil 

Pemberitaan mengenai sidang penolakan eksepsi muncul kembali dan media mulai mempertanyakan kembali kejelasan teknis pemberian santunan kepada para korban GGAPA. Hal ini menjadi tanda bahwa media massa memiliki peran penting untuk memastikan bahwa agenda kebijakan, termasuk salah satunya adalah program pemberian santunan, dapat diberikan kepada korban secara transparan dan akuntabel. 

Pemberitaan yang dilakukan oleh media asing bisa dikatakan sebagai salah satu momentum baik bagi media massa dan organisasi advokasi di Indonesia untuk terus memonitor secara ketat perjalanan kasus, sehingga korban mendapatkan perlakukan yang adil atas penyakit akibat lalainya pemerintah. Pemberitaan kasus GGAPA ini harus menjadi perbincangan utama agar pemerintah menepati janjinya dan mengimplementasi program kebijakan secara adil. 

Dengan adanya pemberitaan media yang terus bergulir, warga akan terus diingatkan akan kegagalan pemerintah pada Oktober lalu dan meminta pertanggungjawaban negara. Peran lmbaga masyarakat yang turut andil dalam mengadvokasikan kasus ini juga penting agar media mendapatkan data terkini dari proses peradilan sedang atau telah ditempuh. Advokasi berdasarkan laporan warga pun akan dapat dilakukan oleh warga di internet sehingga kasus ini ditangani hingga tuntas. Peran lembaga advokasi yang berkolaborasi dengan media akan menciptakan tata kelola penanganan yang transparansi dan akuntabel. 

 

Editor: Prihandini N

Amanda Tan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email