Haji Syarif berdiri setelah mendengar apa yang diucapkan Imam Hasan kepadanya. Imam Hasan mengusir Haji Syarif. Jemaah salat Jumat sejenak diam. Suara yang menembus dinding masjid, menyayat hati Haji Syarif. Selama ini, ia hanya mendengar dari beberapa orang tentang ketidaksukaan Imam Hasan padanya. Tentang tuduhan Imam Hasan, bahwa dirinya ingin meguasai masjid. Hari ini, Iman Hasan bak tengah menegaskan semua desas-desus itu.
“Yang boleh menggantikan saya sebagai imam masjid di sini hanyalah orang dari suku kita,” seru Imam Hasan lantang.
Tanpa kata, Haji Syarif melangkah sedikit membungkuk melewati jemaah. Ia berjalan menuju pintu masjid, lalu menghilang dari pandangan semua orang.
Sejak tahun 1990, pemilihan imam masjid di desa ini selalu kisruh. Masalahnya hanya satu: Suku Gorontalo tidak boleh menjadi imam. Alasannya banyak, masjid ini dibangun oleh tua-tua Jawa Tondano, yang pertama kali tiba di desa ini. Mayoritas penduduk di desa ini pun sebenarnya adalah suku Jawa Tondano, meski mereka sudah bercampur dengan orang Gorontalo sebagai tuan tanah. Lalu, masalah tradisi juga turut memperuncing konflik tersebut. Setiap leluhur hendak menjaga tradisi masing-masing. Jika imamnya adalah suku Gorontalo, maka tak ada lagi Salawat Jowo, Ambengan, Berkatan, atau Meludan.
Empat puluh lima tahun lalu, Imam Hasan menginjakkan kaki di desa ini. Bersama kakek dan kerabat, ia meninggalkan Minahasa, tempat kakek buyut dibuang penjajah Belanda. Minahasa sudah sesak di masa itu. Lahan-lahan sebagian sudah menjelma pemukiman. Kerja menggarap lahan orang, tak cukup lagi menghidupi keluarga. Mereka harus pergi jauh. Merantau dan membuka perkampungan baru, juga menyebarkan agama. Hingga suatu hari mereka tiba di sini.
Kala itu, desa ini masih hutan belantara. Tepinya dikelilingi anak sungai yang bermuara pada sungai Pilolalenga. Siang hari Imam Hasan yang masih berumur lima tahun menyaksikan kakek, bapak dan rombongan yang ikut bersama mereka menebang pohon untuk ladang baru. Malam hari, mereka mendendangkan hadrah, melantunkan Salawat Barzanji yang nadanya berirama. Sesekali tarian hadrah juga ditampilkan. Tradisi yang menguatkan agama, menyatukan jiwa mereka dengan jiwa para leluhur. Tradisi yang membakar semangat mereka untuk membangun masjid, tempat mereka merekatkan iman dengan Tuhan. Di masjid ini mereka duduk bersila, bersisian membaca kitab Syaraful Anam.
Tahun kedua di sini, azan sudah dikumandangkan di masjid ini, tanpa pelantang.
“Tempo, masigi ini masih papan,” kenang Imam Hasan pada anak-anak pengajian suatu sore.
Perjuangan tua-tua mendirikan masjid menjadi semacam kisah heroik yang disampaikan turun-temurun. Pertama kali dibangun, masjid ini berdinding lembar papan, beratap rumbia. Perpaduan papan dari kayu gopaso, lasi, cempaka, bertahan hingga ratusan tahun. Masjid sederhana tanpa menara. Namun, inilah benteng pertahanan dari tradisi Jawa Tondano.
Saban magrib, bedug masjid terdengar hingga pelosok kampung. Suku Jaton memang piawai membuat alat tabuh. Rebana mereka berbunyi elok. Pukulan bedug tak hanya pertanda salat, tapi juga pertanda musyawarah, juga waktu belajar hadrah. Muda mudi harus mahir ber-rodat, menata ambeng, menyajikan serundeng, menyuguhkan sambal goreng, menghidangkan gudek, kininiran, juga smor. Masjid ini seolah mengiringi sejarah Jawa Tondano di kampung ini.
Pelan-pelan mereka, para pendatang itu, berbaur dengan suku Gorontalo, sang tuan tanah. Di pasar, di sungai saat mencuci pakaian, juga saling berbagi hasil tanam. Dua suku semakin dekat dan akhirnya hidup bercampur, sebab kawin-mawin antar mereka.
Dua adat beraduk dalam satu prosesi pernikahan, saat dua insan dari dua suku ini mengikat janji suci. Jika mempelai perempuan dari Gorontalo, adat yang dominan adalah adat Gorontalo. Pun sebaliknya, adat Jawa Tondano sangat menonjol, jika mempelai perempuan berdarah Jaton. Tak ada cekcok dalam urusan adat yang berbaur. Persis seperti rombongan Kiai Modjo ketika tiba di Minahasa. Enam puluh dua orang muslim pengikutnya, hidup tenang dengan orang Minahasa penganut Nasrani. Mereka menikah, dan perempuan Nasrani diislamkan.
Kini, masjid sudah berdinding beton dan beberapa kali dipugar sehingga tampak cukup megah. Jemaahnya semakin banyak, hingga tua-tua seperti Imam Hasan begitu resah masjid ini akan dikuasai orang yang bukan bagian dari mereka. Masa depan tradisi adalah beban. Jawa Tondano di desa ini, tak boleh tinggal namanya saja.
“Saya mengundang Ba’ Leman dan Ba’ Karto untuk duduk di depan.” Tanpa merasa risih, Imam Hasan melanjutkan pemilihan imam. Kepergian Haji Syarif seolah bukan masalah besar baginya.
“Ba’ Leman tidak ada.” Seorang jemaah berseru. Jemaah yang lain saling melirik, mencari-cari orang yang disebutkan. Barangkali Ba’ Leman ada di samping mereka. Nihil. Di teras masjid, tempat wudu, kamar mandi, juga tak ada.
“Kebiasaan.” Imam Hasan menggerutu dalam hati. Entah mengapa setiap ada musyawarah berbau-bau pemilihan ketua atau apalah, Ba’ Leman selalu menghilang. Musyawarah pemilihan petugas salat Idulfitri, Iduladha, dalam pemilihan ketua kelompok hadrah pun begitu. Padahal, jauh hari sudah disampaikan padanya.
Ba’ Leman akan bersama mereka hanya pada musyawarah penetapan Maulid Nabi, Isra Mikraj, juga Sarean. Ia akan duduk bersama tanpa suara, tanpa masukan. Hanya diam, mengiyakan kesepakatan jemaah.
“Pemilihan imam sebaiknya kita tunda dulu, Imam Hasan.” Salim, ketua remaja masjid, memberi saran.
“Ya, betul,” sahut sebagian jemaah riuh.
Saran jemaah tidak semata-mata karena ketidakhadiran Ba’ Leman, tapi suasana yang diawali dengan sindiran untuk Haji Syarif, membuat forum pemilihan imam itu menjadi tak nyaman lagi untuk dilanjutkan. Bagaimanapun, Haji Syarif orang lain yang tidak menjadi orang lain lagi bagi mereka. Mereka hidup bersama sudah sejak lama.
“Maaf, Imam Hasan, sebagian dari kita ingin mencalonkan Ba’ Leman.” Pak Mamat ikut menyahut.
“Sebaiknya dilanjutkan saja, Imam. Kalau tidak hadir, ya, artinya tidak siap dipilih.” Pendukung Ba’ Karto angkat bicara.
Bacaan salat Ba’ Leman lebih baik dari Ba’ Karto. Dari segi ilmu, Ba’ Leman juga lebih unggul. Ia banyak belajar dari bapaknya, juga dari Leman, anaknya yang mondok di pesantren. Ba’ Leman terlihat lebih tawadu, tak banyak bicara. Sayangnya, ia tak berminat menjadi imam masjid.
Dari bacaan Alquran, Ba’ Karto kualitasnya kurang lebih seperti Imam Hasan. Makhraj-nya kadang kurang tepat. Mereka susah diluruskan. Mudah emosi jika diingatkan. Apalagi yang mengingatkan hanya muda-mudi seumur Salim. Kekurangan yang akhirnya membuat jemaah sedikit hilang hormat pada Imam Hasan. Masalahnya, semakin ke sini, ucapannya semakin kurang jelas dan emosinya semakin labil. Barangkali faktor usia.
Akhirnya, surat kaleng ditulis. Entah siapa penulisnya, tapi keberaniannya tak boleh dipandang enteng. Ia menulis bahwa Imam Hasan harus diganti. Imam Hasan juga sudah terlalu lama menjadi imam. Memang, batas jabatan imam ini kurang jelas. Namun, dalam surat itu ia menuduh Imam Hasan ingin menjadi imam seumur hidup. Ia juga menyinggung kelakuan Imam Hasan yang tidak mendengarkan suara jemaah. Tidak hanya dalam salat, pun dalam kegiatan-kegiatan masjid yang lainnya.
Imam Hasan gemetar membaca surat itu. Ia berbicara di pelantang, bertanya-tanya siapa pelakunya. Jemaah salat magrib hanya diam. Lalu, sindiran tentang pengucapan bacaan salat yang salah-salah, semakin membuatnya naik pitam.
“Bacaan yang mana yang salah?” teriak imam Hasan di pelantang.
Saking emosinya, Imam Hasan melafalkan qul huwallahu ahad, tanpa qalqalah di akhirnya. Terus begitu hingga habis surah Al-Ikhlas itu.
“Salah di mana saya tadi?” ia bertanya setelah itu.
Jemaah tak berani buka suara. Ada yang hanya bisa tertawa dalam hati. Lepas itu, baru mereka saling berkomentar.
Selesai salat magrib Rabu kemarin, jemaah cukup kaget saat Imam Hasan mengumumkan akan diadakan pemilihan imam baru, Jumat nanti. Ia ingin melepas jabatannya. Masih ada kesan merajuk dari ucapannya, tapi ia sungguh tak mau lagi jadi imam. Orang-orang heran dengan sikap Imam Hasan. Jangankan mundur dari jabatan, dikritik saja ia enggan menerima, begitulah selama ini. Malam itu, ia berdiri dengan suara berbeda.
Imam Hasan risau hati. Monarki di kepemimpinan imam sudah runtuh. Sejak kakeknya, pamannya, bapaknya, hingga dirinya kini. Siapa pewaris selanjutnya dari keturunannya? Nyatanya tak ada yang pantas. Ba’ Saleh, saudaranya itu, bahkan tak lancar mengaji. Sehari-hari, sampai petang datang, ia berkebun. Lepas magrib, ia baru melepas penat. Sebelum matahari naik, ia sudah lebih dulu mengayuh sepeda, mendaki bukit jagung. Tak ada perhatiannya menengok masjid.
Tentang Haji Syarif, alasannya membenci orang itu adalah ketidaksukaannya jika Haji Syarif suatu hari menjadi imam Masjid. Haji syarif setiap hari berdiri bersama mereka dalam saf salat. Malam Maulidan, ia begadang bersama mereka membaca salawat. Istrinya juga menyediakan satu nyiru ambeng. Haji Syarif mengajar anak-anak mereka mengaji. Satu kurangnya adalah bahwa ia bukan keturunan Jawa Tondano.
Satu kurang dari Haji Syarif itu, berakibat banyak untuk orang Jaton. Ia bukan suku Jaton. Artinya, ia tidak paham pukulan rebana dua-satu, tiga-satu, lima-satu, dan dua-tiga. Ia terlalu tua dibarisan penari, tapi tak mahir menabuh jika berdampingan di barisan Ahlul. Ia tak tahu waktu menyuguhkan kukis kereng, juga racikan jenang untuk bakdo kupat. Lalu, bagaimana masa depan tradisi ini jika berada dalam kepemimpinannya?
“Saya tidak bersedia.” Ba’ Leman menolak pencalonan dirinya menjadi imam.
Kepala desa dan remaja masjid, sudah mendatangi Ba’ Leman di rumahnya, meminta kesediannya untuk dicalonkan. Ia sudah menjawab tidak bersedia. Mereka berharap ia berubah pikiran. Mencemaskan jika Ba’ Leman tidak mengubah keputusannya, hanya tersisa Ba’ Karto. Bisa jadi nama haji Syarif diangkat-angkat lagi. Buktinya Jumat kemarin, saat Imam Hasan meminta usulan nama calon imam dari jemaah, nama Haji Syarif pun keluar. Parahnya, tak ada penolakan dari Haji syarif. Tak ada kesadaran bahwa dirinya bukan penerus suku mereka. Hingga, sindiran yang membuat Haji Syarif angkat kaki dari masjid, meluncur tanpa kontrol.
Shollu alannabii… seorang ahlul menyerukan salawat, tanda hadrah dimulai. Lalu, pukulan dua tiga berdentam-dentum, disambut lantunan salawat dari barisan hadrah yang berhadap-hadapan. Di sana, di dekat mimbar, duduk berjejer Imam Hasan, Ba’ Karto, Ba’ Leman, kepala desa, juga tua-tua Jaton yang lain.
Kecewa dan bahagia sudah melebur dalam tabuhan rebana. Dua-tiga berubah jadi satu-tiga, lalu berpindah jadi satu-lima. Tabuhan keras mengiringi irama salawat. Mendayu-dayu, merdu nan indah memuji akhlak Muhammad, sang kekasih Allah. Dia pembawa damai, menyatukan yang retak, mengelokkan kelakuan manusia. Mereka berdendang. Hari ini tradisi mulia orang kampung masih selamat. Aroma ayam kukus, kelapa goreng dicampur potongan ati ampla dan kacang, nikmat tercium. Ambeng masih ada.