Ketua kelas Institut Sastra Makassar.

Aku Menikah dengan Babi

Nurhalis M

9 min read

Aku akan menikah dengan Babi, sebulan dari sekarang.

Empat buah pesawat televisi pada tiang tengah warung, menayangkan pertandingan sepakbola, lima tahun dari sekarang. Sebelum dimulai dan jauh setelah pertandingan berakhir, para pengunjung warung senang berjudi. Tapi, mereka tidak tertarik menaruh uang. Mereka lebih suka mempertaruhkan apa yang belum tampak, tetapi akan tiba. Bagi mereka, hal yang paling berharga untuk dipertaruhkan adalah kepercayaan dan keturunan.

Aku sendiri memiliki satu kepercayaan, dan aku bekerja keras melewati proses yang sulit, hanya untuk menghasilkan satu keturunan. Satu kepercayaan dan satu keturunan sama sekali tidak dapat memberi keuntungan di meja judi. Mereka yang berjudi di warung ini, rata-rata sudah meyakini banyak kepercayaan, dan memiliki sedikitnya empat istri, salah satu dari mereka bahkan memiliki 20 istri.

Kopi Susu ragi, hasil fermentasi, selama dua tahun, dan sepiring belalang goreng adalah menu kesukaanku. Di warung ini, ada lima belas meja makan, segi empat dan berkaki satu. Masing-masing meja memiliki empat buah kursi. Empat belas meja memesan menu yang sama denganku. Sebuah meja tidak memesan apapun. Meja yang terletak tepat di bawah juluran lidah Einstein, yang membunyikan “bleee” dengan nada mengejek, tiap lima belas menit sekali itu, hanya menikmati 119 buah lilin merah bercampur parfum, beraroma melati, seukuran jari telunjuk dengan api mungil yang menjilat-jilat. Lilin-lilin itu, ditatanya memenuhi meja seperti ladang jagung.

Babi itu, akan membuat warung ini tergenang lagi. Begitulah keluhan si Pemilik Warung. Dia adalah seorang manusia berwajah banyak, yang usianya sudah setengah mati. Ia meletakkan pesananku dengan hati-hati sambil berkata, bahwa kenangan, Babi dan lilin-lilin itu, betul-betul merepotkan. Lalu, ia memalingkan wajahnya dengan kesal. Seperti mengentak angin, hingga membuat beberapa wajahnya terlepas, dan berjatuhan ke lantai. Telinga, hidung dan kedua bola matanya berlarian ke sana kemari.

Lima jam dari sekarang, aku akan menyadari satu hal; aku akan jatuh cinta kepada Babi.

Berkat kekesalan Pemilik Warung, sekarang pandanganku tidak bisa terlepas dari Babi. Lamat-lamat kupandangi dari ujung kepala hingga ke kepala lagi. Ia menggunakan topi dengan sulaman silang, kain biru dan merah. Wajahnya tidak seperti babi pada umumnya. Kecuali hanya ada dua tanduk kecil menggemaskan yang mengapit hidungnya.

Dia terpekur memandangi lilin-lilinnya. Sesekali tersenyum ketika mengganti lilin yang habis dengan lilin baru. Pada saat tersenyum, ia benar-benar mempertunjukkan keahliaannya, sampai aku percaya bahwa tidak ada lagi senyuman yang seindah itu; pipinya yang ranum, memerah matang, dan memunculkan lesung, akan membuat siapapun diriku di masa lalu, dan di masa depan terpesona.

Tubuhnya setinggi tubuhku. Pada dasarnya manusia dan babi punya perawakan yang sama. Kami hanya berbeda di permukaan saja. Kulitnya seperti awan yang setengah mendung, di dadanya ada bulu-bulu tipis. Bagian lain sepenuhnya ditutupi bulu yang lebih lebat sehingga ia tidak terlalu membutuhkan pakaian. Di kepalanya terdapat rambut yang merumbai panjang seperti gorden. Jika tertutup topi, rambutnya akan menyembul dari belakang, seperti air terjun yang keluar dari dalam gua. Bentuk pinggulnya disusun dengan sangat tepat buat menyandarkan peluk.

Aku akan mencium bibir Babi, enam jam dari sekarang.

Aku menggulum bibirnya seperti orang-orang Prancis menikmati bibiran. Saat kulumasi lidahnya dengan ludahku, rasanya lidah Babi sepanjang tubuh ular sanca. Tenggorokanku bisa dipenuhinya dengan mudah dan mataku rasanya bisa tercabut. Saat kuciumi bibirnya dengan lumat, mataku dan matanya sempat bersitatap. Mata Babi memiliki terang yang melebihi siang. Mungkin karena itulah, ia tidak terlalu membutuhkan tidur. Babi bisa terjaga selama berhari-hari.

Satu jam akan berlalu, Pemilik Warung yang telah mendapatkan wajahnya bercerita kepadaku, selama itu, soal riwayat hidup Babi.

Darinya aku tahu, Babi dilahirkan dari rahim seorang manusia lilin yang dibuahi oleh seekor babi yang menguasai bahasa manusia. Ketika aku bertanya mengapa kau bisa tahu soal Babi. Ia menjawab; hampir semua pengunjung setia warung ini tahu soal riwayat hidup Babi, tapi kesialan hanya menjatuhi dirinya.

Tanpa kuminta, Pemilik Warung lalu melanjutkan ceritanya. Pemilik Warung bersaksi bahwa ia merupakan salah satu orang, dari kerumunan, yang membakar tubuh Ayah Babi. Aku tertegun mendengarnya. Ayah Babi, entah kerasukan apa, menjadi berani mendeklarasikan kepada seluruh wujud di alun-alun kota. Ayah Babi yakin; manusia Ahamik adalah para penipu yang menyusun cerita bohong soal bangsa babi. Menurut Ayah Babi, kebenaran Ahamik yang diyakini para manusia berasal dari langit yang kosong. Sebab ketika ruang telah memadat, tidak ada apapun yang datang dari sana.

Deklarasi itu membuat para manusia Ahamik geram termasuk Pemilik Warung. Sementara, Ayah Babi terus menghasut Pemerintah Pusat Gravitasi agar membiarkan spesiesnya menembus masa lalu lewat lubang cacing, dan membakar semua kitab Ahamik.  Tindakannya justru membakar amarah kami. Berduyun-duyun, kami memungut apa saja, untuk bisa membunuh Ayah Babi: Batu, tongkat atau pulang ke rumah, mengambil benda tajam. Sedangkan, Pemilik Warung berhasil mendapat sebotol bensin.

Setelah berhasil mengerumuninya, Pemilik Warung menunjukkan peragaaan bagaimana ia menyiram dengan sebotol bensin yang dibawanya dan menjilatkan api ke tubuh Ayah Babi sampai terbakar hidup-hidup. Ia masih sempat mendengar Ayah Babi berteriak pekak. Tapi, api sudah melahap seluruh tubuhnya, dan membenamkan suaranya.

Ketika asap mulai berkepul-kepul, keajaiban tiba-tiba terjadi, tubuh Ayah Babi mulai mematang. Api mengirim aroma yang sangat nikmat ke hidung-hidung kami. Tubuh Ayah Babi itu mengeluarkan aroma yang sangat gurih. Tanpa berpikir terlalu lama, kami membelah tubuhnya menjadi beberapa bagian lalu menyantapnya bersama-sama.

Setelah yang tersisa hanya tulang-belulang yang berserakan. Kami masih kelaparan, Kami memburu babi-babi yang berdiri tegun memandangi kami dari berbagai sudut.  Mereka masih sempat berusaha meloloskan diri. Tapi, 65 ekor dari mereka berbadan gemuk. Meski dianugerahi dengan empat kaki, badan seperti itu terlalu menyulitkan untuk dibawa berlari. Kami memanggang mereka hidup-hidup. Lalu memakannya hingga kenyang. Setelah itu, semua orang tersadar, hal keji telah terjadi di alun-alun kota. Moralitas telah dilanggar. Dan dari sanalah semua kesialanku berasal.

Meski aku sama sekali tidak peduli dengan kesialan yang menimpanya. Pemilik Warung tetap melarut-larutkan ceritanya. Ia tidak akan berhenti sampai menjelaskan kesialan apa yang sedang membebani hidupnya. Tapi darinya, aku juga menjadi tahu soal Ibu Babi itu.

Tidak seperti manusia yang mengklaim tercipta dari sari pati tanah. Manusia yang tersusun dari lilin melahirkan dengan cara membakar diri sampai leleh. Agar bayi diperutnya bisa melanjutkan hidup. Semua manusia lilin melewati proses persalinan yang sama dan menerima kematian sebagai akhirnya. Manusia lilin hidup dengan prinsip bahwa kematian akan mendatangkan kehidupan. Mereka menempuh hidup dengan cara seperti itu. Sebab itulah, Babi tak pernah berhenti membakar lilin-lilin, untuk menjangkau ingatan tentang Ibunya.

Babi itu, boleh berbuat apa saja di warungku. Entah bagaimana, Ayahnya selalu saja datang ke dalam tidurku. Dia selalu membakar tubuhku, bahkan ketika mimpiku sedang indah-indahnya. Kejadian itu sungguh menyebalkan. Aku sama sekali tidak bisa tertidur pulas.

Begitulah, Pemilik Warung menutup ceritanya sambil berpaling dariku, kali ini dengan sangat hati-hati agar wajah-wajahnya tidak berhamburan lagi.

Satu jam selanjutnya, aku harus menghampiri Babi. Tiga tahun dari sekarang aku akan menanggung resiko. Aku tak peduli seberat apapun itu.

Keluargaku dari yang terdekat sampai yang mengaku-ngaku sebagai keluarga tidak akan setuju, jika kuberikan hidupku untuk Babi. Saat ini, aku berusia 23 tahun, dan hanya akan hidup sampai angka itu saling mendahului. Tepatnya, aku dianggap belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk membangun rumah tangga. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa perlu menunggu adanya kesiapan untuk mencintai seseorang, atau Babi, dan menjelaskan alasannya. Bahkan, ketika aku menikahi Babi, aku tak pernah mau repot-repot mencari alasan.

Kedua orang tuaku paling kukuh menentang keputusanku untuk menikahi Babi. Bagi mereka, atau sebenarnya bagi kehormatan mereka, babi-babi adalah wujud yang tidak pandai mengolah keuangan. Kedua orang tuaku, memandang Babi, seperti manusia memandangi seekor babi: Babi menghabiskan tabunganku, dan tabungan semua orang. Tapi saat itu, aku tidak peduli apapun selain mencintainya.

Lelehan dari lilin-lilin yang dibakarnya sudah memenuhi permukaan meja. Saat aku berdiri di hadapannya, aroma lumpur bercampur aroma melati menguap dari arah tubuhnya. Sewaktu aku bercinta dengan Babi, rasanya benar-benar seperti bergumul di kubangan lumpur. Hangat, liar dan nikmat.

Setelah aku berdiri di sampingnya, dua menit setelah itu, ia akan mengangkat wajahnya dan mengarahkan tatapannya ke wajahku. Lalu, memintaku memesan sepiring tanah basah dengan cacing-cacing tanah yang dipanggang setengah matang. Dan, aku harus ikut memakannya sebagai pintu masuk menuju percakapan penting.

Sepiring tanah basah dengan cacing-cacing ulet setengah matang yang ditabur, dimakannya dalam sekali suap. Ia menyisakan sesuap untuk aku, sesuai kemampuan tenggorokanku. Kutelan dengan susah payah, rasanya seperti mencoba mengeluarkan tahi dari perut yang sembelit. Tenaga yang diperlukan hampir sama. Namun, kuhabiskan juga sambil menahan muntah.

Setelah memiliki kekuatan dan kesempatan melanjutkan percakapan, aku memulainya dengan pertanyaan. Kau sendirian?

Aku hanya punya kosakata itu dalam penyimpanan otakku, buat keperluan basa-basi, dan aku selalu merasa konyol. Padahal dari cerita pemilik warung itu aku sudah tahu, dan semua orang malahan, kalau sejak lahir ia sudah sendiri. Dan yah. Saat itu ia memang sedang sendirian.

Tapi, Babi menanggapiku dengan anggukan. Lalu, balik bertanya kepadaku.

Aku sudah tahu ruang-waktu yang brengsek ini akan membuat kau menemukanku. Tapi aku masih berhak meragukanmu. Ini soal, apakah kau bersungguh-sungguh ingin hidup dengan kesendirian?

Meski aku terpana oleh pertanyaannya, aku harus mengucapkan apa yang seharusnya kuucapkan kepadanya.

Ada banyak hal yang kuinginkan dari kesendirian ketika duniaku sudah menjadi terlalu ramai. Bahkan ketika aku sangat memerlukan kesendirian, dunia tidak memberiku kesempatan. Dunia selalu datang dengan karnavalnya. Menghiburku saat yang kuperlukan hanya kesedihan. Dunia ini memberiku banyak hal, tapi tidak ada apapun yang betul-betul tersimpan.

Lalu, ia menjawabku. Aku paham.

Babi berdiri, kaki belakangnya sungguh pantas menopang keindahan tubuhnya, cahaya dari lilin-lilin itu, menembus bulu-bulu tipis di dadanya. Ia memandang ke arahku, menampakkan seluruh tubuhnya sambil berkata; inilah yang kauingin, bukan?

Aku menatapnya, menjelajahi bentuk-bentuk di tubuhnya, menyimaknya dan memperhatikannya, seperti sedang menatap objek-objek wisata yang menyenangkan dari sebuah peta. Mengetahui aku terdiam. Ia melanjutkan ucapannya.

Sekarang kaubisa tahu, meski sejak lahir aku dibesarkan oleh kesendirian tapi di tubuh ini tidak ada kesendirian. Dunia meletakkan kesendirian di luar tubuh. Dunia membunuh kedua orang tuaku. Kesendirian datang kepadaku, dan memaksaku menyukai kesialan itu. Jika kau menyukai tubuhku, kau hanya akan mendapatkan kemeriahan. Tetapi jika kau mencintaiku lebih dalam, kau hanya akan mendapatkan kesendirian ngeri.

Aku tiba-tiba ingin melepas pakaianku untuk membuktikan sesuatu. Lalu aku melepaskannya. Aku tidak peduli jika semua orang, di dalam warung, akan melihatku dalam keadaan telanjang.

Di tubuh ini, kaujuga bisa melihat, aku sama sekali tidak memiliki kesendirian. Tapi, aku yakin, aku adalah bagian dari kesialan yang dikirim dunia kepadamu. Sekuat apapun kau menolaknya. Aku harus segera tiba ke tubuhmu.

Aku memeluknya dan ia balas memelukku. Menghabiskan waktu empat jam. Dan dia berbisik sendu di telingaku.

Akan kubagikan kesendirian duniaku kepadamu, sialan.

Nikmatilah saat ini juga, sebab ketika semua orang telah mengetahui masa depan tidak akan ada lagi yang mampu menjaga masa lalunya. Kataku, sebuah kata penghabisan yang mengobati kekonyolanku di awal.

Selama kami berpelukan, seluruh lilin di meja makan itu habis terbakar dan lelehannya mencapai mata kaki kami. Sementara pelukan ini masih erat. Rasanya sungguh hangat seumpama dikubur hidup-hidup. Bulu-bulu dari gundukan di dadanya halus, rasa halusnya berhasil mengunjungi dadaku. Aroma lumpur dari tubuhnya menyeruap seperti menikmati senja di ladang persawahan. Jantungnya berdegup seperti gendang dari rabi Himalaya yang mengantar kami dalam keadaan mabuk. Aku lalu menciumnya.

—-

Sebulan ke depan aku akan menikah dengan Babi. Dan tiga tahun setelah itu, istriku akan mati setelah melahirkan anak kami.

Aku mencintai Babi sebanyak yang aku bisa. Aku tak tahu, bagaimanakah Babi mencintai. Aku tak tahu, bagaimana cara ia memperlakukan gumpalan hatinya. Bagaimana ia mendengarkan suara-suara aneh dari sana. Tapi, kupikir, Babi tidak perlu menjadi manusia untuk mencintai. Ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan alasan, seperti manusia menggunakannya. Kami saling mencintai dan kami menikah meski tanpa restu dari orang tuaku.

Ketika waktunya tiba, aku bisa merasakan, akan begitu bahagianya diriku bisa menikahinya dan menjaga masa lalunya. Kami akan menyewa sebuah rumah kecil. Karena tidak ada yang akan memberkati pernikahan kami, maka kami menikah dan memberkati diri sendiri. Melantunkan doa-doa kami sendiri. Membuat kue pernikahan, tentu saja dengan taburan cacing-cacing tanah segar, yang kami makan sendiri, saling menyuapi.  Lalu, aku mencium keningnya, rambutnya, telinganya, dan tanduk kecil di hidungnya. Ia tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan tambahan ciuman. Matanya menampak bening, dan aku hanya bisa menambah ciuman lagi. Ia mendoakanku, dan aku hanya bisa membalasnya dengan ciuman lagi.

Akan selama satu tahun kami hidup bahagia

Aku akan menghabiskannya dengan bercinta. Aroma lumpur dari tubuhnya selalu membuatku tergoda. Aku sungguh menyukai tubuh istriku. Kami bisa bergumul setiap saat. Istriku bisa tidak tidur selama berhari-hari, jadi aku bisa bercinta tanpa henti. Kelelahan tak terasa. Saat berada di meja makan, di dalam kamar mandi, di ruang tamu, di depan televisi. Kami melewatinya dengan bercinta, sebab kami sadar, hanya memiliki waktu yang sedikit.

Tahun kedua pernikahanku akan membuat kami kerepotan, tidak ada lagi waktu untuk bercinta, istriku harus bersiap-siap melahirkan. Dengan kata lain ia harus segera menghadapi kematiannya.

Setiap manusia masih diberi dua pilihan. Satu berupa keburukan dan satu lagi berupa kebaikan. Keburukan manusia adalah sikap tamaknya terhadap keabadian. Sedangkan, sisi kebaikan manusia adalah kesadarannya untuk memilih. Ketika manusia memilih jalan menuju keabadian. Apapun harapannya, tidak akan ada yang menunggu di ujung jalan.

Bagi Babi, mereka hanya diberikan nasib buruk tanpa kebaikan. Keburukannya terletak pada sistem tubuhnya. Karena istriku berasal dari perkawinan antara manusia lilin dan seekor babi, maka keburukannya bertambah menjadi dua kali lipat.

Keburukannya yang pertama adalah selangkangannya yang memberi jalan masuk, tetapi tidak dibentuk untuk menjadi pintu keluar. Ia bisa memilih menempuh operasi pembelahan. Tapi, Babi hanya ingin mati seperti kematian ibunya. Sehingga ia memilih membakar diri.

Karena tubuhnya tidak mewarisi tubuh ibunya. Ia tidak akan meleleh saat terbakar. Ia akan hangus dan merasakan sakit yang luar biasa. Tapi, babi memiliki bungkusan rahim yang sangat kuat. Benar-benar tebal, hingga tidak termakan api. Dari sanalah anakku bertahan hidup, dan selama aku membesarkannya, aku tidak akan pernah berhenti menceritakan, kisah ibunya.

Keburukan kedua yang dimiliki istriku adalah sikap dasar Babi yang diwariskan dari ayahnya; kutukan tamak. Seekor babi menjadi sangat lapar ketika mengandung anaknya. Ia bisa menjadi pemakan segalanya. Benar-benar dalam bentuk harfiah. Bukan hanya tanah dan cacing-cacing, ia juga akan memakan seluruh bagian rumah. Mulai dari kursi, meja, lemari, alat-alat dapur, semua akan muat melewati tenggorokannya.

Babi akan menjalani 12 bulan masa kandungan. Selama itulah, istriku menyantap seluruh isi rumah kami. Agar bisa terus memberinya makan, aku harus meminjam uang ke sana kemari.

Sampai waktunya tiba. Di tahun ketiga pernikahanku. Istriku akan melahirkan.

Sejam sebelum ia melahirkan. Istriku duduk di pintu belakang rumah kami, berayun pada sebuah kursi goyang. Ia memperhatikanku menyusun satu persatu balok kayu yang kutebang dari pohon Cendana. Aroma batangnya yang harum setidaknya bisa menghibur istriku saat terbakar. Dengan beberapa daun kering aku menjilatkan api. Sebentar saja, api itu sudah menyala-nyala. Takdir istriku harus tiba, aku menoleh ke arahnya. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiriku. Berdiri terpaku dan menatapku dengan tatapannya yang paling dalam. Ia lalu menjilat keringat di kupingku, di leherku dan di dadaku lalu menanggalkan celanaku, menghisap selangkanganku sampai aku memuncak dan aku hanya bisa terpaku. Dengan cairan dari tubuhku ia sudah siap menghadapi dahaga ketika berada di tengah-tengah kobaran api. Ia memelukku dengan pelukan yang paling erat. Dan, aku hanya sanggup membalasnya dengan satu kecupan di keningnya.

Tanpa ucapan apapun, tidak dengan jagalah anak kita, juga tidak dengan selamat tinggal. Ia berjalan masuk ke dalam bubungan api yang menari-nari, dengan langkah yang pantas, dan hening. Saat ia berada di antara jilatan api yang semakin menggila, ia sama sekali tidak berteriak kesakitan seperti ketidakbecusan yang berteriak di dalam dadaku.

Selama dua jam istriku berada di dalam sana, dan yang tedengar hanya retakan balok-balok kayu. Dua jam yang sangat sendirian. Sunyi. Sepi.

Namun, setelah bubungan api itu mulai padam, terdengarlah suara tangisan yang memekik. Aku menyirami diriku dengan air dari dua buah ember yang sudah kupersiapkan sejak tadi dan berlari ke tengah bakaran, dan sisa-sisa abu, yang, juga adalah tubuh istriku. Lalu kuraih tubuh anakku yang masih terbungkus rahim, dan membawanya ke tempat paling aman; saat ini hanya pelukanku.

Rasa haru dari tangisannya berhasil membanjiri mataku. Wajah babinya membuatku terasa manusiawi. Anakku secantik ibunya.

Nurhalis M
Nurhalis M Ketua kelas Institut Sastra Makassar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email