Aku Masih Punya Waktu

Kristina Silalahi

2 min read

Sinar matahari perlahan menerangi jalan, terus merambat ke lantai rumah, memanjat tembok, menembus jendela, dan sampai pada kasur kecil itu. Di balik selimut, balita itu menggeliat meregangkan persendian. Memberikan ruang untuk tubuhnya semakin memanjang.

Setelah tubuhnya cukup panjang, ia bangun membuat sarapan. Roti gandum dan telur mata sapi, menu sarapan yang sehat kata ibunya. Sambil menikmati sarapannya, ia memikirkan kegiatan yang akan ia lakukan hari itu. Membersihkan gudang? Sepertinya tidak. Ia memang berniat mencari buku-buku lamanya tapi mengingat betapa kotornya tempat itu membuatnya merasa lelah duluan. Menggambar? Hm, mungkin.

Ia mencoba banyak hal baru akhir-akhir ini, salah satunya menggambar. Setelah hari di mana ia belajar menggambar dari internet untuk pertama kali, ia tidak pernah melakukannya lagi. Bukannya malas, ia hanya merasa tidak ada perkembangan setelah seharian melakukannya. Mungkin hari ini ia bisa menggambar lebih baik.

Ia membereskan alat makan dan masaknya kemudian bergegas mandi. Memulai hari dengan rutinitas yang baik akan selalu menghasilkan hari yang baik, itu yang selalu ia pikirkan. Tak lama setelah itu, ia sudah tenggelam dalam aktivitasnya. Tangannya bergerak-gerak mengisi kertas dengan coretan-coretan pensil.

Waktu terus berjalan seiring dengan tubuhnya yang terus bertumbuh menjadi seorang remaja. Ia mulai bosan. Setelah mengikuti cara-cara dalam video di internet dan mencari gambar yang sekiranya mudah ditiru, ia memilih berhenti. Tidak ada satu pun hasil coretannya yang setidaknya sedikit saja mendekati kata mirip.

Jam menunjukkan pukul sebelas, itu berarti sudah 4 jam ia habiskan dan tubuhnya berubah begitu cepat.

“Masih banyak waktu sebelum hari berganti. Aku bisa mencari hiburan sebentar lalu melanjutkan tulisanku.”

Ia beranjak menuju pintu kamar. Langkahnya terhenti saat melihat laptop di atas tempat tidur. Hatinya sedikit merasa bersalah karena tulisan yang akan ia ikutkan dalam lomba seharusnya sudah dikirim dari beberapa hari lalu. Juga karena ia sudah menghabiskan waktu untuk menggambar yang hasilnya sia-sia.

Tapi kau tidak melakukan hal yang percuma. Menggambar bisa jadi keahlianmu suatu hari nanti, otaknya berbisik. Ia meyakinkan hatinya kalau itu bukan masalah. Masih banyak waktu sebelum hari berganti. Ia akan beristirahat dulu dan membiarkan tubuhnya bertumbuh lebih dewasa lagi. Ia yakin nanti ia akan bisa menyelesaikan semuanya.

Tubuhnya yang kini dewasa itu berjalan mondar-mandir di depan laptop. Sementara matanya melekat pada layar yang baru berisikan beberapa kalimat, otaknya sibuk mencari ide. Rasa bersalah kembali menyusup ke dalam hatinya, namun dengan cepat ia enyahkan. Tak ada waktu untuk menyesal, hari semakin gelap. Ia memutuskan untuk duduk dan menuliskan apa pun yang terlintas di otaknya.

Menulis dengan otak dan hati yang berdebat bukanlah hal mudah. Sebagian dari dirinya berusaha keras untuk menggerakkan roda-roda mesin pernghasil ide dalam otaknya dan sebagian lagi mendengarkan debat mereka.

“Lihat! Bukankah ini namanya menghabiskan waktu?”

Ia melihat tubuhnya merebahkan diri dan mulai membuka ponsel. Seperti kemarin-kemarin, tubuh yang terus bertumbuh itu tidak banyak bergerak. Hanya berbaring, duduk, berbaring lagi, duduk lagi, dengan kedua jempol tangan yang terus sibuk dan leher yang menunduk juga mulut yang mengeluarkan umpatan-umpatan. Hatinya benar, itu menghabiskan waktu.

“Jangan munafik! Kau juga kan merasa senang. Itu hanya hiburan sedikit agar tidak stres. Dan jika kau senang maka itu bukan menghabiskan waktu.”

Ia tahu hatinya benar tapi ia lebih ingin menyetujui kata-kata otaknya. Itu hiburan, ia tak menghabiskan waktu. Dan jam, ia menghentikan gerakan jarinya dan melirik sudut layar laptop, jam tujuh malam sekarang. Bersamaan dengan itu ia merasakan kulitnya mulai mengeriput. Perlahan ia bangkit dan menyiapkan makan malam.

Tak apa. Masih ada waktu.

Otaknya terus berusaha menenangkan. Namun bunyi gemeretak tulang-tulangnya yang terus bertumbuh membuatnya menjadi gugup. Sebentar lagi tubuhnya akan semakin tua dan kesulitan bergerak dengan cepat. Ia segera menyudahi makan malam dan bergegas kembali ke kamar untuk merampungkan tulisannya. Ia mulai terbatuk dan kepayahan untuk berpikir. Helaan napasnya yang berat dan gerutuannya mengiringi gerakan jarinya yang berulang kali bergerak dan kemudian terhenti untuk menekan tombol delete.

Mata tuanya menatap layar yang begitu menyilaukan. Jumlah kata tulisannya masih setengah dari jumlah kata minimal dalam syarat lomba. Ia mengerang. Dengan kesusahan ia berdiri, merentangkan tangannya, menumpukan beban tubuhnya ke dinding untuk membantunya berjalan ke belakang kamar.

Jarinya yang lemah mencoret angka 22. Dua hari lagi untuk sampai pada tanggal yang dilingkari itu, tenggat lombanya. Ia masih punya waktu. Matanya bergerak melihat tulisan ‘Juli’ di atas kertas itu. Tidak terasa sudah banyak tanggal yang ia coret dengan tinta merah. Dua puluh dua hari.

Tak apa. Ia masih punya waktu.

Matanya bergeser ke kiri, dua bulan sebelumnya. Delapan puluh tiga hari. Pandangannya naik, bergerak ke kanan, naik, bergerak ke kiri, terus mengikuti alur sampai ke atas, ujung sebelah kiri dinding kamarnya.

Ia menelan ludah. Lebih dari 8500 hari sudah berlalu sejak ia lahir.

Tak apa. Ia masih punya waktu.

Ia membaringkan tubuh rentanya. Proses penuaan itu masih terus berlangsung. Tepat jam dua belas nanti ia akan kembali menjadi bayi dan ia akan punya kesempatan lagi.

Aku bisa menyelesaikan semuanya besok. Aku akan melakukan hal-hal yang berguna besok. Aku tidak akan menghabiskan waktuku besok. Tak apa. Masih ada besok dan besoknya lagi.

Suara gemeretak mengisi keheningan kamar itu dan perdebatan otak dan hati mengisi pikirannya. Sama seperti 22 hari lalu, terus berulang seperti ribuan hari yang lalu.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Kristina Silalahi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email