Di depan jendela, hujan yang sejak petang merimbunkan Semarang, berangsur reda dan hanya menyisakan sejuk. Langit masih digelayuti mendung. Awan-awan berarak di angkasa, penuh dan sarat, seolah dapat menumpahkan gerimis kapan pun dia mau. Sekarang sudah pukul setengah dua belas. Dini hari hampir tiba. Simpang Lima yang sepanjang malam hanya dihuni segelintir pedagang, mendadak ramai dipenuhi pengunjung. Tak lama lagi tahun berganti. Sejuta harapan dilangitkan.
Di lapangan yang masih berlumpur, anak-anak berkejaran. Remaja-remaja berusia tanggung duduk di tikar—berusaha menciptakan momen romantis yang hampir sia-sia. Becak-becak dengan motif kartun bergerak laun di sempadan. Lampu warna-warni yang dipendarkan baling-baling berkedap-kedip meriangkan suasana. Tak butuh waktu lama, udara disesaki bunyi terompet yang bersahutan tanpa nada.
Tanpa jeda.
Sebentar lagi, pesta kembang api dimulai.
Sebenarnya kau dan suamimu juga berencana merayakannya di sana, tapi putri semata wayang kalian, sudah mengantuk jauh sebelum tengah malam. Tapi tak mengapa, begini lebih baik justru. Kau duduk di balik kaca, menunggu detik-detik perayaan. Semua lampu sudah padam, dan hanya menyisakan cahaya pudar di jendela.
Berada di tempat-tempat baru membuatmu selalu ingin membuka buku harian dan menulis puisi. Kau senantiasa senang mencatat pengalamanmu begitu menjejakkan kaki di kota yang bukan kotamu.
Sebelumnya, kau hanya menuliskan apa yang kaualami dalam berlembar-lembar paragraf, tapi puisi ternyata mampu “membekukan” momen-momen yang kaurasakan dengan lebih baik, meski dengan huruf yang lebih sedikit.
Kau duduk di samping jendela kamar hotel dan menyibak tirainya, tapi tidak terlalu lebar. Seperti gadis kecil, kau bersandar di dada suamimu yang bidang, menikmati hangat tangannya saat menyentuhmu. Di hatimu kembali terbayang, hari-hari yang sudah kalian lalui. Namun kenangan, seperti biasa, tiada mengenal batas. Ia senang berlarian sekehendak hati. Kau yang sebelumnya hanya ingin merangkum setahun perjalanan, justru lebih banyak merenungkan masa yang jauh silam, dengan perasaan mendekati tak percaya semuanya pernah terjadi.
“Aku ingin menjadi kembang api,” kaupecahkan sunyi yang sedari tadi merayapi udara. Suamimu tidak berkata sepatah pun, hanya membelai rambutmu dengan jari-jarinya yang hangat. Dia tahu, jika menginginkan sesuatu, kau selalu menyampaikan alasannya kemudian, bahkan tanpa perlu dia bertanya, “kenapa?”
Dia sudah terbiasa dengan kata-katamu yang tidak terduga. Selalu kauutarakan keinginan yang mustahil terwujud. Tapi bukan berarti dia tidak menyukainya. Sebaliknya justru.
“Kau seperti puisi,” bisiknya, pada suatu subuh yang dingin, saat kalian terjaga, dibangunkan suara gerimis. Dalam remang hari yang masih dikuasai hening, kau berbisik, “aku ingin jadi pohon. Pohon yang rindang. Aku harap sepasang kepodang sudi hinggap dan membangun sarang di salah satu cabang. Lalu melahirkan bayi-bayi burung yang lucu.”
Kau mengatakannya setelah melihat, melalui jendela kamarmu, pohon mangga yang sudah ada di halaman rumah sejak hari pertama kalian menempatinya. Meski tidak pernah berbuah, daunnya sangat lebat. Suamimu pernah hendak menebangnya karena menutupi pandangan, tapi kaularang dengan lembut. “Selama tidak mengganggu, tidak pula mengusik jalan, biarkan saja. Dia sudah bekerja keras siang dan malam agar kita dapat bernapas.”
Suamimu yang serba rasional, dengan pemikiran kritis, terkadang tidak dapat mengimbangimu yang kerap berkata-kata tanpa dasar ilmiah, kecuali rasa.
“Tidak elok rasanya, membakar daun-daun yang masih hijau. Kita tunggu saja sampai kelopaknya kecokelatan—atau menanamnya, agar jadi pupuk yang menghidupkan,” katamu pada Sabtu pagi yang berawan, lalu dengan pelan merebut korek api di tangan suamimu.
Tentu saja, di kantor, jika mendengar hal-hal yang tidak masuk akal, dia pasti tertawa. Dia selalu mencari alternatif pemikiran yang lebih logis untuk memecahkan masalah yang sekilas mustahil dijelaskan. Namun denganmu, dia tidak berkata apa pun.
“Aku ingin menjadi kembang api,” katamu, lagi.
“Tapi usianya sangat singkat. Dia lenyap secepat datangnya.”
“Bukankah hidup juga begitu? Bagai kembang api yang melesat di udara, meletup, lalu lenyap begitu saja, seolah tidak pernah ada. Tapi setidaknya, di usiaku yang singkat, aku ingin jadi sesuatu yang membahagiakan.”
“Tidak cukupkah jika hanya kami—aku dan anak kita—yang bahagia dengan kehadiranmu?”
Kau terdiam, seolah berpikir.
Suamimu senantiasa heran, kenapa di malam tahun baru manusia gemar sekali menembaki udara, seolah tidak ada hal lain yang dapat diperbuat. Dia juga tidak tahu apa yang harus dirayakan. Tahun baru tidak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Hanya berganti kalender.
Aku tidak suka kembang api, pikirnya muram. Saat melihatnya, dia tidak merasakan apa pun, selain kesia-siaan. Nyaris tanpa makna.
“Bukannya sama saja dengan bakar-bakar uang?” cetusnya pada rekan sejawatnya. Tapi dia tak mungkin mengatakan hal serupa di hadapan istrinya, sebab dia tahu kau sangat menyukai kembang api. Dia tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada di antara kalian.
Dia toh juga punya rindu yang tak terbalas kepada kunang-kunang.
Semenjak kecil, dia menyukai kunang-kunang. Dia menghabiskan masa kanaknya di kota besar, tanpa pernah mengenal hijau dedaunan, kecuali di majalah NatGeo. Tiada hari dilaluinya tanpa sekolah dan kursus. Baginya, pepohonan hanya tokoh figuran yang jarang dia sadari keberadaannya. Dia kerap memandangnya tumbuh dingin—seolah tanpa jiwa—di pematang jalan kota.
Jika ingin menerbangkan layang-layang, dia menaiki elevator apartemen dan berdiri di lapangan tengah. Ada kebun hidup yang tampak kelabu meski disesaki beragam jenis bunga. Karena ayah dan ibunya jarang ada di rumah, dia lebih sering bermain sendiri. Memang, ada asisten yang setiap hari datang untuk membersihkan rumah, tapi tentu rasanya berbeda dibanding berlari dan berkejaran dengan teman sebaya.
Dia beruntung terlahir di keluarga berada, namun entah kenapa tak pernah sekali pun lepas dari jerat kesepian. Senja yang terbenam di matanya pucat dan menyedihkan, seperti gugur begitu saja dengan menyisakan sedikit sekali kedalaman. Tak tersisa apa pun di langit saat malam menjelang, kecuali kabut merah bata yang diciptakan asap kendaraan.
“Seperti apa rembulan?”
“Seperti apa bintang-bintang?”
Kerap dia bertanya tanpa mendapatkan jawaban. Dia tersadar, banyak hal yang sangat berbeda dibanding menatapnya dengan mata sendiri.
Kau, sebaliknya, semenjak bermula ingatan, sudah berteman karib dengan rimbun hutan dan segala yang ditawarkannya. Kau gadis kecil periang dengan langkah selincah kijang. Di desamu yang tenang, kau hanya perlu berjalan sejenak menembus jenggala yang tidak terlalu lebat. Di ujungnya, ada ribuan kunang-kunang berkerumun di dekat sungai.
Di masa kecilmu, kau tak pernah merayakan satu pun tahun baru dengan menyalakan kembang api, meskipun kau ingin mencobanya juga sesekali. Untuk membelinya, kau harus mengunjungi kota sebelah yang jaraknya lumayan jauh. Sebenarnya di dekat rumahmu ada toko permen yang terkadang menjual mainan juga. Tapi sepertinya belum pernah menyediakan kembang api.
Sebagai gantinya, biasanya kau, beserta teman-teman dan keluargamu duduk seranggung di sisi sungai sambil memainkan ilalang yang dicelupkan di permukaan air. Kaunantikan kunang-kunang dengan jari gemetar, berharap ada beberapa ekor yang sudi hinggap dan meminum tetes sejuk di helainya.
“Namanya kembang api kunang-kunang,” kau kelak bercerita pada suamimu, yang mendengar dengan mata penuh damba. “Cahayanya yang kehijauan berpadu dengan pendar rembulan yang keemasan. Entah kenapa, setiap menjelang tahun baru, kunang-kunang seolah ikut merayakannya. Begitu banyak dan begitu senyap. Begitu cerlang, tapi juga teduh. Tidak panas, sejuk justru. Namun, pada pagi tahun baru, saat kami kembali untuk berenang di sisi sungai, sudah tak ada seekor pun yang tersisa. Entah ke mana perginya, di mana rimbanya. Tak ada yang tahu. Seolah sinarnya redup begitu malam berakhir dan menguap tanpa meninggalkan jasad.”
Kau bertemu dengan suamimu saat berada di rantau. Bagaimana takdir bekerja, masih jadi misteri yang belum mampu kalian pecahkan.
“Aku ingin jadi kunang-kunang,” suamimu berbisik. Kau menolehkan kepala dan menatap padanya dengan heran. Dia yang biasanya hanya diam, tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Tapi, tidak seperti suamimu yang sabar menunggu, kau tak mampu menahannya. “Kenapa?”
Dia memelukmu lebih erat, merasakan kelembutan dan kehangatan yang ditawarkan tubuhmu. “Entahlah. Namun, kau tahu, bukan? Semenjak kecil, aku selalu ingin melihat kunang-kunang. Aku ingin duduk di sampingmu, seraya memperhatikan cahayanya menari. Entah kenapa, pada terangnya yang sementara, aku melihat sesuatu yang sifatnya baka. Mungkin, kunang-kunang adalah selubung yang membuat kita mampu melihat surga. Bukankah kunang-kunang hanya muncul di lingkungan yang benar-benar bersih dan bebas polusi? Aku selalu membayangkan firdaus sebagai sebuah taman yang luar biasa indah—dan penuh kunang-kunang.”
Suamimu membelai rambutmu dan mengecupnya. “Masih ingin jadi kembang api?”
“Tidak,” katamu.
Dia melepas pelukannya dan duduk di sampingmu. Dia sangat menyukai harum rambutmu, apalagi saat merasakan pelipismu bersandar di bahunya. Dia merangkulmu dengan tangan kanannya, dan kau merasakan lengannya mendekap lembut.
“Ternyata, jauh melampaui keinginanku yang lain, aku bahagia saat kaucintai,” kau memandang pipi suamimu yang merona malu dan menciumnya.
Pendar warna-warni kembang api memantul di jendela. Ribuan cahaya susul menyusul menghias angkasa. Di balik tirai, dua bibir bertautan dalam siluet yang menyerupai puisi.
Editor: Ghufroni An’ars