Bagian 1 Dulu Saya Benci Sheila On 7
Tahun 2010 saya hijrah ke Jakarta, meninggalkan segala kenyamanan yang tersaji di Jogja. Jakarta menggoda hasrat. Jakarta seolah menawarkan kesuksesan. Sebagaimana lirik Sheila On 7: tempat labuhan semua mimpimu.
Selama tinggal di Jakarta, hobi saya menonton konser agak terganggu. Alasannya jelas, yakni terbentur pekerjaan dan waktu. Jarum jam di Jakarta rasanya bergerak begitu cepat. Pagi ke siang, siang ke sore, sore ke malam, hingga malam ke fajar, bak sekejapan mata. Waktu banyak dihabiskan di jalanan. Apa boleh buat, faktanya demikian. Jakarta adalah kota besar yang selalu on 24 jam.
Kurun 5 tahun dari 2010 hingga 2015, rasanya tidak lebih dari 10 kali saya menonton konser di seputar Jabodetabek. Di antaranya nonton konser Geisha, Iwan Fals, Raisa, Seventeen, Peterpan, hingga Kahitna. Dan pada Maret 2014, kangen saya terobati ketika akhirnya bisa menyaksikan kembali aksi Duta cs di atrium Summarecon Mall Bekasi.
Kala itu, sebelum ke venue saya mengontak salah satu kru. Dari beberapa kru Sheila dulu, tinggal Mas Deni yang saya kenal. Saat itu Sheila dijadwalkan manggung pukul delapan malam. Sedari Magrib saya sudah tiba di lokasi. Sementara itu tampak para kru berjibaku mempersiapkan segala ubo rampe di atas panggung sebelum konser dimulai.
Melalui akses Mas Deni, saya menyelinap masuk ke ruang tunggu artis. Di sana sudah ada Duta, Eross, Adam. Brian kemana? Karena Brian stay di Jakarta, ia tidak berangkat bareng personil lain dari Jogja. Ia berangkat sendiri langsung dari rumah ke lokasi. Kabar terakhir, Brian sedang makan malam di lantai 3 mall bersama keluarganya.
Detik-detik menegangkan dimulai. Sebentar lagi Sheila akan perform, tetapi Mas Brian belum juga nongol. Panitia berkali-kali masuk ruang tunggu artis, menanyakan apakah Sheila sudah siap. Suara penonton kian histeris. Mereka berteriak, terus berteriak, dan sudah tak sabar lagi untuk berjingkrak-jingkrak. MC pun mencoba mengulur-ulur waktu, lantaran Sheila tak kunjung naik ke atas panggung.
Nomor kontak Mas Brian berkali-kali tidak bisa dihubungi. Kami di lantai bawah susah sinyal. Semua panik. Akhirnya kami (saya dan Mas Deni) mencari Mas Brian. Satu demi satu resto kami masuki. Sementara itu massa penonton terus meneriakkan nama Sheila. MC pun kewalahan. Sesaat MC memanggil nama Sheila On 7, ketiga personil akhirnya naik ke stage. Konser digeber.
Sekira 15 menit lebih mencari, kami berhasil mendapati Mas Brian sedang asyik makan bersama keluarganya. Yaa Tuhan. Tanpa fafifu, kami langsung menggelandangnya menuju venue. Depan, samping, hingga belakang panggung telah dijejali ribuan orang. Benar-benar tak ada celah. Lalu kami meminta bantuan security untuk membelah lautan orang untuk membuka jalan. Mas Deni di depan, saya merangkul mas Brian dari belakang. Lucunya, di situasi genting seperti itu masih ada fans yang meminta foto bareng. Dan berkali-kali saya menolaknya. “Maaf ya mbak, Mas Brian mau perform dulu. Ini sudah ditunggu.”
Sesaat Brian duduk di singgasananya, penonton langsung bersorak gembira. “Nah, ini drummer kita sudah datang,” ucap Duta yang disusul applause meriah dari SheilaGank. Hentakan drum Brian memainkan intro lagu Pejantan Tangguh membuat penonton kian riuh bergemuruh. Penantian mereka terbayar. Lunas. Tuntas. Mereka bersenandung dan sing a long bersama hingga konser purna.
**
Penonton konser Sheila di Atrium Summarecon Mall Bekasi kala itu memang membludak. Bahkan pasca konser, para fans masih bertahan di area ruang tunggu artis. Mereka setia menunggu idolanya keluar ruangan, hanya ingin sekadar menyapa, bersalaman, foto bareng, atau meminta tanda tangan. Ya begitulah fans. Semua sah-sah aja dilakukan, asal tidak mengganggu privasi sang artis.
Di ruang tunggu, personel Sheila masih melayani interview dengan beberapa rekan media. Saya masih stand by. Sesekali mengintip situasi di luar ruangan. Pemandangan tetap sama. Para penggemar masih rela berdiri berjajar. Mereka tak mau bubar sebelum melihat band pujaannya benar-benar beranjak pulang.
Personel dan kru berunding. Bagaimana caranya agar kembalinya para personel menuju hotel bisa kondusif. Rasanya tidak mungkin kalau semua personel keluar secara bersamaan. Bisa chaos nanti. Fans pasti akan mengerubungi.
Akhirnya diputuskan keluar satu-satu. Dan untuk menghindari kejaran fans, setiap personel mengenakan jaket dengan tutup kepala. Saya, asisten, dibantu security mengawal satu persatu personel Sheila keluar dari ruang tunggu menuju parkiran basement. Brian yang pertama. Disusul Adam, Eross, dan terakhir Duta.
Kenapa Duta? Ya karena vokalis satu ini paling banyak fansnya. Terutama kaum hawa. Sehingga pengawalan ke dirinya mesti ekstra ketat. Sejak keluar dari ruangan, semua orang meneriaki nama Duta. Tapi dasar orangnya humble, tetap saja ia ladeni uluran tangan fans, dan terus mengumbar senyum saat diajak foto bareng. Dia yang senyam senyum, saya yang was-was. Pasalnya tangan saya ditarik-tarik, diremas, disuruh minggir biar mereka bisa memeluk sang idola. Lah, tugas saya kan melindungi si artis, Mbak! Para fans yang belum bisa foto bareng, terus membuntuti kami sampai parkiran. Bahkan Om Duta sudah di dalam mobil pun, ada yang nekad mengetok-ngetok kaca mobil. Apa boleh buat. Dengan sabar Duta membuka kaca, dan si fans langsung ngajak selfi ria.
***
Inilah akhir kisah saya sejak mula jadi haters, fans, kru, hingga bodyguard, dari sebuah band asal Jogja bernama Sheila On 7. Ternyata benar, benci dan cinta itu beda tipis. Yang dulunya benci, kini bisa jadi cinta setengah mati. Itulah saya. Sekali lagi, Sheila On 7 adalah fenomena. Lagu-lagunya telah mewarnai, bahkan menjadi soundtrack hidup bagi para fans dan penggemarnya. Semoga tulisan ini menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan. Sampai jumpa.
— Selesai —
*Penulis bisa dihubungi di Twitter : @dsetia_
Fb. Muhammadona Setiawan Email: Muhammadona1918@gmail.com
keren banget mas….