Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) telah resmi disahkan DPR menjadi UU IKN dalam rapat paripurna yang digelar 18 Januari 2022. Dengan adanya UU IKN, pemindahan IKN ke Kalimantan Timur – yang dinamai Jokowi sebagai “Nusantara” – akan segera jadi kenyataan.
Pengesahan undang-undang dan segala proses perencanaan hingga realisasi IKN, seolah mengabaikan semua masukan, kritik, dan pertanyaan publik. Pada pertengahan tahun 2021 misalnya, salah satu ekonom senior Emil Salim menyebutkan bahwa pemindahan IKN pada masa ini tidak seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah, ditambah dengan harus mulai dari awal lagi untuk membangun IKN yang baru. Apalagi, Indonesia sedang mengalami masa sulit karena diterjang Pandemi Covid-19.
Baca juga
Karena suara masyarakat tak didengar, mungkin contoh dari negara lain yang memindahkan ibu kota, bisa menjadi perhatian pemerintah.
Dalam 30 tahun terakhir di ASEAN, ada dua negara yang memindahkan ibu kotanya. Pertama adalah Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya yang berjarak 30 menit perjalanan bermobil, pada 1999 dan yang kedua adalah Myanmar, yang memindahkan ibu kota dari Yangon ke Napyidaw yang berjarak hampir 5 jam perjalanan bermobil pada 2005. Sementara Malaysia dipuji berhasil memecahkan masalah-masalah ekonomi dan sosialnya dengan memindahkan ibu kotanya ke Putrajaya, Myanmar dianggap gagal.
Keberhasilan Malaysia dengan Putrajaya serta Kegagalan Myanmar menjadikan Napyidaw sebagai ibu kota negara menggantikan Yangon bisa dan harus menjadi pelajaran serius bagi para pemegang kebijakan di Indonesia.
Napyidaw dan Putrajaya
Sejak awal, rencana pemindahan ibu kota Myanmar dari Yangon ke Napyidaw sudah mengundang kritik dan pertanyaan besar; Mengapa harus pindah? Masyarakat Myanmar sendiri mempertanyakan apakah ini merupakan pilihan tepat? Beberapa media asing seperti The Washington Post, The Guardian dan The Economic Times seakan memiliki pandangan yang sama; pemidahan ibu kota Myanmar ini merupakan “ide liar dan ambisius” dari pemimpin militer Myanmar saat itu, Than Shwe.
Jika salah satu alasan mengapa IKN Indonesia harus pindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur adalah karena kepadatan penduduk dan kemacetan yang tidak manusiawi, Shwe tidak pernah menyampaikan bahwa Yangon sudah tidak mampu “menyangga” kemacetan dan kepadatan penduduk. Alih-alih memberikan penjelasan secara ilmiah, Shwe tidak pernah memberikan alasan di depan publik mengenai pemindahan Yangon ke Napyidaw ini.
Bahkan, The Economic Times menyebutkan bahwa motivasi Shwe ini didasari pendapat kelompok astrologer yang meramal bahwa Yangon akan diserang oleh pihak asing, terlebih posisi geografisnya yang dekat dengan laut.
Ada satu pemikiran menarik dari David Logan (2013) melalui tulisannya di The Globalist, bahwa bisa jadi alasan Myanmar memindahkan ibu kota dari Yangon ke Napyidaw karena ingin menghindari masyarakatnya sendiri. Ketika masyarakat melakukan protes kepada negara di lokasi yang mudah dijangkau, maka gelombang protes akan semakin mudah diinisiasi. Apabila lokasi ibu kota jauh dari pusat kehidupan masyarakat, gelombang protes akan lebih sulit untuk dilangsungkan.
Insecure autocratic regimes memiliki kecenderungan untuk memilih lokasi yang terisolir dari keramaian agar bisa mengamankan para pemimpinnya dari kemungkinan kudeta maupun gelombang protes yang sangat besar.
Selain alasan pemindahan yang tidak jelas, kritik atas rencana pemindahan ibu kota Myanmar didasari oleh ketidaksiapan Napyidaw untuk dijadikan ibu kota. Napyidaw bukan kota yang megah secara historis; lebih cenderung merupakan kota yang sepi. Pembangunan besar-besaran, termasuk dengan membuat 20 jalan besar, tetap tidak bisa mengubah Napyidaw untuk tidak menjadi kota yang sepi. Bahkan hingga kini, Napyidaw dijului sebagai “kota hantu” karena hanya sedikit yang ingin berdiam di sana. Rianto (2019) melalui laman Bisnis.com menuliskan bahwa ada beberapa masyarakat yang memilih untuk nglaju dari Yangon ke Napyidaw untuk bekerja karena ibu kota baru Myanmar tersebut hampir seperti kota mati.
Sementara di Malaysia, dengan motif dan tujuan ekonomi dan sosial yaitu memperbaiki produktivitas birokrasi serta menghilangkan kemacetan di Kuala Lumpur, Malaysia yang kala itu di bawah Mahathir Mohamad berhasil menjadikan Putrajaya sebagai kota baru yang menjadi pusat pemerintahan negara jiran ini dengan biaya USD 8.1 billion atau sekitar Rp 115 triliun. Sementara anggaran IKN Indonesia mencapai Rp 500 triliun.
Tetapi terdapat perbedaan yang sangat besar antara pembangunan Putrajaya sebagai ibu kota administrasi pemerintahan Malaysia dengan penciptaan Napyidaw dan juga ibu kota Indonesa yang baru di Kalimantan Timur tersebut.
Pertama, Putrajaya bisa dibilang bertetangga dengan Kuala Lumpur, seperti Jakarta dengan BSD di Tangerang atau Lippo City di Karawaci, dengan lingkungan sekitar yang jadi yang terletak dalam negara bagian Selangor sehingga pembangunannya secara infrastruktur tidak bisa dibilang dari nol.
Kedua, selain pegawai negeri yang kemudian diharuskan pindah ke Putrajaya, sudah banyak penduduk yang bermukim di daerah tersebut sehingga bahan inhabitants yang akan menjadikan kota hidup telah tersedia.
Meskipun memiliki potensi-potensi ini, Putrajaya memerlukan waktu 20 tahun untuk bisa mencapai jumlah penduduk 100,000 jiwa.
Kota Hantu?
Melihat jumlah pegawai negeri sipil dan pemda DKI yang mencapai lebih dari 500,000 orang, memang ibu kota baru di Kalimantan Timur tersebut dalam jangka panjang bisa menjadi kota yang hidup. Hanya, apakah penguasa selanjutnya akan cukup sabar dan mendukung ibu kota baru serta menunggu sampai ibu kota tersebut mapan? Jangan-jangan baru ganti pemimpin, rencana ibu kota baru tersebut langsung dibatalkan.
Sebagai negara demokrasi, sudah seharusnya Indonesia mempertimbangkan opini publik yang berputar di tengah rencana pemindahan IKN ini. Apa yang terjadi di Myanmar harus jadi pelajaran agar tidak terulang lagi. Napyidaw yang kini dikenal sebagai kota hantu adalah contoh nyata kegagalan pemindahan ibu kota yang juga menghantui rencana pemindahan IKN ke Kalimantan Timur.
Tentu saja kita tidak menginginkan kondisi serupa terjadi di Indonesia, bukan?