Dalam ruangan hanya selebar 1×2 meter, dengan dinding berwarna merah pucat, tanpa ventilasi, dan lampu bohlam kuning yang nyaris mati, aku duduk berhadapan dengan takdirku. Seorang lelaki cungkring dengan bau keringatnya yang menyengat, kembali bersiap membombardirku dengan setumpuk pertanyaan, lengkap dengan gertakan dan ekspresi mukanya yang mengingatkanku pada karakter Hell Boy.
Ia bertanya padaku, Apa arti darah bagiku? Ini pertanyaan ke sekian yang harus aku jawab. Dan kali ini ada permintaan sekaligus penekanan, aku harus jujur. Tak boleh ada dusta, sekecil apa pun. Sebab, katanya aku sudah tidak memiliki hak lagi untuk berbohong kecuali mau mati.
Kujawab, “darah itu merah. Darah itu najis. Darah itu menjijikkan. Darah itu sakit. Darah adalah momok, teror, menakutkan.”
Tak puas dengan jawabanku, ia menggebrak meja hingga beberapa tumpuk kertas dan ponselnya bergeser sepersekian sentimeter dari posisinya semula. Ia menyeka keringat yang membulir di keningnya, mengutuk berkali-kali sembari menenggak air mineral. Lalu ia berbicara, ah, lebih tepatnya mengancam, jika aku tetap berbasa-basi, ia memastikan aku akan berakhir di tiang gantung.
Baiklah. Akan kuceritakan bagaimana awalnya aku mengenal darah.
Ingatanku tentang darah dimulai bukan ketika masa puberku. Ia datang jauh sebelum itu. Tidak ketika penciptaanku dimulai. Tidak juga ketika aku lahir ke dunia ini, lewat darah nifas. Ayolah, mana ada anak manusia yang bisa tahu ketika ia diciptakan dan dilahirkan, kecuali melalui cerita-cerita itu. Dan juga tidak karena luka yang kerap anak kecil alami. Aku lebih tangguh dari mereka.
Ingatanku tentang darah berawal saat berusia enam tahun. Kala itu menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Para perempuan di kampung Temor lebih sibuk dari biasanya. Mereka libur sejenak dari aktivitas harian mereka di sawah, ladang, dan laut. Berbondong-bondong datang ke pasar kecamatan. Berbelanja kebutuhan Lebaran lalu menyiapkan tetek bengek: hantaran, ketupat dan bumbu-bumbu masakan seperti opor, gulai, bali, dan lain-lain.
Sementara itu, bapak-bapak pun sama sibuknya. Mereka kebagian tugas menyeleksi ayam-ayam piaraannya, memilih ayam terbaik dari kandangnya. Ayam yang paling layak disantap saat hari raya nanti. Ketika pilihan dijatuhkan, ayam akan dibawa ke tukang jagal.
Di Kampung Temor, Cak Mat dikenal sebagai tukang jagal di rumah jagal kecamatan. Di hari-hari seperti inilah Cak Mat paling dicari oleh para bapak di Kampung Temor. Ia dipercaya oleh masyarakat sebagai tukang jagal yang cakap. Banyak warga mempercayakan hewan ternaknya disembelihkan pada Cak Mat. Sebab, tak sembarang orang bisa menjagal ayam dengan benar dan sesuai syariat agama. Salah memotong leher ayam bisa berakibat fatal. Baik nasib dan hukum bagi si ayam maupun stok ayam ternak di kandang pemiliknya. Maka menyembelih ayam di Cak Mat adalah keputusan terbaik.
Cak Mat adalah bapakku, si tukang jagal tersohor dari Kampung Temor dan rumah jagal Kecamatan Dhejeh.
Sejak siang antrean sudah mengular di halaman belakang rumah, tempat eksekusi ayam. Aku menghitung, ada 13 lelaki, empat perempuan, dan seorang nenek. Aku mengamati ayam-ayam yang mereka bawa. Mulai dari ayam yang paling besar dan gemuk, ayam dengan warna dan bulu-bulunya yang indah, hingga ayam kisut yang memang sudah menunggu ajalnya tiba. Ayam kisut itu milik sang nenek.
Tak lama berselang, Bapak muncul dengan pisau Cap Garpunya yang gagah. Perlu kamu tahu, pisau itu sama tersohornya dengan nama Bapak. Pisau itulah yang sering Bapak gunakan saat bekerja maupun membantu warga menyembelih hewan ternaknya. Pisau itu diwariskan Bapak dari leluhurnya yang seorang blater–sebutan untuk jagoan di kampungku. Konon, pisau itu keramat karena dulu leluhur Bapak menggunakannya sebagai pengganti clurit saat carok. Pisau itu juga terkenal di kalangan para bandit yang kerap merusuh di kampung-kampung. Siapa pun yang mencari masalah, jangan harap bisa lolos dari sabetannya.
Pisau Cap Garpu itu tak tertandingi dan artinya, tak ada yang bisa mengusik harga diri leluhur Bapak. Turun temurun pisau itu diwariskan, bersamaan dengan gelar blaternya. Lalu pada generasi terakhir, oleh bapaknya Bapak, pisau itu disucikan agar tak lagi memakan korban tetapi digunakan untuk hal yang bermanfaat.
“Sudah lewat masanya mengandalkan nafsu untuk menyelesaikan masalah. Gunakan musyawarah jika terjadi masalah, bukan carok,” Bapak mengutip kalimat yang diucapkan bapaknya. Sejak saat itu pisau Cap Garpu menemukan jalan barunya.
Bapak mengeluarkan pisau dari sarungnya. Aku yakin para ayam bergidik ngeri melihat kilauan tajam pisau Cap Garpu Bapak. Sama ngerinya dengan para perempuan itu. Bapak menggali lubang di tanah sebagai penampung darah ayam. Lalu mengasah pisau Cap Garpunya yang gagah. Gesekan pisau dan pengasah terdengar ngilu di telinga. Terasa cukup tajam dalam sekali sabetan, Bapak menyudahi asahannya.
Lelaki pertama mendekat pada Bapak. Menyerahkan bagian kepala ayam di tangan bapak sedang tubuh bagian bawahnya tetap di genggamannya. Bapak mulai merapal doa, membaringkan ayam di tanah dan posisi lehernya mendekat lubang galian. Lalu ia mengisyaratkan pada lelaki itu untuk bersiap dengan apa yang akan terjadi berikutnya.
“Bismillahirrahmanirrahim,” ucap Bapak. Sigap tangan Bapak menyentuh leher ayam. Lalu pisau Cap Garpu Bapak lincah memutus tiga urat nadi penting di leher ayam: pernafasan, makanan dan darah. Darah segar, merah pekat mengucur deras dari leher ayam. Mengisi ceruk yang Bapak buat. Aku mengernyitkan dahi, ngeri sekaligus jijik melihatnya. Kubuat jarak sejauh mungkin agar bau anyirnya tak terendus penciumanku. Juga terhindar dari cipratannya. Sebab kata Bapak, darah itu najis.
Ayam meregang nyawa, sebentar lagi ajal menjemputnya. Bapak maupun lelaki itu segera melepas ayam, menggelepar di tanah. Membiarkan ia bertarung dengan malaikat mautnya hingga terkapar tanpa nyawa.
Siang itu, 18 ayam meregang nyawa di tangan Bapak. Para bapak, ibu dan nenek itu pulang dengan senyum lebar, lengkap sudah persiapan Lebaran. Besok mereka bisa makan enak. Tapi aku sebal. Bagaimana tidak? Atas usaha Bapak itu, mereka tak pernah mengimbali Bapak uang. Hanya ucapan terima kasih dan Bapak tak pernah mengeluhkan hal itu.
****
Apa yang paling kamu ingat saat pertama kali puber? Darah yang tiba-tiba menodai celana dalammu? Kebingungan memakai pembalut? Atau perasaan malu untuk mengungkapkan pada ibumu?
Ah, maaf aku lupa, kau lelaki. Tentu saja berbeda dengan masa puber yang dialami perempuan. Kau cukup mimpi basah lalu dewasa. Perempuan? Ditandai dengan rasa sakit dan darah! Ya, darah merah yang tak mau henti dan membuat perempuan memiliki masa najis. Dijauhkan dari berbagai kegiatan keagamaan hingga masa najisnya selesai dan bersuci. Berikutnya, serentetan upacara haid sesuai adat harus aku lalui.
Tapi tahukah kau, apa yang paling aku ingat ketika darah itu muncul di celana dalamku?
Umpatan orang dewasa yang terlontar dari mulut kecilku. Pate’! Aku membencinya. Ia datang tidak tepat waktu, sebagaimana teman-teman seusiaku. Darah yang aku benci itulah yang mengantarku menjadi seorang dewasa. Tubuhku mulai berubah bentuk. Menjadi lebih tinggi, lebar, dan besar. Dan aku tak pernah menyangka, menjadi dewasa ternyata mendatangkan hal-hal rumit yang tak pernah aku rasakan saat menjadi anak kecil.
“Bisakah aku kembali menjadi anak kecil?”
Pertanyaan itu aku ajukan pada Bapak ketika usiaku 15 tahun. Bapak menatapku ganjil, binar matanya meredup, seperti bukan Bapak yang kukenal. Seperti ada yang mengganjal di pikirannya tapi tak bisa ia sampaikan padaku. Saat aku mencoba mencari tahu, Bapak sudah kembali pada dirinya sebagaimana sedia kala.
“Inilah masa terbaikmu menjadi seorang perempuan. Kaummu, oleh Tuhan diberikan keistimewaan untuk dicintai lebih banyak manusia. Laki-laki yang akan menjadi suamimu dan anak-anakmu. Dan sampai saat itu tiba, jagalah harga atas dirimu. Jangan sekali-kali menjadi murah. Ingat itu,” tegas Bapak.
****
Adakah yang mengenal darah lebih baik dari aku? Aku rasa tidak ada. Aku mengenal darah sebaik mengenal diriku sendiri. Sejak peristiwa ayam berdarah, puber berdarah, lenyapnya kehormatan yang berdarah hingga segumpal darah yang berubah menjadi segumpal daging dalam rahimku, aku sangat paham. Warnanya, baunya, rasanya dan ketakutannya.d Sebab darah, aku tak mau menjadi murah, lemah.
Lalu ketika kutagih harga atas diriku pada manusia pemberi segumpal darah dalam rahimku, dia mengingkari. Dia tak mau mengakui telah merenggut darah yang telah kurelakan untuknya, untuk kasih yang kuberi padanya. Darah yang begitu berharga itu ia sangkal keberadaannya. Mirip dengan seorang perempuan yang menyangkal kehadiranku dan memilih menghilang.
Ia katakan, segumpal darah itu bukan miliknya. Setetes pun tak ada miliknya. Dirinya berdarah biru. Berbeda denganku yang berdarah merah. Mustahil dua darah yang berbeda melebur jadi segumpal darah yang sama.
Sungguh, aku tergelak mendengarnya. Bukankah sejak awal penciptaannya, warna darah tidak pernah berubah. Tetap merah. Tak pernah menjadi biru.
****
Lelaki cungkring di ruangan sempit itu meminta jeda. Aku hentikan ceritaku sejenak. Ia mengelap keringatnya yang sudah sebesar bulir jagung. Namun, sungguh tak tahu diri, dia malah menyulut sebatang rokok, menyesakkan penciumanku dengan bau asap dan keringatnya yang semakin terasa kecut. Lelaki itu menyesap nikmat nikotin. Sementara aku seperti melihat adegan reka ulang dari potongan cerita yang berjeda.
Lalu cerita berlanjut dengan sendirinya, tanpa diminta. Seolah melanjutkan adegan yang baru saja kulihat. Namun, kali ini sosoknya adalah si darah biru. Ia mondar-mandir di hadapanku dengan sebatang rokok di tangannya. Pandangannya lebih sibuk melihat ke jalanan, dibandingkan memperhatikanku yang ada di hadapannya.
“Kamu gugurkan saja janin itu,” katanya setengah memohon.
“Kamu memintaku membunuh bagian dari tubuhku, hidupku?”
Ia tak menyahut, malah terlihat makin kalut. Rokok yang sedari tadi hanya mengapit di jemarinya kini dilempar begitu saja lalu tangannya mencengkram bahuku kuat.
“Bukan aku yang menghamilimu. Ia bukan darah dagingku. Kita berbeda, dan kamu tahu itu!” ia mengelak, satu-satunya jalan untuk kabur dari tanggung jawab.
Demi Tuhan, tubuhku gemetar mendengarnya. Penolakannya seperti menegaskan bahwa aku tidak hanya bercinta dengannya saja tetapi dengan banyak pria. Ia mengingkari percintaan malam itu dan malam-malam sebelumnya. Ia katakan pula, darah yang mengalir di tubuhku mewarisi dosa perempuan yang melahirkanku dan dosa leluhurku yang menjadi blater. Darahku kotor.
Mataku tiba-tiba memerah. Panas dan terasa kebas. Terngiang ucapan Bapak dan sekelebat ingatan ketika aku ditinggalkan oleh ibuku.
Aku merogoh sesuatu di balik punggungku, memastikan jika ia sudah cukup siap. Aku mengencangkan genggaman tanganku atasnya. Jika ia memang demikian yakin dengan darah birunya, ada yang ingin kupastikan dengannya. Lalu pisau Cap Garpu Bapak yang gagah itu membantuku membuktikan, bahwa apa yang aku yakini adalah kebenaran. Bahwa darah manusia itu sama, merah. Tak pernah biru. Begitu pun darah yang mengucur deras dari tengkuknya.
Petang itu, Bapak kehilangan pisaunya sekaligus kehilangan anak gadisnya. Bapak berduka tetapi masih dapat membusungkan dada.
***