Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Ada Tuhan di Sela Kuku Jemari

Nabilla Anasty Fahzaria

7 min read

Aku percaya, bayi-bayi lahir dari kelopak dandelion yang ditiup oleh malaikat. Kelopak-kelopak yang berterbangan itu akan menyebar ke seluruh penjuru arah mata angin. Jumlahnya jutaan bahkan mungkin milyaran. Sebagian besar berhasil menjumpai takdirnya. Sebagian yang lainnya mungkin saja tidak.

Boleh jadi aku adalah salah satu kelopak dandelion yang tertiup ke barat dan Ma tak sengaja menghirupnya hingga tersedak. Namun, aku ngeyel dan memilih untuk menyusup dalam parunya dan menembus dinding-dinding organ, hingga aku nyaris mati kehabisan napas di rahimnya.

Tahu-tahu aku keluar dari sebuah lubang dan aku sibuk menggapai cahaya neon yang menyilaukan. Beberapa orang dewasa menyambutku dengan berbagai ekspresi. Ada yang menangis, tercenung, bahkan tertawa lega. Di balik pintu, seorang wanita dengan sepasang rabun senja – yang belakangan kusadari ialah nenekku – sibuk komat-kamit pada angin. Lalu aku ditimang seorang pria berkacamata yang pipinya bercucuran mutiara. Kemudian ia melafalkan puji-pujian di telinga kananku.

Lantas, seperti tanaman tauge, aku tumbuh menggeliat dan menjulang. Dibedong seperti kepompong. Digendong seperti kangguru. Aku semakin berkelindan dengan cahaya semesta. Mereka memujiku seperti mereka memuji mentari pagi yang terlahir berkali-kali.

Ada badai dalam diri Pa dan ada ruang kosong di dalam jiwa Ma. Aku adalah gabungan keduanya. Kehadiranku melahirkan daftar-daftar keinginan yang buru-buru diucapkan Ma saat ada bintang jatuh melintas di langit-langit. Sementara Pa akan memangkuku di teras belakang sembari memutar lagu dari kaset radio lawasnya, “Ardina, Ardina. Cantiknya kau seperti Ma.”

Semua kehangatan itu hanya bertahan sampai usiaku empat tahun. Beragam ingatan dari masa kecil itu masih kuat. Mereka tersimpan rapi di bilik memori. Saat aku merasa sangat kecil, ingatan-ingatan itu semakin menghancurkanku hingga tidak berbekas.

***

Setelah terbangun dari tidur yang sangat panjang, aku melamun. Lamunan itu bukan seperti lamunan orang yang sedang mengumpulkan nyawa ataupun berkhayal. Lamunan itu malah terasa seperti berpikir. Entah kerasukan apa, aku terlalu sibuk memikirkan sesuatu yang samar, rumit, dan abstrak. Beberapa kali aku mengusap kedua mata, tapi ingatan itu semakin jelas. Ingatan itu tidak serupa gambar dua dimensi hasil cuci foto yang disimpan di dalam album keluarga. Ingatan itu semakin lama semakin terasa nyata.

Kilasan memori membawaku pada Ardina Kecil berusia delapan bulan – memakai baju piyama merah muda, berambut cepak pendek, dengan sepasang mata seperti oniks hitam. Bayi itu merangkak dan bersembunyi di bawah kursi kayu yang nyaris tertutupi oleh pakaian-pakaian kedua orang tuanya. Ia menyentuh apa saja yang berada di sekitarnya dengan sepasang matanya yang bersinar sampai-sampai kepalanya membentur salah satu kaki kursi dengan kuat.

Lalu Ardina Kecil menangis begitu keras, seakan-akan ia sangat kesakitan – atau memang rasanya benar-benar sakit sampai-sampai bayi delapan bulan tidak mampu untuk menoleransi rasa sakit itu walau hanya sebentar saja.

Seketika aku merasa malu saat melihat diriku semasa kecil menangis gara-gara kecerobohannya sendiri. Dalam ingatan yang terus berulang, aku melihat Ma muncul dari balik pintu dan meraih badanku yang kecil dan ringkih itu. Oh, wajahku sangat jelek sekaligus menggemaskan saat menangis. Suaranya keras. Bagus, keluarkan saja rasa sakit karena terbentur kaki kursi itu.

Kursi sialan. Mengapa kau pernah membuatku menangis?

Cup, cup, cup. Anak Ma sudah besar. Jangan menangis. Malu, lho, di dengar tetangga!”

Tapi tangisku itu makin terdengar memilukan dan Ma tertawa lebar karena ulahku semasa kecil yang konyol.

Dari ingatan itu, aku menjadi tersadar akan sesuatu. Ma tidak pernah mengajariku bagaimana caranya mengatasi rasa sakit. Dia hanya memaksaku menjadi anak yang kuat, tapi lupa mengajari bagaimana caranya menjadi kuat.

Sementara itu, guruku di SMA pernah mengajarkan serangkaian langkah sistematis yang dinamakan metode. Aku tidak tahu bagaimana metode yang tepat untuk mengatasi rasa sakit saat hal-hal memilukan datang kepadaku. Ma tidak pernah memberitahu bagaimana caranya menerima dan melalui rasa sakit. Tidak ada kata “pertama-tama, mari kita…” atau “lalu, selanjutnya yang kamu harus lakukan adalah…”

Semua upaya menghadapi rasa sakit itu kulakukan sendiri secara otodidak, meskipun seringkali aku sendiri gagal melawan rasa sakit yang begitu memilukan: saat aku dicampakkan kekasihku, saat temanku menusukku dari belakang, saat aku kena hipnotis penjahat di gang sempit, atau saat masa-masa quarter life crisis yang kualami bertahun-tahun karena mereka memaksaku untuk melanjutkan studi S2 alih-alih membiarkanku bekerja dan mencari uang sendiri.

Ma tidak pernah mengajariku bagaimana caranya mengatasi rasa sakit, meski aku terus meraba-raba: apakah aku sudah benar melakukannya? Apakah ini cara yang benar untuk menghadapi rasa sakit? Apakah rasa sakit akan benar-benar hilang setelah ini ataukah ia akan muncul kembali di kemudian hari?

Dan, bagaimana cara menerima rasa sakit itu dan menikmatinya sendirian?

***

Lupakan perkara benturan kaki kursi dan ideku soal metode yang rumit itu.

Sejak usiaku menginjak empat tahun, aku diasuh oleh kedua orang pembantu, Mbak Laksmi dan Mbak Minah. Mbak Laksmi mengasuhku sementara Mbak Minah mengasuh kakak laki-lakiku, Prabu, yang baru saja diterima di sekolah dasar. Ma dan Pa mencari uang dari pagi hingga petang, entah di gedung pencakar langit yang mana. Saat malam tiba, mereka sudah terlanjur lelah dan enggan bermain bersama kami.

Mbak Laksmi sering menasihatiku jika Ma dan Pa pergi setiap hari untuk mencari uang. Aku menatapnya murung lalu bertanya, “kenapa uang harus dicari?”

Wanita itu tersenyum kecil dan menjawab singkat, “Untuk membayar uang sekolahmu dan Prabu.”

“Tapi, Mbak. Uang tidak pernah bisa membeli waktu.”

Wanita itu berlalu.

Aku sudah tidak peduli dengan waktu karena waktu selalu membuatku berharap kepada Ma dan Pa. Namun, cepat atau lambat, waktu yang telah mereka habiskan berubah menjadi bom yang siap meledak kapan saja.

Saat usiaku beranjak sepuluh tahun, aku ingat betul jika Ma dan Pa pernah bertengkar hebat. Mereka menutup pintu kamar rapat-rapat dan saling berteriak. Teriakan Pa sangat menyeramkan, seperti sambaran petir. Ma tidak menangis, melainkan membalas teriakan Pa dengan lebih keras. Dadaku berdegup kencang. Prabu juga mungkin sudah muak mendengarnya. Semenjak itu, ia sering bolos sekolah, menginap di warnet, dan bermain game online hingga badannya kurus kering.

Pernah suatu ketika, Pa memergoki Prabu yang sedang ditemani oleh segelas Teh Botol di warnet itu. Pa menyeretnya pulang dan memukulinya di hadapanku dan Ma sambil berteriak sumpah serapah. Ma hanya terdiam tanpa sanggup melakukan sesuatu untuk melindunginya. Sementara itu, aku terus menangis saat menyaksikan pukulan itu mendarat di badan Prabu berkali-kali diiringi umpatan kasar Pa.

Aku ingat semua itu dengan sempurna. Hukuman-hukuman itu menjadikan Prabu sebagai sosok pemarah. Bahkan, ia marah pada hal-hal kecil: baju kesukaannya yang belum kering, mati lampu di siang bolong, PR sekolah yang tidak kunjung usai, dan polahku yang menuntut perhatian.

“Jangan marah padaku,” pintaku.

“Kamu senang kan, lihat aku dipukul Pa?” balas Prabu dan bersiap hendak memukulku.

Aku menggeleng kuat-kuat dan pergi.

Di hari lainnya, Ma dan Pa kembali bertengkar hebat entah karena apa. Aku bersembunyi di balik pintu kamar dengan perasaan takut yang bercampur dengan kecewa. Tanpa sadar, aku mengelupaskan kulit jemari telunjuk dengan kuku jempol hingga berdarah. Kutatap rasa perih itu. Kulit itu sudah koyak. Meski begitu, aku merasa tidak menyesal telah mengoyaknya.

“Terima kasih sudah bersedia kukoyak hari ini.”

Sama-sama,” Ia menjawab.

Aku tertegun. Suara itu.

 

***

Aku masih ingat hari sial itu terjadi saat aku sudah jauh beranjak dewasa. Sepulang mengajar anak-anak SMA dalam suatu acara sosial, aku membuka pintu rumah dengan pelan. Dari balik pintu kamar Ma, kudengar ia sedang berbincang dengan seseorang di ujung panggilan dengan suara pelan.

Tentu saja itu bukan suara Pa. Mereka sudah tidak berbincang mesra sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan lagi, aku kembali tercenung mendengarkan percakapan itu di balik pintu. Tanpa sadar aku mengoyak kembali kulit di ujung jemari jempol dan telunjuk. Barang kali Tuhan akan mendengarnya.

“Akhir pekan ke mana, Sayang? Nggak main sama Nyonya Besar?”

Aku menyisir ponsel Ma saat ia sudah jatuh lelap. Pria itu menghubungi Ma dengan menggunakan kode panggilan Korea Selatan. Kucatat nomornya dan kunamakan kontak itu sebagai “Mr.X”. Saat kuingat-ingat kembali, bulan lalu Ma melakukan kunjungan kerja ke Seoul selama delapan hari.

Aku bisa saja mengahancurkan keluarga ini dengan sekejap. Aku bisa saja mengadu pada Pa dan Prabu yang sudah bekerja di luar kota tentang apa yang kudengar petang ini dari Ma. Tapi, waktu itu aku memilih untuk mengelupaskan kulit jemari sampai terasa sakit dan berdarah kembali.

“Kenapa ini terjadi?”

Dia menjawab entah dari mana, “Untuk membuatmu kecewa.

“Kenapa Kau ingin aku merasa kecewa?”

Untuk menyadarkanmu jika Aku ada.”

Aku tidak kunjung sadar juga dan memilih untuk menyakitiku sendiri. Ujung jemari jempolku sudah bernanah. Semua jenis perasaan sakit itu perlahan luluh dengan sodoran es krim KitKat dari rekan kerjaku pada keesokan harinya.

***

Aku pernah diteriaki jalang oleh Pa saat aku pulang ke rumah lebih dari jam sembilan malam.

“Dia bukan sosok Pa yang kuinginkan.”

Tidak, jangan salah sangka. Itu tidak pernah keluar dari mulutku, melainkan dari mulut Prabu. Pa tidak hanya berurusan denganku saja, tetapi juga dengan Prabu.

Pernah suatu ketika, Pa memaksa Prabu untuk kembali ke rumah dan melanjutkan studi. Tapi, Prabu menolak. Dia punya sejuta alasan untuk tidak pulang ke rumah. Bukan saja rumah ini sudah terasa sedingin es, melainkan rasa ketidakpedulian yang tumbuh menjamurinya.

Di Minggu pagi, aku sering mendengar suara pertunjukan wayang kulit dari ruang kerja Pa. Mungkin ia mendengarnya dari Youtube atau kaset yang ia bawa dari Magelang. Pa sudah hafal lirik yang disenandungkan sinden dan ketukan yang ditabuhkan dalang. Aku sangat menghargai kesukaannya mendengarkan wayang kulit meskipun para bapak dari teman-temanku meninggalkan harta karun berupa piringan hitam Queen, The Beatles, atau The Smiths.

Saat aku diam-diam memandang wajah Pa dari balik pintu, aku merasakan jiwa Pa begitu kering seperti oase. Hanya ada setitik sumber air yang menjadikan jiwanya basah. Bahkan mungkin ia sendiri lupa letak di mana sumber air itu. Mungkin Ma tidak pandai membacanya. Mungkin Pa tidak memberikan petanya. Mungkin hubungan yang selama ini kukira bersifat personal di antara keduanya hanyalah seperti cangkang kerang kosong yang sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya.

Lagi-lagi dari balik pintu aku mengelupaskan kulit jemariku dengan kuku hingga perih dan berdarah.

“Ayahnya Rana senang berpetualang. Papanya Meita sering mengajak keluarganya jalan-jalan. Bapaknya Ghea kaya raya. Kenapa Pa tidak begitu?” gumamku begitu saja.

Sesuatu dari balik kuku menjawab, “Mungkin Pa tidak mengerti bagaimana cara memandangmu dengan benar.”

Suara itu membuatku terdiam.

Satu-satunya lagu peninggalan Pa yang akan selalu kuingat adalah Take Me Home, Country Roads-nya John Denver. Itu adalah peninggalan paling keren dari Pa selain amarahnya, diamnya, dan suara rekaman pertunjukan wayang kulit yang begitu usang.

***

Banyak pasangan ibu dan anak perempuannya di dunia ini yang menjalin hubungan manis. Bagaimana mungkin hal serupa itu terbangun di antara aku dan Ma? Ia tidak senang menghabiskan makan malamnya sendiri. Lantas kutemani Ma menghabiskan nasi dan lauk di piringnya dengan perasaan sukarela. Kupikir kehidupan yang terputar di antara kami adalah tentang kami berdua. Tapi, dunia hanya berputar untuknya seorang.

Ma bukanlah pencerita yang ulung. Aku lupa kapan terakhir kali Ma melafalkan lagu kesukaannya atau menceritakan bagaimana ia sangat menyukai pasir Pantai Carita yang ia kunjungi bersama teman-teman kuliahnya puluhan tahun silam. Aku bertanya-tanya dalam hati, dunia macam apa yang telah dirampas dari hidupnya sampai kali ini ia melupakan kehangatan-kehangatan yang seharusnya ia rajut?

Setiap kali aku memandang kedua mata Ma yang berlarian itu, yang kulihat adalah sabana hijau. Ia terlalu hijau sampai-sampai Pa tidak tahu bagaimana cara merawat keindahan itu. Sering kali di balik pintu itu aku mengoyak kulit jemari sembari membayangkannya mengenakan baju terusan kuning dan ia menari bebas di padang rumput miliknya itu. Kebebasan apa yang kamu inginkan, Ma?

“Tuhan, jika ketidakbebasanku membuatnya bahagia, maka jangan biarkan aku mengharapkan kebijaksanaan darinya,” gumamku.

Suara dari sela kuku itu menyahut, “Kamu tidak pernah tahu, tapi kamu akan segera tahu.”

Mungkin kelak, aku akan lebih mencintai Ma ketika setiap orang merayakan Hari Perempuan atau Hari Ibu. Mungkin saja di hari-hari tertentu itu aku akan melepas seluruh ego hanya untuk berupaya mencintainya sekali lagi.

Mungkin kelak, aku akan lebih memahami Ma ketika aku memiliki seorang anak perempuan seperti dirinya memiliki aku. Aku akan memahami jika apa yang selama ini Ma lakukan padaku hanyalah upaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri setelah beberapa cinta kasih di bawah atap rumah ini telah pupus. Dan mungkin juga, aku akan lebih memahami Ma saat kelak anak perempuanku menuliskan kartu ucapan “Selamat Hari Ibu” untukku disertai oleh sederet doa yang tulus.

***

Lamunan panjangku setelah bangun tidur itu membawaku kembali ke kini, di sini.

Kutatap jemari-jemariku secara bergantian. Kuku-kuku yang telah dicat dengan kutek murahan sejak minggu lalu itu telah banyak mengelupas. Paronikia di sisi jemari jempolku itu sudah hampir sembuh. Tapi, ingatanku tentang Ma, Pa, dan Prabu agaknya semakin menjadi-jadi.

“Sudah empat puluh hari, Ma, Pa,” gumamku tanpa sadar. “Apa mungkin Ma dan Pa sedang terbang seperti kelopak dandelion dan siap untuk terlahir kembali?”

Tak ada sahutan.

Aku tidak terlalu berharap ataupun percaya, tapi barangkali Tuhan akan mendengarnya. Karena kata guru mengajiku dulu, Tuhan ada di mana saja, bahkan di tempat yang tidak pernah terduga. Mungkin saja selama ini Dia selalu menemaniku dan Dia bersembunyi di sela kuku jemari. Mungkin.

Namun, masih tak kunjung ada sahutan.

***

Nabilla Anasty Fahzaria
Nabilla Anasty Fahzaria Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email