Aco’

nuzul mboma

3 min read

Saya tidak mengerti mengapa orang begitu senang mengingat-ingat hal spesifik tentang orang lain. Bahkan untuk sesuatu yang telah lama berlalu.

Hari ini saya bertemu kawan lama. Saya sebenarnya tidak mengingatnya lagi. Waktu kan mengalir jauh, sudah lama sekali. Terakhir saya bertemu dengannya tujuh tahun lalu di kelas dua SMA. Dia juga, karena beberapa alasan, seharusnya tidak perlu mengenali saya.

Pagi ini, ketika saya sedang mengepel lantai depan kafe Starbucks, kami bertemu tatap. Itu gak sengaja, saya kan harus memindahkan papan peringatan lantai licin ke sana ke mari, dan tepat di satu titik ketika saya mengangkat kepala, dia ada di sana.

Dia mengetuk-ngetuk dinding kaca kafe dan tersenyum girang. Saya masih melanjutkan beberapa sorongan pel sebelum menghasilkan sesuatu, entah apa. Saya melihat kembali ke arah kafe dan dia tersenyum. Kali ini dia melempar dadah dengan bersemangat.

Astaga! Saya hanya bisa membatin. Saya mengenalnya, tapi tak ingat namanya.

“Aco’,” teriaknya. Suaranya tak kedengaran karena terhalang kaca.

Sambil tersenyum, dia menggerak-gerakkan lagi tangannya, seperti ibu-ibu komplek ketika memanggil tukang bakso atau ketika bos memanggil saya untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya bisa dia lakukan sendiri.

Saya memberi tanda bahwa saya tidak bisa masuk ke kafe tempat dia berada. Namun, dia terus memanggil, kali ini dengan menggoyangkan kepalanya, seperti bilang, “ayolah, saya yang bertanggung jawab jika terjadi apa-apa.”

Okelah, ini masih pagi juga. Mall juga gak terlalu ramai dan bos saya yang sialan itu lagi off.

Sampai di dalam saya membuka masker dan duduk di sofa sebelahnya. Dia hanya seorang diri. Dia mengenakan blazer abu-abu dan kemeja merah, rok putih dan stocking cokelat, tipikal pekerja kantoran pada umumnya. Saya berharap bisa menemukan petunjuk di papan namanya, untuk memastikan siapa yang sedang saya hadapi ini. Tapi dia tidak mengenakan benda semacam itu. Dia lalu tersenyum dan berkata, “sudah lama sekali ya?”

“Ya,” balas saya pendek. Agak ragu.

“Kamu berubah sekali,” katanya lagi.

“Berubah bagaimana?” saya merasa tidak perlu bertanya seperti itu sebenarnya. Tapi ya, keluar juga.

“Ya penampilanmu. Dalam seragam PT. Bersih Bersinar, kamu bukan Aco’ yang saya kenal dulu.”

Baiklah, tapi mengapa dia merasa perlu menyebut nama perusahaan outsourcing tempat saya bekerja.

“Kamu juga sudah banyak berubah sekarang,” balas saya, berbasa-basi.

“Apa iya?” perempuan itu menaikkan alisnya. Matanya menerawang langit-langit, membuat siapa pun tak bisa menahan godaan melirik bibir merahnya yang agak dimajukan sedikit. Dia cantik seperti dulu, tapi saya tetap gak ingat namanya.

“Berubah dari mananya, sih?” dia bertanya lagi, “perasaan, dari dulu gayaku begini-begini saja.”

Saya memperhatikan wajahnya, mencoba mengingat-ingat. Perasaan, dia dari dulu memang gayanya begitu-begitu saja.

Pada masa awal 2000-an, ramai di SMA fenomena pelajar membentuk geng. Yang laki-laki membentuk satu kelompok geng laki-laki untuk adu jotos dengan kelompok lain suatu waktu jika diperlukan, sementara para perempuan akan menjadikan geng lawan mereka sebagai sasaran cerita fitnah. Mereka terinspirasi oleh drama remaja di televisi sampai ke tingkat gaya berpakaian bahkan bahasa.

Saya mengingat satu kelompok populer di antara geng di sekolah saya yang bernama ANDROMEGA, sebagai pelesatan dari Andromeda untuk anak-dari-orok-memang-sudah-gaul. Mereka diisi oleh gadis-gadis cantik, hampir tidak ada celah untuk membandingkan satu dan yang lainnya.

Seperti kebanyakan anak laki-laki di sekolah, saya juga kenal hampir semua anggotanya: Winni yang bodynya bahenol, Dian berwajah oriental, Siska yang bersuara burung tapi pendiam, Tety juara kelas matematika, berkacamata dan anggun. Satu-satunya yang tak saya ingat namanya adalah wanita di depan saya ini.

Entahlah, tapi manusia memang tempatnya khilaf dan lupa, kan? Maksud saya, Anda bisa saja mengingat tempat di mana Anda mengubur kelereng masa kecil Anda di halaman belakang rumah. Sementara, hal yang baru kemarin, seperti nama seseorang, wajah, atau rasa, bisa saja menghilang dari ingatan kecuali kesan samar-samar dan tidak berbentuk. Konon manusia cenderung tak bisa melupakan hal-hal terlalu baik dan terlalu buruk yang pernah terjadi padanya. Hal buruk akan berubah menjadi trauma. Hal baik akan menjadi kenangan, atau setidaknya kesan.

Itulah sebabnya ketika dia mulai berbicara tentang satu peristiwa di masa SMA, sekonyong-konyong kesan itu mencoba muncul kembali ke kesadaran saya. Sesuatu yang sudah lama coba saya hapuskan sepertinya. Tapi saya tak mengingatnya.

“Kami semua berhutang budi pada kamu, Co’,” kata dia sambil menutup mata. Barangkali mengenang sesuatu.

“Apa jadinya bila kamu tidak bertindak saat itu?” pertanyaannya bukan untuk saya, tapi lebih untuk memunculkan efek dramatis sepertinya. “Mungkin kami semua akan dikeluarkan dari sekolah.” Dia lalu membuka matanya dan tersenyum.

“Jadi begitu,” balas saya, “saya bahkan sudah melupakannya.”

“Itulah sebabnya mengapa orang-orang begitu mengagumimu,” jelasnya, “tak ada yang mau mengorbankan dirinya demi kepentingan orang banyak.”

“Tapi, ya mau bagaimana lagi,” kata saya, “semuanya sudah kayak takdir.” Asal saja saya katakan. Tak ada memori apa pun di kepala saya tentang apa yang dibicarakannya itu.

“Kamu membayarnya dengan mengorbankan diri sendiri. Dikeluarkan dari sekolah dan melanjutkan hidup seperti ini.” Dia mengatakan istilah ‘seperti ini’, apakah untuk mengasihani saya?

“Banyak di antara kami yang takut bertemu denganmu. Ada rasa tak enak hati setiap mengingat kejadian itu.”

“Begini,” kata saya, “bilang ke mereka bahwa saya sudah melupakan kejadian itu. Saya sama sekali gak menuntut rasa bersalah dari siapapun.” Saya masih berjuang keras mengingat kejadian yang dia maksud.

Dia tersenyum kembali. “Kamu memang lelaki yang langka. Saya penasaran bagaimana kamu berdamai dengan pengalaman seperti itu.”

“Saya melupakannya,” jawab saya. “Ya sepertinya saya memang melupakannya. Orang-orang belajar mengingat hal-hal bagus dan jelek dalam hidup mereka. Dan boleh melupakan semuanya sama sekali, kan.”

“Begitu, ya,” ia menggumam, “berarti saya berhasil mengingat hal-hal bagus darimu. Bayangkan, tujuh tahun. Kamu bahkan memiliki jambang dan kumismu sendiri. Sangat berbeda dari lelaki culun yang saya ingat di sekolah dulu. Kamu tidak menyimpan dendam pada saya, kan? Untuk waktu yang lama, kami semua merasa bahwa jika ada yang harus disalahkan dari kejadian itu, tentu bukan kamu orangnya.”

Dia memandangi saya dengan raut wajah sedih, dan saya tak tahu harus bereaksi apa.

Wanita itu pergi setelah mendapat sebuah panggilan telepon. Saya melihat bekas duduknya, masih menyisakan lekukan tubuhnya. Dia pergi begitu saja. Namun, satu hal yang pasti, jika saya mengatakan telah melupakan semua yang terjadi, itu karena sebenarnya saya tidak bisa mengingat apa-apa.

Semua pembicaraan barusan seperti tak ada hubungannya dengan saya, meski saya tahu itu nyata dan memang terjadi. Dia bukan orang iseng atau pembohong. Saya bisa melihat dari matanya.

Manusia bisa belajar melupakan segala hal, ternyata. Entah yang bagus atau yang jelek. Wanita itu bisa menyimpan yang bagus-bagus tentang diri saya, tetapi saya mungkin tidak bisa. Entah mengapa saya merasa lega, karena setelah dia pergi, saya tidak pernah ingat siapa namanya.

***

nuzul mboma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email